Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS melemah. Per hari ini, Jumat (3/5/2024), nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS tembus lebih dari Rp 16 ribu. Apakah hal ini berpengaruh terhadap harga gadget dan smartphone?
Product Marketing Manager Xiaomi Indonesia, Rendy Tonggo, mengatakan ketika perusahaan menentukan harga produk ada banyak hal yang dilihat, terlepas dari pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
Advertisement
"Nah, sebenarnya sih kalau dari kami sendiri, ada banyak faktor untuk menentukan harga, tapi pastinya Xiaomi Indonesia selalu berkomitmen untuk memberikan harga terbaik kepada Xiaomi Fans," kata Rendy Tonggo, ditemui usai peluncuran tablet Xiaomi Pad 6S Pro 12.4 di Jakarta, Kamis (2/4/2024).
Sementara itu vendor smartphone lainnya, Vivo Indonesia memiliki jawaban yang mirip.
Diungkapkan oleh Product Marketing Vivo Indonesia, Fendy Tanjaya, penentuan harga produk mereka tergantung dari kondisi pasar.
"Kami dari Vivo selalu ingin menghadirkan produk dengan harga yang tepat kepada para pengguna. Penentuan harga produk telah melalui diskusi yang panjang," kata Fendy.
Ia menyebut ke depannya belum mengetahui apakah akan menaikkan harga produk HP Vivo karena kondisi nilai tukar Rupiah yang melemah.
"Namun kami selalu mengatur harga terbaik untuk para pengguna," tuturnya menambahkan.
Sekadar informasi, sejak libur Lebaran pada pertengahan April 2024, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS mengalami pelemahan hingga lebih dari Rp 16 ribu.
Bahkan, Rupiah masih terus di kondisi nilai tukar lemah meski ditutup dengan penguatan sebesar Rp 16.185 pada penutupan perdagangan, Kamis 2 Mei 2024.
Pengusaha Lebih Takut Suku Bunga Naik Ketimbang Rupiah Ambrol, Ini Alasannya
Di sisi lain, Ketua Umum Himpunan dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, menilai dampak kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) jauh lebih memberatkan ketimbang pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pernyataan ini merespons kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 6,25 persen pada April 2024.
"Jadi, dampak suku bunga menurut saya lebih besar dari dampak kenaikan dolar AS," kata Budi kepada awak media di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (2/5).
Budie menerangkan, kenaikan suku bunga oleh BI akan memberikan sederet dampak rambatan terhadap pelaku usaha ritel. Pertama, nilai bunga pinjaman dari perbankan akan mengalami kenaikan.
Kedua, biaya sewa maupun cicilan di pusat perbelanjaan juga akan naik mengikuti penyesuaian suku bunga BI. Kondisi ini tentu akan memberangkatkan pelaku usaha di tengah tren ancaman ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
"kalau trafic (penjualan) bagus dan ramai mungkin gal terlalu kena (dampak)karena masih bisa diserap dari mixed margin. Tapi yang saya khawatir traficnya (penjualan) juga turun," bebernya.
Sebaliknya, dampak penguatan dolar AS sendiri tidak secara langsung dirasakan oleh pelaku usaha. Selain itu, penguatan dolar AS juga akan mendorong wisatawan asing untuk berkunjung dan berbelanja aneka produk UMKM di Indonesia.
"Hitung-hitungan (turis asing) daripada ke Vietnam mending ke Indonesia karena harga murah dan dolarnya lagi kuat ya," ucapnya.
Atas kondisi tersebut, pelaku usaha terus melakukan efisiensi terhadap pengeluaran kas perusahaan. Cara ini ditempuh untuk memastikan arus keuangan perusahaan tetap sehat.
"Kami juga melakukan pencarian suplier seperti ini, cari suplier baru yang lebih mudah kalau dulu mungkin belinya mahal, mungkin hari ini kita ketemu suplier baru jadi lebih murah. Jadi ada margin-margin tambahan," imbuhnya mengakhiri.
Advertisement
Keputusan Bank Indonesia
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan (BI rate) menjadi 6,25 persen.
Selain itu, suku bunga Deposit naik sebesar 25 bps Facility sebesar 5,5 persen, dan suku bunga Lending Facility naik sebesar 25 bps jadi 7 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo, menjelaskan kenaikan suku bunga ini dilakukan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari kemungkinan menurunnya risiko global serta sebagai langkah pre-emptivae dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam target 2,51 persen pada tahun 2024 dan 2025.
Infografis Rupiah dan Bursa Saham Bergulat Melawan Corona (Liputan6.com/Triyasni)
Advertisement