Liputan6.com, Jakarta - Kampus-kampus di Amerika Serikat (AS) diguncang gelombang protes skala nasional. Para mahasiswa lantang menentang kebiadaban Israel dalam perang di Jalur Gaza.
Demonstrasi dengan berkemah di kampus-kampus AS yang masih berlangsung hingga hari ini bermula dari Columbia University pada 17 April 2024. Mengutip The New York Times, pada hari itu, para mahasiswa mendirikan lebih dari 50 tenda.
Advertisement
Perkemahan diselenggarakan oleh koalisi yang terdiri dari lebih dari 120 organisasi, termasuk Columbia University Apartheid Divest (CUAD), Students for Justice in Palestine (SJP), dan Jewish Voice for Peace (JVP).
Beberapa bulan sebelum mahasiswa Columbia University mendirikan tenda di halaman utama kampus, sekelompok kecil mahasiswa aktivis pro-Palestina bertemu untuk menguraikan rincian logistik selama aksi mereka. Demikian seperti dilansir AP, Selasa (30/4).
Selama beberapa jam sesi perencanaan, mereka membahas strategi komunikasi hingga kesediaan untuk mengambil risiko ditangkap. Kemudian, setelah menimbang-nimbang berbagai opsi, mereka memesan tenda karena paling terjangkau.
"Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan, banyak pertemuan yang harus dilakukan, dan ketika kami akhirnya berhasil melakukannya, kami tidak tahu bagaimana kelanjutannya," kata mahasiswa pascasarjana Columbia University Elea Sun. "Saya tidak berpikir ada orang yang membayangkan hal itu akan terjadi seperti itu."
Mereka yang terlibat dalam aksi protes di Columbia University, yang juga dikenal sebagai "Gaza Solidarity Encampment" atau "Perkemahan Solidaritas Gaza", menggambarkan pengorganisasian mereka sebagai upaya yang direncanakan dengan cermat dan diimprovisasi secara intensif. Mereka mengatakan taktik agresif pihak kampus untuk memadamkan gerakan mereka telah memberikan momentum yang lebih besar.
Satu hari setelah tenda-tenda didirikan, petugas dari Departemen Kepolisian New York (NYPD) membanjiri kampus, membongkar tenda, dan menangkap lebih dari 100 mahasiswa aktivis. Rektor Columbia University Minouche Shafik mengaku dia mengambil langkah luar biasa dengan meminta intervensi polisi karena "Perkemahan Solidaritas Gaza" telah menganggu kehidupan kampus dan menciptakan lingkungan yang mengusik serta mengintimidasi banyak mahasiswa.
Keputusan Shafik dengan segera memicu kemarahan di kampus-kampus lain di seantero Negeri Paman Sam.
"Kami berdiri di sini hari ini karena kami terinspirasi oleh mahasiswa Columbia University, yang kami anggap sebagai jantung gerakan mahasiswa," tegas mahasiswa hukum dan juru bicara dari gerakan perkemahan di University of California, Berkeley, Malak Afaneh.
Faktanya, seepekan sejak polisi membersihkan perkemahan pertama di Columbia University, perkemahan kedua tidak hanya berkembang lebih besar. Namun, juga lebih terorganisir.
"Pihak universitas mengira mereka bisa memanggil polisi dan mengusir para pengunjuk rasa. Sekarang kita punya pengunjuk rasa dua kali lebih banyak," kata Joseph Howley, seorang profesor di Columbia University dan pendukung perkemahan tersebut. "Para mahasiswa telah mengalami peningkatan penindasan yang mendorong mereka untuk meningkatkan taktik sekarang."
Pada 22 April, pihak kampus Columbia University mengumumkan bahwa kelas akan diadakan dalam mode hybrid hingga akhir semester Musim Semi. Mengutip CNN, menurut kalender akademik kampus, hari terakhir kelas adalah pada 29 April.
Laporan Al Jazeera pada 29 April menyebutkan, setidaknya 900 mahasiswa dan dosen ditangkap di AS selama 10 hari terakhir. Beberapa mahasiswa diskors, menjalani masa percobaan, dan dalam kasus yang jarang terjadi, dikeluarkan dari kampus.
