Liputan6.com, Samosir - Bank Indonesia (BI) menegaskan biaya layanan QRIS 0,3 persen menjadi beban yang harus ditanggung dari merchant atau pedagang. Hal ini seperti kesepakatan dari merchant yang telah bersedia untuk menyediakan transaksi pembayaran QRIS.
"(Biaya layanan) ini memang tidak dikenakan ke konsumen, karena ini menjadi beban dari merchant (pedagang), ketika dia ikut serta dalam transaksi QRIS," ujar Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia Elyana K. Widyasari dalam acara Pelatihan Wartawan di Pulau Samosir, Sumatra Utara, ditulis Senin (29/4/2024).
Advertisement
Elyana menuturkan, pengenaan tarif layanan QRIS 0,3 persen telah mempertimbangkan kelangsungan bisnis merchant. Besaran tarif juga telah sesuai kesepakatan bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Di sisi lain, BI telah mengenakan biaya MDR (merchant discount rate) sebesar 0,3 persen untuk usaha mikro sejak 1 Juli 2023.
"Jadi, Bank Indonesia pada saat memang pricing-nya (tarif layanan), kita sudah mempertimbangkan bagaimana caranya transaksi ini bisa memudahkan masyarakat, tetapi penyelenggara pembayaran yang menyediakan layanan itu juga bisa tetap sustain," ujar dia.
Ia menegaskan, transaksi yang di-charge pakai QRIS dilarang dikenakan kepada konsumen. "Transaksi-transaksi yang di charge pakai QRIS 0,3 persen itu tidak boleh dikenakan ke konsumen, betul," ujar dia.
Apabila, konsumen merasa dirugikan atas pengenaan layanan tambahan atas transaksi melalui QRIS. Dia, menyebut konsumen yang bersangkutan dapat melaporkan langsung ke masing-masing penyelenggara sistem pembayaran.
"Nanti, Kalau misalnya ada merchant (pedagang) yang menolak mungkin bisa disampaikan ke penyelenggara pembayaran, provider," ujar dia.
Pengenaan Biaya MDR 0,3%
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, menilai pengenaan tarif Merchant Discount Rate (MDR) sebesar 0,3 persen untuk layanan QRIS bagi pelaku usaha mikro lebih menguntungkan perbankan dan penyedia jasa pembayaran
Sebaliknya, kenaikan MDR layanan QRIS menjadi berpotensi membebani bagi pelaku usaha yang menggunakan fasilitas QRIS.
"Kami melihat, dari sisi perbankan dan penyedia jasa pembayaran, hal ini dapat mendatangkan keuntungan, mengingat akan ada pembagian yang didapatkan kepada Lembaga-lembaga tersebut," kata Josua kepada Liputan6.com, Kamis, 6 Juli 2023.
Meski demikian, QRIS akan tetap menjadi pilihan masyarakat dalam bertransaksi, karena biayanya masih relatif lebih murah. Selain itu, kemudahan, serta kenyamanan bertransaksi akan menjadi alasan utama bagi masyarakat maupun pelaku usaha dalam menggunakan fasilitas QRIS ini.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
QRIS Bakal Gantikan Transaksi Debit hingga Kartu Kredit? Ini Jawaban Bank Indonesia
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyatakan kehadiran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan inisiasi dari BI bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Hal itu disampaikan Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Elyana K. Widyasari. Ia menuturkan, penerbitan QRIS bukan untuk menggantikan transaksi pembayaran jenis kartu kredit maupun kartu debit. Meski, tren penggunaan QRIS terus memangkas transaksi pembayaran kartu kredit maupun kartu debit.
"Jadi, (QRIS) ini bukan untuk menyandingkan, bukan untuk membandingkan. Artinya bukan saling menggantikan, tidak," ujar Elyana Widyasari dalam acara Pelatihan Wartawan di Pulau Samosir, Sumatra Utara, ditulis Senin (29/4/2024).
Saat ini, masyarakat membutuhkan layanan pembayaran yang efisien dengan biaya yang lebih murah.
