Liputan6.com, Riyadh - Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengatakan Amerika Serikat (AS) adalah satu-satunya negara yang dapat menghentikan Israel menyerang Rafah, kota di Gaza Selatan tempat lebih dari satu juta orang mengungsi.
Abbas, yang memimpin pemerintahan Palestina di wilayah Tepi Barat yang diduduki, mengatakan serangan apa pun dapat menyebabkan warga Palestina meninggalkan Jalur Gaza.
Advertisement
Israel telah secara konsisten bersumpah untuk melakukan serangan di Rafah.
Sementara itu, Presiden AS Joe Biden menegaskan kembali posisinya mengenai Rafah kepada Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dalam sebuah panggilan telepon pada hari Minggu (28/4/2024). Demikian dilansir BBC, Senin (29/4).
AS berulang kali mengatakan bahwa mereka tidak mendukung operasi militer Israel dalam skala besar di Rafah tanpa melihat adanya rencana yang kredibel untuk menjaga warga sipil dari bahaya.
Pernyataan Abbas disampaikannya di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di ibu kota Arab Saudi, Riyadh, di mana dia turut mendesak AS untuk melakukan intervensi.
"Kami mengimbau AS meminta Israel menghentikan operasi (militer ke) Rafah karena AS adalah satu-satunya negara yang mampu mencegah Israel melakukan kejahatan ini," kata dia, seraya menambahkan bahwa hanya sekalipun serangan kecil ke Rafah akan memaksa warga Palestina melarikan diri dari Jalur Gaza.
"Bencana terbesar dalam sejarah rakyat Palestina akan terjadi."
Lebih dari separuh penduduk Jalur Gaza saat ini berada di Rafah. Kondisi padat penduduk dilaporkan sudah membuat keadaan kota itu sangat buruk. Para pengungsi di sana mengatakan kepada BBC bahwa mereka kekurangan makanan, air, dan obat-obatan.
Gedung Putih sendiri tidak menguraikan secara spesifik pernyataan terbaru Biden kepada Netanyahu mengenai rencana serangan ke Rafah, namun menurut juru bicara keamanan nasional John Kirby kepada jaringan ABC, Israel telah setuju mendengarkan kekhawatiran dan pertimbangan AS sebelum melakukan tindakan.
Perpecahan di Pemerintahan Israel
Dalam perkembangan lainnya, negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas mengenai potensi gencatan senjata dan pembebasan sandera yang tersisa disebut semakin memperlihatkan perpecahan dalam pemerintahan koalisi Israel.
Anggota kabinet perang dan tokoh oposisi Benny Gantz pada hari Minggu mengatakan bahwa pemerintah saat ini tidak memiliki hak untuk terus ada jika kesepakatan yang masuk akal untuk mengembalikan para sandera tidak diterima.
"Memasuki Rafah penting dalam perjuangan panjang melawan Hamas. Kembalinya korban penculikan adalah hal yang mendesak dan jauh lebih penting," tulis Gantz di X alias Twitter.
Namun, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich menuturkan pemerintah harus mengundurkan diri jika menerima kesepakatan yang membatalkan rencana serangan ke Rafah.
Pernyataan mereka muncul setelah Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz mengatakan negaranya dapat menunda serangan ke Rafah jika ada kesepakatan terkait sandera.
Di lain sisi, militer Israel mengatakan panglimanya Herzi Halevi telah menyetujui rencana untuk melanjutkan perang dan media Israel melaporkan hal itu merujuk pada operasi Rafah.
Pembicaraan jangka panjang yang dimediasi oleh Mesir dan Qatar sebagian besar terhenti karena kesenjangan antara posisi Israel dan Hamas, namun pada hari Minggu Hamas mengatakan akan mengirim perwakilannya ke Kairo untuk memberikan tanggapan terhadap usulan terbaru.
Para pejabat Mesir yang tidak disebutkan namanya dilaporkan mengatakan bahwa usulan gencatan senjata terbaru yang diberikan kepada Hamas melibatkan masa tenang selama beberapa minggu yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang, dengan imbalan pembebasan 20 sandera.
Adapun Hamas menginginkan perang diakhiri secara permanen dan penarikan seluruh pasukan Israel dari Jalur Gaza, sementara Israel bersikeras Hamas harus dihancurkan dan semua sandera dibebaskan.
Mesir dan negara-negara Arab lainnya sebelumnya telah menekankan masuknya pengungsi Palestina yang melarikan diri dari perang Hamas Vs Israel tidak dapat diterima karena hal itu sama saja dengan pengusiran warga Palestina dari tanah mereka.
Advertisement
Bukti Sandera Masih Hidup
Perang terbaru di Jalur Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023 saat Hamas menyerang Israel selatan, yang diklaim menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 orang. Sekitar 133 sandera diyakini masih berada di Jalur Gaza, dengan sekitar 30 di antaranya diperkirakan tewas.
Gencatan senjata singkat pada November menghasilkan pembebasan sejumlah sandera.
Pekan lalu, sayap bersenjata Hamas merilis dua video yang menunjukkan bukti hidup pertama tiga sandera sejak mereka diculik Oktober lalu.
Serangan udara dan operasi darat Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober telah menewaskan lebih dari 34.000 orang, di mana menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza, kebanyakan korban adalah perempuan dan anak-anak.
Selama enam bulan perang, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah memasuki dan menguasai seluruh Gaza Utara termasuk Kota Gaza dan sebagian besar Gaza tengah dan Selatan termasuk Khan Younis.
Sejak itu, laporan BBC menyebutkan IDF telah mundur dari hampir semua wilayah tersebut, namun sejumlah pasukan tetap ditempatkan di jalan yang dibangun Israel yang memisahkan Gaza Utara dan Selatan - melarang warga Gaza Utara yang mengungsi ke Gaza Selatan kembali ke rumah-rumah mereka.
Serangan Israel ke Jalur Gaza pun masih terus berlangsung.