May Day 2024: Lambatnya Pertumbuhan Gaji Buruh Jadi Biang Kerok Ketimpangan

Pendapatan buruh bisa dilihat dari Upah Minimum yang berlaku di setiap daerah. Setiap tahun, sebagaimana disoroti serikat buruh, kenaikan UMP dinilai belum memadai.

oleh Arief Rahman H diperbarui 01 Mei 2024, 20:00 WIB
Buruh dari berbagai aliansi melakukan aksi damai dalam rangka Hari Buruh Internasional di Bundaran HI, Jakarta, Rabu (1/5/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita buka-bukaan penyebab lebarnya ketimpangan di setiap negara. Ketimpangan ini jadi bagian pada konteks kesejahteraan buruh yang juga jadi sorotan dalam Hari Buruh Internasional atau May Day 2024.

Ronny mengatakan, perbandingan pertumbuhan harta orang kaya dan pendaparan buruh atau pekerja tidak selaras. Alhasil, terjadi ketimpangan antara orang kaya dan pekerja.

"Sebagaimana hasil kajian pakar-pakar ketimpangan dunia, mulai dari Thomas Piketty sampai pada Branko Milanovic, lambatnya pertumbuhan gaji pekerja dibanding pertumbuhan kekayaan orang kaya adalah biang kerok terjadinya ketimpangan di setiap negara," ujar Ronny kepada Liputan6.com, Rabu (1/5/2024).

Pada bagian ini, pendapatan buruh bisa dilihat dari Upah Minimum yang berlaku di setiap daerah. Setiap tahun, sebagaimana disoroti serikat buruh, kenaikan UMP dinilai belum memadai.

Sementara itu, perbedaan terjadi pada pertumbuhan harta dari orang kaya. Jika dilihat dari sumber kekayaannya, pertumbuban asetnya cenderung lebih tinggi ketimbang pendapatan buruh.

"Artinya, kenaikan UMP selama ini terlalu rendah, sementara orang kaya mengalami loncatan kekayaan setiap tahun dari Return of Investment asset-asset yang mereka punya, termasuk asset berupa kepemilikan saham-saham korporasi dengan jumlah karyawan besar," tuturnya.

Masih pada konteks kesejahteraan, pada sektor keternagakerjaan, kata Ronny, perlu sistem yang menjamin pasca pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ini bisa dilakukan guna membuka peluang pekerja tersebut bisa mendapatkan kesempatan di pasar kerja.

"Soal program mitigasi PHK. Diperlukan program seperti Trade Adjustment Program yang ada di Amerika atau Irlandia, di mana korban PHK baik akibat disrupsi teknologi maupun akibat kalah dagang (trade), dengan menyediakan progran upgrade skill bagi pekerja yang di PHK agar skillnya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja yang baru," urai Ronny.

 


Minta Prabowo-Gibran Cabut Omnibus Law Cipta Kerja

Buruh dari berbagai aliansi melakukan aksi damai dalam rangka Hari Buruh Internasional di Bundaran HI, Jakarta, Rabu (1/5/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, kelompok buruh menuntut dicabutnya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dalam peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2024. Hal ini juga yang diarahkan pada Presiden Terpilih, Prabowo Subianto.

Diketahui, 2024 ini menjadi tahun transisi pemerintahan ke tangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Melihat momentum ini, Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia menuntut Prabowo-Gibran mencabut UU Cipta Kerja.

"Dampak buruk Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, khususnya kluster Ketenagakerjaan, sudah mulai dirasakan oleh rakyat Indonesia. Undang Undang Cipta Kerja telah membuat pekerja Indonesia semakin miskin, karena telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah dan juga jaminan sosial," ucap Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat dalam keterangannya, Rabu (1/5/2024).

 


Dampak Buruk

Buruh dari berbagai aliansi melakukan aksi damai dalam rangka peringatan May Day atau Hari Buruh Internasional di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dia mengungkapkan dampak buruk penerapan UU Cipta Kerja antara lain soal penetapan upah minimum yang tidak lagi melibatkan unsur tripartit dan kenaikannya tidak memenuhi unsur kelayakan. ASPEK Indonesia menuntut Pemerintah melakukan revisi atas PP No. 51 Tahun 2023, dengan mengembalikan mekanisme penghitungan kenaikan upah minimum provinsi dan kabupaten kota.

Utamanya dengan memperhitungkan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dan juga hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang harus dilakukan oleh Dewan Pengupahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

"Kebutuhan Hidup Layak yang harus disurvei, minimal menggunakan 64 komponen KHL, didasarkan pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak," jelasnya.

Selain meminta dicabutnya Omnibus Law UU Cipta Kerja, Mirah menuntut perlindungan hak berserikat di perusahaan. Pasalnya, atas temuannya masih banyak perusahaan yang anti terhadap keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh. "Seiring dengan itu maka agar dilakukan pembenahan menyeluruh desk pidana perburuhan yang ada di kepolisian," pintanya.

 

Infografis Tuntutan dan Alasan Buruh Tolak Kenaikan Harga BBM. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya