Liputan6.com, Washington, DC - Pasukan Rusia telah dikerahkan ke pangkalan udara di Niger, tempat di mana pasukan Amerika Serikat (AS) berada. Hal ini dipandang menambah tekanan kepada AS saat AS sedang bernegosiasi mengenai penarikan pasukannya dari negara tersebut, menyusul perintah pengusiran oleh junta militer Niger.
AS sebelumnya mengoperasikan dua pangkalan drone di Niger, yang bertujuan melawan pemberontak. Washington mengecam kudeta di Niger pada Juli tahun lalu. Sebaliknya, para pemimpin junta meminta bantuan Rusia.
Advertisement
Niger berada di wilayah Sahel di Afrika, yang dianggap sebagai pusat global baru kelompok ISIS.
AS mengandalkan Niger sebagai basis utama untuk memantau aktivitas kelompok ekstremis regional.
Orang-orang Rusia yang dikerahkan ke Pangkalan Udara 101 di Niamey dilaporkan adalah pelatih militer.
Mereka menduduki sayap yang dekat dengan kontingen pasukan AS. Menurut kantor berita Reuters, para pejabat di Niger mengatakan kepada AS bahwa sekitar 60 tentara Rusia berada di negara tersebut.
Hubungan antara AS dan Rusia memburuk tajam sejak Presiden Vladimir Putin melancarkan invasi besar- ke Ukraina pada Februari 2022, dengan AS memimpin upaya Barat untuk memasok senjata ke Ukraina.
Namun, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengecilkan risiko apa pun terhadap pasukan AS.
"Orang-orang Rusia berada di kompleks terpisah dan tidak memiliki akses terhadap pasukan AS atau akses terhadap peralatan kami," kata Austin seperti dilansir BBC, Sabtu (4/5/2024).
"Saya selalu fokus pada keselamatan dan perlindungan pasukan kami ... Saat ini, saya tidak melihat masalah signifikan dalam hal perlindungan pasukan kami."
Aliansi Baru
Sebagian besar pasukan AS di Niger disebut berada di pangkalan drone di pusat Kota Agadez, sekitar 750 km di timur laut Niamey. Sementara itu, tidak jelas berapa banyak tentara AS yang tersisa di Pangkalan Udara 101.
Junta Niger memerintahkan seluruh pasukan AS untuk meninggalkan negara itu pada Maret. Mereka menuduh AS keberatan terhadap sekutu yang mereka pilih.
Beberapa negara lain di wilayah Sahel yang dipimpin militer baru-baru ini juga memperkuat hubungan dengan Rusia dan memutuskan hubungan dengan Prancis, bekas kekuatan kolonial, saat mereka mencoba melawan pemberontakan kelompok ekstremis.
Tahun lalu, Niger dan Burkina Faso mengumumkan mereka mengikuti jejak Mali dengan menarik diri dari pasukan internasional G5 yang dibentuk untuk memerangi kelompok ekstremis di kawasan.
Ketiga negara itu, yang sekarang dikelola militer, belakangan membentuk kelompok sendiri, yang mereka sebut Aliansi Negara-negara Sahel.
Advertisement