Liputan6.com, Jakarta - Saat bayi lahir ke dunia, fokus keluarga nyaris tersita seluruhnya untuk memastikan kesejahteraan si kecil. Perempuan yang melahirkan si bayi tak jarang diabaikan, padahal kondisi mereka juga sama rapuhnya. Pasalnya, mereka berisiko mengalami depresi pasca-melahirkan.
Dalam rilis yang diterima Tim Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 2 Mei 2024, berdasarkan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023, 32 persen ibu hamil mengalami depresi dan 27 persen mengalami depresi pasca-melahirkan. Kondisi kesehatan mental ibu yang tak stabil tak bisa dibiarkan.
Advertisement
"Kondisi sang ibu yang sedih dan murung yang berkepanjangan, tidak bisa bonding dengan anak, emosi yang tidak stabil adalah gejala yang perlu diwaspadai karena tidak sedikit kejadian yang bisa berimbas dengan mencelakakan diri sendiri maupun sang bayi," ujar konselor Klinik First Care sekaligus psikolog keluarga Lieke Puspasari di Jakarta.
Menurut Lieke, kasus depresi pasca-persalinan yang sering dijumpai adalah baby blues. Kondisi itu biasanya muncul dua hingga tiga hari pertama setelah persalinan dan dapat berlangsung selama satu hingga dua minggu. Gejalanya antara lain ibu diliputi kecemasan, susana hati yang buruk dan cepat berubah, sering menangis, hingga kesulitan tidur.
Lieke menyebut hampir 70 persen ibu mengalami baby blues pada hari setelah melahirkan. Penyebabnya, sambung dia, adalah kombinasi faktor fisik dan emosional. Kadar hormon estrogen dan progesteron yang menurun drastis memicu terjadinya perubahan hati secara tiba-tiba.
Kurangnya istirahat serta kelelahan baik secara fisik maupun emosional dalam memicu depresi pasca-melahirkan. Maka itu, ia meminta suami atau ayah baru memberi perhatian seimbang kepada istri dan bayinya.
"Terutama menghadirkan kenyamanan bagi ibu saat harus intens merawat bayinya," ujarnya. Baby blues juga bisa ditangani lewat bertukar pikiran dengan pasangan atau berbicara dengan sesama ibu untuk mendapat dukungan emosional.
2 Bentuk Depresi Pasca-melahirkan Lainnya
Selain baby blues, depresi pasca-melahirkan yang bisa dialami ibu adalah postpartum depression yang ditandai dengan tingkat kecemasan yang lebih kuat dibandingkan baby blues. Kondisi itu dapat terjadi pada kelahiran selanjutnya.
Untuk penanganannya, baik ibu dan ayah disarankan berkonsultasi kepada ahli kesehatan mental, seperti konselor, psikolog, ataupun psikiater. Ibu juga perlu berkonsultasi dengan dokter obgyn untuk mengidentifikasi gejala depresi dan melakukan perawatan.
Bentuk ketiga dari depresi pasca-melahirkan disebut psikosis postpartum. Lieke menjelaskan kondisi psikologis itu memiliki gejala yang lebih buruk dari PPD dan tergolong penyakit mental serius. Pasien bisa mengalaminya dalam kurun waktu tiga bulan pertama setelah melahirkan.
"Pada kasus psikosis postpartum, gejala yang umum terjadi adalah halusinasi, perubahan mood ekstrem, mood manic, bingung, curiga dan takut, delusi, menjadi agresif, paranoid, hingga berencana untuk menyakiti diri sendiri maupun bayi," ia menerangkan.
Lieke menegaskan bahwa bahwa depresi pasca-melahirkan bukanlah bentuk kekurangan atau kelemahan seorang itu. Kondisi itu bisa terjadi karena komplikasi melahirkan.
Advertisement
Pentingnya Support System yang Tepat
Untuk itu, ibu perlu memiliki support system yang tepat. Ketika ibu terlihat mengalami gejala depresi postpartum, keluarga dan pasangan dapat segera memberikan perawatan pada ibu. "Pentingnya dukungan pasangan sejak awal kehamilan, memberikan perhatian kepada pasangan dapat mengurangi stress yang ibu alami," tutur Lieke.
"Dukungan orang terdekat menjadi sangat krusial dalam mencegah depresi pasca-persalinan bagi seorang ibu. Selama periode ini, kesehatan mental sang ibu sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan erat dengan kesehatan fisik bayi yang dirawatnya, apalagi di masa tersebut kesehatan fisik ibu juga masih dalam pemulihan," imbuh dia.
Kesejahteraan ibu pada akhirnya akan memengaruhi kondisi anak, terutama terkait pembentukan kelekatan emosional antara ibu dan anak di periode 1.000 hari pertama kehidupan. Dengan kondisi psikologis yang baik, ibu bisa lebih stabil menjalin kelekatan dengan anaknya. Sebaliknya, kondisi psikologis yang diabaikan membuat suasana hati ibu naik turun. Akhirnya, proses pembentukan bonding jadi kurang optimal.
Pentingnya Bangun Bonding Ibu dan Anak di 1.000 Hari Pertama Kelahiran
Seribu hari pertama kehidupan, yang dimulai dari konsepsi hingga usia dua tahun, merupakan periode kritis dalam perkembangan anak. Pada masa ini, otak dan sistem saraf bayi berkembang pesat. Pengalaman awal mereka berdampak signifikan pada kesehatan mental, fisik, dan emosional mereka di masa depan.
Salah satu faktor terpenting dalam perkembangan anak selama periode ini adalah bonding atau kedekatan antara ibu dan bayi. Kedekatan antara ibu dan bayi akan menghasilkan kelekatan. Dalam kesempatan berbeda, Lieke menyatakan bahwa kelekatan antara ibu dan anak merupakan yang paling penting dibandingkan kelekatan anak dengan anggota keluarga lainnya.
"Attachment ini hati-hati. Usia nol sampai 2 tahun itu anak butuh attachment. Ketika anak sering ditinggal dan lebih banyak dengan pengasuh, pasti pada suatu hari dia akan mencari pengasuh bukan ibunya," jelas Lieke dalam Diskusi Media pada Selasa, 2 April 2024, di Jakarta.
Kelekatan seorang anak usia nol hingga dua tahun akan terbangun dengan orang yang biasa dia dengar, sentuh, dan lihat. "Apabila bonding dilakukan dengan optimal, akan terbentuk hubungan kelekatan dan rasa aman pada sang anak."
Hal itu, sambung dia, akan sangat berpengaruh sampai anak beranjak dewasa. Anak yang cenderung dekat dengan sang ibu, dapat bercerita dengan leluasa dan mudah mendengarkan nasihat ibunya.
Advertisement