Liputan6.com, Jakarta Jika jalan-jalan ke Teras Malioboro, Anda mungkin pernah menjumpai sandal-sandal kulit dengan beragam model dan warna. Ada juga sepatu, tas, ikat pinggang, dan aksesori lainnya yang terbuat dari kulit. Produk-produk ini tak sedikit berasal dari Sentra Kerajinan Kulit Keparakan.
Keparakan merupakan sebuah kelurahan yang terletak di Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta. Di kampung ini, ada puluhan perajin kulit yang memproduksi aneka produk. Agus Supriyadi, merupakan salah satu perajin yang masih produktif.
Advertisement
“Sandal-sandal yang ada di Malioboro, sebagian berasal dari sini,” ujar Agus saat ditemui di rumahnya Senin (18/3/2024).
Sejak tahun 2000, Agus mulai merintis usaha kerajinan kulitnya sendiri. Sebelumnya, Agus merupakan perajin kulit yang bekerja untuk Suyadi, salah satu pelopor perajin kulit di Keparakan. Agus mulai menjadi perajin sejak 1997 silam.
Sudah ada sejak 1980-an
Keberadaan Sentra Kerajinan Kulit Keparakan tak lepas dari peran dua sosok perajin bernama Ashari dan Suyadi. Ashari terkenal sebagai perajin sepatu kulit alusan seperti pantofel. Sementara Suyadi memproduksi sandal-sandal yang dengan kelas menengah ke bawah, yang dijual di Trotoar Malioboro, Prambanan, Borobudur, dan tempat wisata lainnya.
“Dua-duanya ini kan dulu banyak mengajari warga sini untuk ikut bekerja atau produksi. Kemudian setelah beberapa tahun, ikut kan mereka, Pak Ashari dan Pak Suyadi itu punya target, kamu harus ikut saya lima tahun maksimal. Kalau sudah lima tahun harus mandiri,” cerita Agus.
Dari kebijaksanaan kedua tokoh inilah akhirnya banyak warga kampung, termasuk Agus yang punya usaha mandiri kerajinan kulit. Hingga pada 2011, Pemerintah Kota Yogyakarta menetapkan Keparakan sebagai sentra kerajinan kulit.
Advertisement
Fokus produksi sandal
Di Keparakan, ada banyak produk yang dihasilkan seperti sandal, sepatu, tas, ikat pinggang, dompet, dan barang-barang lainnya. Agus sendiri memfokuskan diri pada produksi alas kaki, khususnya sendal. Dalam berproduksi, ia mengaku sempat menjajal beragam jenis bahan untuk sendal.
“Awalnya itu sandal kulit, kemudian berubah menjadi sandal eceng, berubah lahi jadi sandal batik. Pernah juga pakai kulit gambas, karena menyesuaikan permintaan pasar," ujar Agus.
Baru dari 2018 sampai saat ini, Agus menekuni sandal vinil dan sandal kulit. Salah satu keistimewaan sandal buatan Agus adalah bentuknya yang khas, seperti jamur. Jenis sandal ini merupakan sandal khas Jogja. Kini, Agus bisa memproduksi 200 pasang sandal. Harga produknya dibanderol pada kisaran rp15.000 - rp25.000.
Jatuh bangun jalani usaha
Berbekal modal rp2 juta, pada tahun 2000 Agus nekat membeli bahan baku, mesin jahit, dan mempekerjakan dua karyawan. Pada 2004, ia sempat tidak bersemangat dan tidak begitu mengurus usahanya. Agus bahkan sempat melamar menjadi pegawai.
Setahun kemudian, Agus justru kebanjiran orderan. Akhirnya, ia memilih resign dan kembali menjadi perajin kulit. Saat order sedang banyak-banyaknya, pada 2006 terjadi erupsi Gunung Merapi. Diperparah, pada akhir tahun terjadi gempa Jogja. Ini membuat bisnis saat itu lumpuh total.
“Kita kan lalu semua down, tidak ada order semua, hampir semua tidak punya pekerjaan,” cerita Agus.
Namun, kondisi tersebut tak berlangsung lama. Pasca gempa, banyak pihak yang bersimpati pada UMKM yang ada di Yogyakarta. Ini membuat Agus dan perajin lainnya kembali kebanjiran order.
Setelah ditetapkan sebagai sentra kerajinan, Keparakan makin dapat order dalam skala besar. Agus bahkan sampai lembur bersama karyawannya.
“Dari situ, banyak membutuhkan tenaga kerja. Orang-orang di sini yang nganggur itu hampir tidak ada. Kebangetan kalau sampai orang di sini nganggur,” ujarnya.
Badai kembali datang pada tahun 2020, saat itu pandemi Covid-19 melumpuhkan segalanya. Agus pun sempat merasakan penurunan drastis dalam bisnisnya.
“Karyawan saya bisa 15 sampai mungkin 20. Sekarang saya cuma bertujuh, ya kadang bersembilan,” ujarnya.
Advertisement
BRI bantu Agus bangkit pasca pandemi
Di saat-saat terpuruk, Agus dipertemukan dengan akses permodalan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Saat itu ia ditawari untuk mengambil Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan oleh BRI. Permodalan yang diberikan BRI inilah yang menjadi kunci bertahannya bisnis Agus.
“Akhirnya bisa kembali bangkit. Bahkan ketika Corona yang lain kolaps, saya sendiri masih bisa berkibar, bisa membantu teman-teman pengrajin lain yang kolaps,” ujar Agus.
Saat pandemi, Agus memberanikan diri untuk mengajukan KUR sebesar rp50 juta. Hingga kini ia masih menjadi nasabah setia BRI. Setelah ikut KUR, Agus juga dilibatkan dalam sejumlah pameran. Di kesempatan tersebut, ia memamerkan sekaligus memasarkan produk-produknya.
“Sebenarnya penawaran BRI itu sudah lebih dari itu. Ditawarin sampai rp200 juta. Tapi karena melihat perkembangan ekonomi belum stabil, kita masih fluktuatif, jadi belum dulu. Misalnya diberi banyak pun saya bingung juga nanti buat apa,” imbuhnya.
Agus menyebut, dengan adanya permodalan yang diberikan, mimpi buruk dampak pandemi bisa berangsur hilang. Menurutnya, seorang pengusaha bisa lebih berani mengambil keputusan jika punya modal yang cukup.
KUR Bantu UMKM bergeliat kembali
BRI memberikan dukungan signifikan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang terkena dampak pandemi. Dengan menyalurkan KUR,, BRI membantu UMKM untuk tetap bertahan dan beroperasi, sehingga mereka dapat memulihkan bisnis mereka di tengah tantangan ekonomi.
Melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada masyarakat, BRI berhasil menjadikan KUR sebagai salah satu stimulus yang efektif dari pemerintah untuk membantu menyelamatkan pelaku UMKM selama masa pemulihan ekonomi yang disebabkan oleh krisis pandemi Covid-19. Pada 2023, tercatat porsi penyaluran KUR BRI ke UMKM mencapai 83 persen.
Advertisement