Liputan6.com, Jakarta - Shaima Refaat Alareer, putri penyair Palestina, Refaat Alareer dikabarkan tewas dalam serangan udara Israel kawasan barat Kota Gaza pada Jumat, 26 April 2024. Dikutip dari CNN, Minggu (28/04/2024), suami dari Shaima dan putranya yang masih berusia dua bulan juga ikut menjadi korban serangan tersebut, menurut saksi mata dan teman keluarga mereka.
Sebelumnya, Refaat Alareer, ayah Shaima yang juga seorang profesor asal Gaza dinyatakan tewas usai tempat tinggalnya di kawasan Shujayya dibom tentara Israel pada 8 Desember 2023. Serangan udara tersebut juga menewaskan saudara laki-lakinya, saudara perempuannya, dan empat anaknya.
Advertisement
Setelah kematian ayahnya, Shaima mengungsi keluar dari Shujayya sejak awal tahun ini, sebut seorang warga di Al-Rimal. Seorang saksi mengatakan kalau bangunan tempat tinggal Shaima dan keluarganya hancur akibat tiga buah misil Israel yang dijatuhkan dari udara.
Mosab Abu Toha, seorang penyair Palestina dari Gaza dan teman Refaat yang kini mengungsi di Kairo, mengatakan bahwa Shaima telah mengunggah berita tentang kelahiran putranya dalam tulisan baru-baru ini di akun Facebook pribadinya
"Aku punya kabar indah untukmu, kuharap aku bisa menyampaikannya kepadamu saat kamu berada di hadapanku, aku persembahkan untukmu cucu pertamamu. Tahukah kamu, ayahku, bahwa kamu telah menjadi seorang kakek?" tulis Shaima.
"Ini adalah cucumu Abd al-Rahman yang sudah lama kubayangkan akan kamu gendong, tapi aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan kehilanganmu lebih awal bahkan sebelum kamu melihatnya."
Jenazah Shaima dan keluarga kecilnya tersebut dibawa ke Rumah Sakit Baptis Al-Ahli. Setidaknya 15 orang dikabarkan tewas dalam serangan Israel Defense Force (IDF) dari Jumat malam hingga Sabtu pagi tersebut.
Israel Serang Kamp Pengungsian Nuseirat
Pertahanan Sipil di Gaza menyatakan bahwa dua anak masih hilang di antara reruntuhan puing hingga saat ini. Sebuah video yang diambil oleh CNN memperlihatkan satu blok bangunan perumahan yang hancur dengan gundukan puing-puing disekitar area.
Hafez Abu Shallouf, juru bicara Pertahanan Sipil Palestina, mengatakan bahwa sebuah bom Israel dijatuhkan di kamp pengungsi pada Jumat malam, 26 April 2024, dan menyebabkan 'pemusnahan massal' terhadap lingkungan tersebut.
Dalam video yang sama, perempuan dan anak-anak terlihat berdiri di dalam reruntuhan yang tampak seperti rumah mereka, menyaksikan pekerja pertahanan sipil menggunakan peralatan tanpa mesin untuk menggali reruntuhan. Para pria muda tampak membantu petugas penyelamat dengan membungkus jenazah dengan selimut dan memindahkan mereka keluar dari area tersebut.
"Kami bergegas ke sini dan melihat para korban yang terluka dan yang meninggal dunia. Mereka semua adalah warga sipil. Kemampuan kami terbatas… kami akan membantu semampu kami," katanya.
Advertisement
Warga Menggali Reruntuhan dengan Tangan
Shallouf juga memohon kepada masyarakat internasional untuk memasok alat berat untuk membersihkan puing-puing bekas ledakan. "Kami bekerja dengan tangan kami. Kami menggunakan beberapa alat sederhana, namun kerusakan yang ditimbulkan terlalu besar dan sangat parah," tambahnya.
Seorang penghuni kamp, Salah Al-Saiqaly, mengatakan kepada bahwa dia sedang tidur di rumah bersama anak-anaknya ketika ia merasakan ledakan besar sekitar tengah malam yang menyebabkan tembok rumahnya runtuh dan menimpa dia sekeluarga.
"Apa salah anak-anak ini? Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tinggal dengan aman di rumahnya? Mengapa ada ketidakadilan? Mengapa kami ditindas? Apakah mereka mengira kita tidak peduli dengan anak dan istri kita? Darah kami tidak murah," ujar Al-Saiqaly, emosional.
Warga lainnya, Mahmoud Al-Jid, mengatakan kepada bahwa dia terkejut mengetahui pamannya terbunuh setelah rumahnya tiba-tiba dibom tengah malam. "Rasanya seperti gempa bumi mengguncang kamp. Tadinya ada sekitar 15 rumah di blok ini, dan sekarang semua sudah hancur berkeping-keping," ujarnya.
Perang di Gaza Akibatkan 10.000 Wanita Tewas dan 19 Ribu Anak Menjadi Yatim Piatu
Perang antara Israel dan Palestina yang berlangsung sejak Oktober 2023 terus membawa dampak yang sangat besar untuk warga sipil terutama wanita dan anak-anak. Dilansir dari kanal Health Liputan6.com, UN Women, organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang kesetaraan gender melaporkan bahwa setelah enam bulan perang di Gaza, ada setidaknya 10.000 wanita yang tewas.
Di antaranya, sekitar 6.000 ibu yang meninggal sehingga 19.000 anak menjadi yatim piatu. UNICEF bahkan menyebutkan Gaza sebagai "tempat paling berbahaya bagi seorang anak".
Selain itu, UN Women juga menyoroti kekerasan seksual dan kejahatan berbasis gender yang terjadi selama perang. Dilaporkan setidaknya terdapat 65 dari 250 wanita yang diculik di Gaza. Selain itu, wanita hamil dapat dibilang jadi korban terburuk perang tersebut.
Charity Care, lembaga layanan sosial mengungkapkan terdapat sekitar 50.000 wanita hamil di Gaza dengan 40 persen di antaranya mengalami kehamilan berisiko tinggi. Operasi Caesar tidak jarang dilakukan tanpa anestesi sama sekali, dokter bedah yang melakukannya pun tidak dapat mensterilkan tangan akibat akses air yang kurang.
Advertisement