Liputan6.com, Jakarta - Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas setiap tahunnya. Peringatan Hari Pendidikan Nasional bertujuan untuk memperingati kelahiran tokoh pelopor pendidikan Indonesia yakni Ki Hajar Dewantara.
Hal ini jadi alasan kenapa Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei, yang merupakan hari lahir Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Advertisement
Kini, setiap tahunnya 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas. Meski bukan tanggal merah atau hari libur nasional, warganet cukup antusias turut memperingati Hardiknas melalui media sosial.
Pantauan Tekno Liputan6.com, Kamis (2/5/2024), topik tentang Hari Pendidikan Nasional dan tagar #Hardiknas menjadi trending topic di X alias Twitter, begitu juga dengan nama Ki Hajar Dewantara.
Warganet mengucapkan Selamat Hari Pendidikan Nasional lengkap dengan harapannya terhadap pendidikan di Indonesia.
"Selamat Hari Pendidikan Nasional, di mana masih banyak anak-anak usia sekolah belum mendapatkan hak pendidikan," kata seorang warganet.
Warganet Serukan Pendidikan Hak Semua Anak Indonesia
Warganet lain menyebutkan kalau pendidikan adalah hak seluruh anak bangsa.
"Pendidikan juga merupakan hak seluruh anak-anak bangsa. Memperoleh pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Selamat Hari Pendidikan Nasional," kata warganet lainnya.
Warganet lain menjadikan momen Hardiknas agar pemerintah di bawah Presiden dan Wakil Presiden terpilih turut memprioritaskan kesejahteraan guru.
"Salam sehat dan bahagia selalu. Mohon izin Pak Prabowo dan Mas Gibran, mohon agar tahun ini guru menjadi prioritas utama untuk disejahterakan, terima kasih," tulis seorang warganet lainnya.
Ada juga warganet yang mengunggah foto upacara hari pendidikan nasional di sekolahnya.
Advertisement
Sejarah Hari Pendidikan Nasional
Peringatan Hari Pendidikan Nasional bertujuan untuk memperingati kelahiran tokoh pelopor pendidikan di Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. Itu yang menjadi alasan mengapa Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei lantaran bertepatan dengan hari lahir Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara sendiri lahir di Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889, dan meninggal di Jogjakarta, 26 April 1959 pada usia 69 tahun. Seperti yang kita masyarakat Indonesia ketahui, beliau adalah seorang pahlawan nasional yang berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.
Kebijakan yang ditentang adalah kebijakan tentang pendidikan yang hanya bisa dirasakan oleh anak-anak kelahiran Belanda atau anak-anak dari golongan berada saja.
Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah saat itu membuat dirinya diasingkan ke Belanda. Setelah kembali ke Indonesia, Ki Hajar Dewantara kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dikenal dengan nama Taman Siswa. Selain mendirikan Taman Siswa, masih banyak kontribusi Ki Hajar Dewantara dalam ranah pendidikan di Indonesia.
Ki Hajar Dewantara Diasingkan Lantaran Tulisannya
Tak hanya itu, Ki Hajar Dewantara juga merupakan seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda.
Ki Hajar Dewantara menamatkan pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) atau sekolah dasar pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia.
Selanjutnya ia juga sempat melanjutkan pendidikan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), yaitu sekolah pendidikan dokter di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda. Namun dia tak sekolah di sana sampai lulus lantaran sakit.
Ki Hajar Dewantara juga pernah bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar. Dirinya juga aktif dalam organisasi sosial dan politik di Indonesia, yaitu Boedi Oetomo dan Insulinde.
Tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling terkenal saat itu adalah, "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga."
Ada pula kolom Ki Hajar Dewantara yang paling terkenal dengan judul "Als ik een Nederlander was" diterjemahkan menjadi, "Seandainya Aku Seorang Belanda."
Tulisannya tersebut dimuat dalam surat kabar bernama De Expres pada 13 Juli 1913. Surat kabar tersebut berada di bawah pimpinan Ernest Douwes Dekker. Namun lantaran tulisannya tersebut, Ki Hajar Dewantara ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka.
Tapi kedua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, melakukan protes atas pengasingan tersebut. Akhirnya mereka bertiga pun diasingkan ke Belanda, dan ketiga tokoh ini kemudian dikenal dengan sebutan "Tiga Serangkai."
Advertisement