Momodou Taal, termasuk di antara empat mahasiswa Cornell University yang diskors karena berpartisipasi dalam demonstrasi pro-Palestina. Dia mengaku mahasiswa yang ikut aksi menerima ancaman, menjadi sasaran doksing, dan mereka tidak mendapat perlindungan dari pihak kampus.
Dari Columbia University, aksi protes pro-Palestina tidak hanya menjalar ke kampus-kampus top lain di dalam negeri AS seperti Yale University, New York University, Virginia Tech, Emerson College, Stanford University, University of Chicago, Massachusetts Institute of Technology, University of California Los Angeles dan lain-lain, namun juga hingga ke sejumlah negara.
Di Prancis, unjuk rasa pro-Palestina bergema di Paris Institute of Political Studies (Sciences Po) dan Sorbonne University. Leeds University, University College London, dan Warwick University di Inggris turut serta dalam aksi serupa. Demikian pula halnya dengan Sapienza University di Italia; University of Melbourne dan University of Sydney di Australia; serta McGill University dan Concordia University di Kanada.
Tuntutan Mahasiswa Pro-Palestina
Perang Israel Vs Hamas di Jalur Gaza sendiri sudah berlangsung sejak 7 Oktober 2023. Otoritas kesehatan Jalur Gaza seperti dikutip dari Xinhua menyatakan bahwa lebih dari 34.400 nyawa telah melayang dan lebih dari 77.600 orang terluka.
Kabar teranyar terkait negosiasi gencatan senjata menyebutkan bahwa Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berharap Hamas akan menerima proposal terbaru Israel. Dia mengklaim tawaran Israel luar biasa menunjukkan kemurahan hati.
"Mereka (Hamas) harus mengambil keputusan dengan cepat ... Dan saya harap mereka akan membuat keputusan yang tepat," tutur Blinken, seperti dikutip dari BBC.
Axios mengutip dua pejabat Israel menuturkan bahwa proposal baru Israel mencakup kesediaan untuk memulangkan warga Gaza Utara dan penarikan pasukan Israel dari Koridor Netzarim, yang membagi Jalur Gaza. Selain itu, Israel disebut bersedia membahas gencatan senjata berkelanjutan setelah pembebasan sandera.
Ketika ditanya tentang status perundingan pada hari Minggu (28/4), seorang pejabat senior Hamas mengatakan kepada AFP bahwa suasananya positif, kecuali muncul hambatan baru dari Israel. Hamas selama ini bersikeras menginginkan gencatan senjata permanen, yang akan mengarah pada penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza dan kembalinya warga ke kampung halaman mereka.
Lantas, apa yang menjadi tuntutan mahasiswa yang melancarkan aksi solidaritas terhadap Palestina di kampus-kampus AS dan berbagai belahan dunia?
Mereka menuntut agar kampus-kampus, yang sebagian besar memiliki dana abadi dalam jumlah besar, melakukan divestasi dari Israel. Demikian dilansir BBC.
Para mahasiswa aktivis menekankan bahwa perusahaan-perusahaan yang berbisnis di atau dengan Israel terlibat dalam perang di Jalur Gaza. Begitu pula perguruan tinggi yang berinvestasi di perusahaan-perusahaan tersebut.
Dalam kasus Columbia University, sang rektor mengakui pembicaraan dengan mahasiswa gagal mencapai kesepakatan dan kampus tidak akan melakukan divestasi. Pada 29 April, Shafik kembali meminta mahasiswa membubarkan diri secara sukarela, dengan mengatakan bahwa aksi protes mereka telah menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi banyak mahasiswa dan dosen Yahudi.
Pada kesempatan yang sama, Shafik seperti dilansir NBC News mengutip acara wisuda pada 15 Mei dengan menyatakan, "Kami juga tidak ingin menghalangi ribuan siswa dan keluarga serta teman-teman mereka untuk merayakan kelulusan."
