Hamas Rilis Video Terbaru Terkait Kondisi Sandera Asal Israel

Seorang sandera bernama Omri Miran mengatakan dia telah ditahan selama 202 hari. Sementara, Keith Siegel menyebutkan dirinya sempat merayakan libur Paskah selama disandera.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 28 Apr 2024, 12:03 WIB
Hamas merilis sebuah video yang menunjukkan bukti bahwa dua sandera yang ditahan di Gaza masih hidup dan dalam kondisi baik (Hamas).

Liputan6.com, Tel Aviv - Hamas merilis sebuah video yang menunjukkan bukti bahwa dua sandera yang ditahan di Gaza masih hidup dan dalam kondisi baik.

Dalam rekaman tak bertanggal, Omri Miran mengatakan dia telah ditahan selama 202 hari. Sementara, Keith Siegel menyebutkan dirinya merayakan libur Paskah, yang mengindikasikan bahwa klip tersebut direkam baru-baru ini.

Keduanya ditangkap ketika Hamas melancarkan serangan mematikannya pada 7 Oktober 2023, dikutip dari laman BBC, Minggu (28/4/2024).

Menanggapi video tersebut, keluarga mereka menyatakan akan terus berjuang demi kepulangan pria tersebut.

Mereka juga mendesak pemerintah Israel untuk mendapatkan kesepakatan pembebasan sandera yang baru.

Video ini muncul ketika Hamas mengatakan bahwa pihaknya sedang mempelajari proposal gencatan senjata terbaru Israel.

Laporan media menyebutkan mediator Mesir telah mengirimkan delegasi ke Israel untuk memberikan dorongan baru terhadap perundingan yang terhenti.

Kesepakatan yang mencakup pembebasan sandera yang tersisa dapat menghentikan rencana serangan darat Israel di kota Rafah di selatan, kata menteri luar negeri Israel.

Siegel, seorang warga negara AS, diculik bersama istrinya Aviva, meskipun istrinya dibebaskan pada November 2023 melalui gencatan senjata singkat.

Dalam pernyataan video, istri Keith, Aviva, berkata: "Keith, aku mencintaimu, kami akan berjuang sampai kamu kembali."

Awal bulan ini, dia mengatakan kepada BBC bagaimana pasangan itu pernah ditinggalkan di terowongan oleh para penculiknya saat mereka dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Pada saat wawancara, dia mengatakan tidak tahu apakah Keith masih hidup.

Putrinya, Ilan, berkata: "Melihat ayah saya hari ini hanya menekankan kepada kita semua betapa kita harus mencapai kesepakatan sesegera mungkin dan membawa pulang semua orang. Saya meminta para pemimpin negara ini menonton video ini dan melihat ayah mereka."

Pihak keluarga sandera juga berbicara pada aksi demonstrasi mingguan di Tel Aviv yang menuntut tindakan untuk membebaskan para sandera.

Mereka tampak emosional saat menyampaikan pidato dan menggambarkan kegembiraannya melihat video anggota keluarganya yang masih hidup.

 


Hamas Bersedia Meletakkan Senjata jika Negara Palestina Merdeka Berdiri

Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza berkumpul di sebuah kamp tenda di Rafah, Jalur Gaza selatan, Senin (4/12/2023). Ratusan ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka ketika Israel melancarkan serangan darat terhadap kelompok militan Hamas yang berkuasa. (AP Photo/Fatima Shbair)

Seorang pejabat tinggi politik Hamas mengatakan kepada kantor berita AP bahwa pihaknya bersedia menyetujui gencatan senjata selama lima tahun atau lebih dengan Israel dan berubah menjadi partai politik jika negara Palestina merdeka didirikan sesuai Garis Hijau atau perbatasan pra-1967.

Pernyataan Khalil al-Hayya dalam wawancara pada Rabu (24/4) muncul di tengah kebuntuan pembicaraan gencatan senjata selama berbulan-bulan atas perang di Jalur Gaza. Gagasan Hamas akan melucuti senjatanya dinilai konsesi signifikan dari kelompok militan yang secara resmi berkomitmen menghancurkan Israel.

Namun, di lain sisi, dinilai kecil kemungkinannya Israel akan mempertimbangkan skenario seperti itu. Mereka telah bersumpah menghancurkan Hamas pasca serangan mematikan pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang terbaru antar keduanya. Selain itu, kepemimpinan Israel saat ini tegas menentang pembentukan Negara Palestina merdeka.