"Kalau ingat sekitar 5 sampai 6 tahun lalu, kalau kita mau bayar itu sebelum ada QRIS kita datang ke merchant (pedagang) selalu ditanya pakai QR yang mana, kemudian akan tersedia banyak sekali, ini yang akan menimbulkan biaya yang sangat tinggi bagi masyarakat," kata dia.
Advertisement
Transaksi Kartu Kredit dan Debit Masih Diminati Masyarakat
Ia menambahkan, transaksi pembayaran melalui kartu kredit dan kartu debit masih diminati oleh masyarakat. Selain itu, Bank Indonesia juga masih mengawasi transaksi masyarakat melalui kartu kredit dan debit.
"Karena masih ada model-model pembayaran seperti itu dan untuk pembayaran seperti itu masih diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia," ujar dia.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat, nominal transaksi digital banking tercatat Rp15.881,53 triliun atau tumbuh sebesar 16,15 persen secara year on year (yoy) pada kuartal I-2024. Sedangkan, nominal transaksi Uang Elektronik (UE) meningkat 41,70 persen (yoy) sehingga mencapai Rp253,39 triliun
Adapun, nominal transaksi QRIS tumbuh 175,44 persen (yoy), dengan jumlah pengguna mencapai 48,12 juta dan jumlah merchant 31,61 juta. Sementara itu, nominal transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM/Debit turun sebesar 3,80 persen (yoy) menjadi Rp1.831,77 triliun.
Akan tetapi, nominal kartu kredit masih meningkat 7,71 persen (yoy). Dengan ini, nilai transaksi penggunaan kartu kredit mencapai Rp105,13 triliun.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Bank Indonesia Sederhanakan 135 Aturan Sistem Pembayaran jadi 1 Regulasi
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menerbitkan regulasi baru yang mereformasi 135 ketentuan terkait sistem pembayaran menjadi satu yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/23/PBI/2020 mengenai sistem pembayaran. Penyederhanaan regulasi tersebut untuk menyikapi pesatnya perkembangan ekonomi keuangan digital di Tanah Air.
"Kami jadikan satu untuk mengakomodir ekonomi keuangan digital, melakukan penguatan dan penyederhanaan ketentuan dan juga menata struktur industri," ujar Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta, Jakarta, Jumat (8/1).
Filianingsih mengatakan, PBI tersebut terbit pada 30 Desember 2020 dan mulai berlaku secara efektif pada 1 Juli 2021. Nantinya bank sentral juga akan membuat sekitar 10 aturan turunan menyusul sebelum peraturan reformasi itu berlaku.
PBI baru tersebut akan memperkuat aturan mengenai akses ke penyelenggaraan sistem pembayaran (access policy), penyelenggaraan sistem pembayaran hingga pengakhiran penyelenggaraan sistem pembayaran (exit policy), fungsi BI di bidang sistem pembayaran, pengelolaan data secara terintegrasi, dan perluasan ruang uji coba inovasi teknologi.
Advertisement
PBI Sistem Pembayaran
Pengaturan dalam PBI Sistem Pembayaran didasarkan pada pendekatan berbasis aktivitas dan risiko sehingga tidak bersifat diberlakukan sama untuk semua (one size fits all), khususnya dalam access policy dan penyelenggaraan sistem pembayaran serta pengawasan oleh BI.
Selain itu, pengaturan dalam PBI Sistem Pembayaran juga mengedepankan principle-based regulation dan mendorong optimalisasi penguatan fungsi Self Regulatory Organization (SRO).
Penerbitan ketentuan ini merupakan wujud implementasi dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 yang salah satu inisiasinya adalah mengintegrasikan pengaturan, perizinan, pengawasan, dan pelaporan yang diawali dengan reformasi pengaturan sistem pembayaran.
"Tujuan penerbitan ketentuan ini adalah untuk menjaga keseimbangan antara upaya optimalisasi peluang inovasi digital dengan upaya memelihara stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran guna menciptakan sistem pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal, dengan tetap memerhatikan perluasan akses dan perlindungan konsumen," kata filianingsih.
Secara umum, reformasi pengaturan diarahkan untuk menata kembali struktur industri sistem pembayaran, serta memayungi ekosistem penyelenggaraan sistem pembayaran secara menyeluruh yang sejalan dengan perkembangan ekonomi dan keuangan digital.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com