Meski pihak Columbia University menolak melakukan divestasi dari Israel, namun Shafik memunculkan sejumlah penawaran. Salah satunya berinvestasi di bidang kesehatan dan pendidikan di Jalur Gaza, termasuk mendukung pengembangan anak usia dini dan sokongan bagi para sarjana yang mengungsi.
Pada hari yang sama, pemberitahuan pihak kampus Columbia University yang dilihat oleh NBC News meminta mahasiswa membubarkan diri pada pukul 14.00 waktu setempat.
Para pengunjuk rasa harus mengidentifikasi diri mereka kepada pejabat universitas dan menandatangani formulir yang menyetujui resolusi alternatif atas pelanggaran kebijakan universitas akibat perkemahan tersebut. Resolusi alternatif menyatakan bahwa para penandatangan menyetujui masa percobaan disipliner, mematuhi kebijakan universitas, dan setuju untuk berpartisipasi dalam proses disipliner universitas. Mereka yang menandatangani berhak menyelesaikan semester dengan baik dan tidak akan diskors.
Jika perkemahan tidak dibongkar, pemberitahuan tersebut menyatakan, "Kami perlu memulai prosedur disipliner karena sejumlah pelanggaran kebijakan universitas. Ini adalah kebijakan yang Anda setujui untuk dipatuhi saat Anda bergabung dengan komunitas kami."
Advertisement
Bukan Fenomena Baru
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Irfan Ardhani yang dimintai pendapatnya mengenai aksi pro-Palestina di kampus-kampus AS menuturkan bahwa apa yang terjadi bukanlah fenomena baru.
"Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan keadilan sosial memang muncul di AS. Demo pro-Palestina di kampus-kampus di AS yang belakangan disebut sebagai encampment ini menambah panjang catatan tersebut. Seperti yang kita ketahui, encampment yang dimulai di Columbia University menuntut gencatan senjata di Gaza dan divestasi kampus mereka dari investasi perusahaan yang mendukung Israel," tutur Irfan kepada Liputan6.com.
"Gerakan anti-perang sendiri bukan fenomena yang baru di kalangan kampus di AS. Namun demikian, banyak yang mengatakan bahwa encampment pro-Palestina ini memiliki skala yang besar, sehingga disebut-sebut sebagai aksi mahasiswa paling besar pasca anti-Perang Vietnam tahun 1960-an."
Relatif sulit, ungkap Irfan, untuk melihat efektivitas aksi encampment dalam mendorong perubahan kebijakan luar negeri AS yang lebih signifikan.
"Apalagi, aksi encampment di-frame sebagai tindakan antisemitisme. Sekali ada indikasi antisemitisme maka akan ada sikap bipartisan yang bisa menjadi bumerang bagi encampment. Aksi tersebut pun kini direspons dengan tindakan represif dari aparat keamanan di AS," tutur Irfan.
Terkait tuntutan mahasiswa, Irfan menyatakan bahwa desakan melakukan divestasi bukan hal yang tidak realistis. Irfan mengutip preseden ketika mahasiswa Columbia University berhasil menekan kampusnya untuk stop berinvestasi di perusahaan penjara swasta (private prison company) pada tahun 2015.
"Namun, konteks yang dihadapi berbeda dan isunya (konflik Israel Vs Palestina) jauh lebih kompleks karena memiliki akar yang kuat dalam politik di AS," ujar Irfan.
Irfan yang saat ini tengah bermukin di Brisbane mengisahkan bahwa aksi encampment juga terjadi di The University of Queensland pada 29 April. Merespons aksi tersebut, pihak kampus mengirim email ke seluruh mahasiswa agar mematuhi tata tertib penyampaian pendapat yang dimiliki oleh kampus.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih Andrew Bates pada 23 April seperti dikutip dari CNN mengungkapkan, "(Presiden Joe Biden) tentu saja tahu soal protes yang terjadi ... Kami menghormatinya dan kami mendukung hak setiap warga AS untuk melakukan protes secara damai. Itu yang konsisten kami lakukan."
Di lain sisi, sehari sebelumnya, Biden secara langsung mengutuk antisemitisme yang disebutnya mewarnai aksi pro-Palestina.