Dalam wawancaranya dengan AP yang berlangsung di Istanbul, Turki, al-Hayya, seorang pejabat tinggi Hamas yang mewakili militan-militan Palestina dalam negosiasi gencatan senjata dan pertukaran sandera, melontarkan pernyataan yang terkadang menantang dan terkadang bernada damai.

Menurut al-Hayya, Hamas ingin bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang dipimpin oleh faksi saingannya, Fatah, untuk membentuk pemerintahan bersatu atas Jalur Gaza dan Tepi Barat. Dia mengaku pula Hamas akan menerima Negara Palestina yang berdaulat penuh di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan kembalinya pengungsi Palestina sesuai dengan resolusi internasional, bersamaan dengan perbatasan pra-1967.

Jika hal itu terjadi, kata al-Hayya, sayap militer Hamas akan bubar.

"Semua pengalaman orang-orang yang melawan penjajah, ketika mereka merdeka dan memperoleh hak-hak dan negaranya, apa yang dilakukan kekuatan-kekuatan ini? Mereka berubah menjadi partai politik dan kekuatan tempur yang mereka bela berubah menjadi tentara nasional," tutur al-Hayya, seperti dilansir AP, Jumat (26/4).


Bantahan Hamas atas Klaim Israel

Pada Selasa (28/11), gencatan senjata Israel dan Hamas telah resmi diperpanjang dua hari hingga Rabu (29/11). Perpanjangan ini diumumkan langsung oleh Qatar selaku mediator kedua belah pihak, bersama-sama dengan Mesir. (AP Photo/Mohammed Hajjar)

Penasihat kebijakan luar negeri Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, Ophir Falk, menolak mengomentari pernyataan al-Hayya. Dia melabeli al-Hayya teroris tingkat tinggi. Namun, dia menyebut Hamas telah melanggar gencatan senjata sebelumnya melalui serangannya pada 7 Oktober.

"Pemerintahan PM Netanyahu menetapkan misi untuk menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas di Gaza, membebaskan para sandera dan memastikan bahwa Gaza tidak menimbulkan ancaman bagi Israel dan seluruh dunia beradab di masa depan," tegasnya. "Tujuan-tujuan itu akan tercapai."

Israel mengklaim 1.200 orang tewas dalam serangan Hamas pada 7 Oktober, sementara lebih dari 250 lainnya disandera. Sementara itu, otoritas kesehatan Jalur Gaza menuturkan bahwa lebih dari 34.000 warga Palestina tewas di wilayah kantong itu akibat serangan balasan Israel yang dimulai pada hari yang sama.

Hampir tujuh bulan setelah perang di Jalur Gaza, perundingan gencatan senjata terhenti. Israel sekarang sedang mempersiapkan serangan ke Kota Rafah di selatan, tempat di mana lebih dari 1 juta warga Palestina mengungsi.

Israel mengaku pihaknya telah membubarkan sebagian besar dari dua lusin batalion Hamas sejak perang dimulai, namun empat batalion yang tersisa bersembunyi di Rafah. Israel berpendapat bahwa serangan Rafah diperlukan untuk mencapai kemenangan atas Hamas.

Al-Hayya mengatakan serangan seperti itu tidak akan berhasil menghancurkan Hamas. Dia mengungkapkan bahwa kontak antara kepemimpinan politik di luar dan kepemimpinan militer di dalam Jalur Gaza "tidak terputus" oleh perang dan "kontak, keputusan, serta arahan dibuat melalui konsultasi" antara kedua kelompok.

"Pasukan Israel belum menghancurkan lebih dari 20 persen kemampuan (Hamas), baik manusia maupun di lapangan," kata al-Hayya. "Kalau mereka tidak bisa menghabisi (Hamas), apa solusinya? Solusinya adalah mencapai konsensus."

Pada November 2023, gencatan senjata selama seminggu mengakibatkan pembebasan lebih dari 100 sandera dengan imbalan 240 tahanan Palestina yang ditahan di Israel. Namun, perundingan mengenai gencatan senjata jangka panjang dan pembebasan sandera yang tersisa kini terhenti, dan masing-masing pihak saling menuduh pihak lain tidak mau berkompromi.

Qatar, yang merupakan juru kunci negosiasi, mengatakan dalam beberapa hari terakhir bahwa mereka sedang melakukan "penilaian ulang" atas perannya sebagai mediator.

Infografis Israel-Hamas Gencatan Senjata 4 Hari dan Bebaskan Sandera (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya