Liputan6.com, Jakarta - Setiap 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Pekerja migran merupakan kelompok buruh yang masih memiliki berbagai persoalan, seperti kasus eksploitasi pekerja migran hingga perlindungan hak asasi Pekerja Migran Indonesia.
Perlindungan PMI, yang seharusnya menjadi prioritas moral dan hukum, masih terombang-ambing di tengah arus kepentingan politik dan ekonomi yang sering mengabaikan hak asasi manusia.
Dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional, MPM PP Muhammadiyah menyoroti isu terkait pekerja migran Indonesia lewat diskusi bertajuk “Keadilan untuk Semua: Carut- marut Perlindungan Pekerja Migran Indonesia” di Gedung Pusat Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/5/2024).
Diskusi tersebut menghadirkan beberapa narasumber dari berbagai latar belakang yaitu, Anwar Abbas (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Anis Hidayah (Komisioner Komnas HAM), Kemudian Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Judha Nugraha (Direktur Kemenlu Perlindungan WNI) dan Fitri Wahyuni (Koordinator Departemen Pengorganisasian SBMI).
Isu persoalan pekerja migran terutama terkait perlindungan hak asasi secara hukum dilihat sebagai sesuatu hal yang penting diperhatikan dan penting diangkat.
Baca Juga
Advertisement
Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan penempatan PMI sepanjang tahun 2023 mencapai angka 273.848 pekerja. Angka tersebut menunjukkan bahwa pekerja migran Indonesia cukup besar, namun masih kurang mendapatkan perhatian lebih dari negara.
Masih banyak pekerja migran Indonesia yang mengalami ketidakadilan. Selama ini PMI masih mendapat tindakan kekerasan bahkan berujung kematian. Misalnya dalam periode 1 sampai 30 Januari 2024, sebanyak 11 peti jenazah PMI asal Nusa Tenggara Timur tiba melalui Bandara El Tari, Kupang. Begitupun juga dengan jumlah kematian PMI yang berangkat secara ilegal cenderung meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada 2023.
Ini adalah cerminan tragis dari ketidakpastian dan risiko yang dihadapi oleh PMI, terutama yang terjebak dalam situasi ilegal dan tidak terlindungi. Perlindungan terhadap PMI tidak dapat hanya dengan sebuah ucapan, janji, kampanye politik, namun harus dengan tindakan nyata.
Ulasan tentang isu perlindungan pekerja migran Indonesia sering muncul pada momentum politik seperti Pemilu, akan tetapi pada faktanya implementasi tersebut masih minim. Janji-janji manis tentang peningkatan perlindungan dan kesejahteraan PMI seringkali hanya menjadi bahan kampanye semata, tanpa tindakan konkret yang mengikuti. Keadilan untuk semua PMI berarti memastikan akses yang adil terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan hukum.
Namun, kenyataannya, akses tersebut masih jauh dari merata, terutama bagi PMI yang berada di posisi paling rentan. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan PMI, lebih dari sekadar melihat mereka sebagai alat ekonomi semata menjadi mengakui mereka sebagai individu yang memiliki hak-hak yang harus dijamin. Ini membutuhkan komitmen nyata dari pemerintah, lembaga internasional, dan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan sejati.