PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus, Konversi Perolehan Suara Nasional Jadi Kursi di DPR

Iqbal menyatakan, kondisi yang dialami PPP di Pemilu 2024 telah menimbulkan ketidakadilan. Terlebih, MK sebelumnya telah menyatakan bahwa ambang batas parlemen 4 persen inkonstitusional.

oleh Winda Nelfira diperbarui 03 Mei 2024, 13:42 WIB
Tim hukum PPP dalam sidang panel 1 sengketa Pileg 2024, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (30/4/2024). (Foto: Tim Humas MK)

Liputan6.com, Jakarta - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kebijakan khusus agar mengonversi perolehan suara nasional PPP di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 menjadi kursi di DPR RI.

Hal ini disampaikan PPP dalam sidang pemeriksaan pendahuluan sengketa Pileg 2024 perkara nomor 130-01-17-37/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 di Panel 1 Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat (3/5/2024).

Adapun PPP diketahui gagal melaju ke Parlemen karena tak terpenuhinya ambang batas parlemen (parlemen threshold) 4 persen. Sedangkan, suara PPP hanya 5.878.777 suara atau 3,87 persen.

Berdasarkan rekap nasional KPU pada 20 Maret 2024, perolehan suara nasional dalam Pemilu 2024 ialah sebanyak 151.796.631 dengan ambang batas parlemen 4 persen suara sah atau 6.071.865 suara sah. Sehingga suara PPP kurang 193.088 suara.

"Bahwa oleh karena itu, MK untuk mewujudkan dan berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dan kepastian hukum yang adil agar memberikan kebijakan khusus kepada Pemohon yaitu memerintahkan Termohon (KPU) untuk mengonversi perolehan suara sah dapil anggota DPR RI yang diperoleh oleh pemohon 5,8 juta di Pemilu 2024 menjadi kursi DPR RI," kata Kuasa Hukum PPP Iqbal Tawakkal Pasaribu.

Iqbal menyatakan, kondisi yang dialami PPP di Pemilu 2024 telah menimbulkan ketidakadilan. Terlebih, MK sebelumnya telah menyatakan bahwa ambang batas parlemen 4 persen inkonstitusional. "Hal demikian telah jelas mengabaikan kedaulatan rakyat sebagaimana telah dijamin pasal 1 ayat 2 UUD 1945," katanya.

 


Menguntungkan Parpol Lain

Ketua Hakim MK Anwar Usman (tengah) bersama Hakim MK Enny Nurbaningsih (kiri) dan Arie Hidayat memimpin sidang perdana sengketa Pemilu Legislatif 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (9/7/2019). Ada 260 perkara gugatan dari peserta Pileg 2019 yang akan disidangkan. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Menurut Iqbal, PPP mengalami kondisi ketidakpastian hukum karena terjadi penundaan penghapusan ambang batas parlemen 4 persen di 2024. Mengingat, perolehan suara PPP pada Pemilu 2024 hanya selisih sedikit dari ambang batas parlemen yang ditentukan, namun tak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR RI.

"Suara pemohon yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR RI tersebut merupakan bentuk pengabaian dan pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat yang telah nyata menyakiti hati dan mengabaikan keberagaman kemerdekaan aspirasi umat dan ulama," kata dia.

Lebih lanjut, Iqbal menuturkan, apabila suara sebesar 5.878.777 yang diberikan pemilih kepada PPP pada pemilu 2024 tidak dikonversi menjadi kursi DPR RI, maka aspirasi politik umat dan ulama bakal beralih pada parpol lain yang tidak seideologi.

"Aspirasi umat tidak terwakili sehingga menjadi tereduksi, terbuang dan terabaikan," ucapnya.

"Parpol lain yang diuntungkan karena pemohon tidak dikonversi menjadi kursi akan beralih pada partai yang seideologi di antaranya PDIP, Nasdem, dan Golkar," tandasnya.

Infografis Poin-Poin Penting Putusan MK Tolak Gugatan Pilpres 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya