Israel Gerebek dan Stop Siaran Al Jazeera, Sebut Corong Hamas

Penutupan Al Jazeera di Israel telah dikritik oleh sejumlah kelompok hak asasi manusia dan pers.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 06 Mei 2024, 09:01 WIB
Ilustrasi Israel stop siaran Al Jazeera di negaranya. (AFP Photo/Thomas Coex)

Liputan6.com, Yerusalem - Pemerintah Israel telah mengambil langkah untuk menutup operasi jaringan televisi Al Jazeera di negara tersebut, dan menyebutnya sebagai corong Hamas.

Dilansir BBC, Senin (6/5/2024), Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu mengatakan kabinet menyetujui penutupan tersebut sementara perang di Gaza sedang berlangsung.

Polisi menggerebek kantor penyiaran Qatar di Ambassador hotel (hotel Ambassador) di Yerusalem pada hari Minggu (5/5).

Al Jazeera menyebut klaim bahwa hal itu merupakan ancaman terhadap keamanan Israel sebagai "kebohongan yang berbahaya dan menggelikan".

Saluran tersebut mengatakan pihaknya berhak untuk "mengambil setiap langkah hukum".

Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi mengatakan peralatan telah disita dalam penggerebekan kantor Al Jazeera tersebut.

Sebuah video yang diposting oleh Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi di X menunjukkan polisi dan inspektur dari kementerian memasuki kamar hotel.

Tim BBC mengunjungi lokasi kejadian, namun dilarang merekam atau masuk ke hotel oleh polisi.

Menurut kantor berita Reuters, layanan satelit Israel Yes menampilkan pesan yang berbunyi: "Sesuai dengan keputusan pemerintah, siaran stasiun Al Jazeera telah dihentikan di Israel."

Namun, pemblokiran ini hanya bersifat parsial, karena saluran tersebut masih dapat diakses melalui Facebook di Israel.

Penutupan Al Jazeera di Israel telah dikritik oleh sejumlah kelompok hak asasi manusia dan pers.

Association for Civil Rights in Israel (ACRI) atau Asosiasi Hak-Hak Sipil di Israel mengatakan mereka telah mengajukan permintaan ke Mahkamah Agung negara tersebut untuk mengeluarkan perintah sementara untuk membatalkan larangan tersebut.

Kelompok tersebut mengatakan bahwa klaim bahwa lembaga penyiaran tersebut adalah alat propaganda untuk Hamas adalah "tidak berdasar", dan bahwa pelarangan yang dilakukan pada hari Minggu (5/5) bukan karena masalah keamanan dan lebih untuk "melayani agenda yang lebih bermotif politik, yang bertujuan untuk membungkam suara-suara kritis dan menargetkan media Arab".

 


Permintaan Pembatalan Larangan Operasional Al Jazeera

Ilustrasi jurnalis, wartawan, pers. (Freepik/Macrovector)

Sementara itu, Foreign Press Association (FPA) atau Asosiasi Pers Asing mendesak pemerintah Israel untuk mempertimbangkan kembali keputusannya, dengan mengatakan penutupan Al Jazeera di negara tersebut harus menjadi "penyebab kekhawatiran bagi semua pendukung kebebasan pers".

FPA mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Israel sekarang bergabung dengan “klub pemerintah otoriter yang meragukan untuk melarang stasiun tersebut”, dan memperingatkan bahwa Netanyahu memiliki wewenang untuk menargetkan outlet asing lainnya yang ia anggap “bertindak melawan negara”.

Direktur Program Committee to Protect Journalists (CPJ)/ Komite Perlindungan Jurnalis, Carlos Martinez de la Serna menyuarakan keprihatinan yang sama, dengan mengatakan: "Kabinet Israel harus mengizinkan Al Jazeera dan semua media internasional beroperasi secara bebas di Israel, terutama selama masa perang."

Kantor Hak Asasi Manusia PBB juga meminta pemerintah Israel untuk membatalkan larangan tersebut, dan menulis di X: "Media yang bebas dan independen sangat penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Sekarang, terlebih lagi mengingat adanya pembatasan ketat terhadap pemberitaan dari Gaza."

Jurnalis asing dilarang memasuki Gaza, dan staf Al Jazeera di sana adalah satu-satunya reporter yang berada di sana.

Selama bertahun-tahun, para pejabat Israel menuduh jaringan tersebut bias anti-Israel.


Kritik Israel Atas Al Jazeera Meningkat Sejak Serangan Hamas 7 Oktober 2023

Pasukan Israel pada Minggu, 15 Oktober 2023, bersiap untuk melakukan serangan darat di Jalur Gaza yang dikuasai Hamas ketika negara itu membalas serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayahnya. Sementara Iran memperingatkan "konsekuensi luas" jika pengeboman Israel tidak dihentikan. (AP Photo/Maya Allerruzzo)

Kritik Israel terhadap lembaga penyiaran Al Jazeera semakin meningkat sejak serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan lebih dari 250 orang disandera. Sekitar 128 sandera masih belum ditemukan, dan sedikitnya 34 orang diperkirakan tewas.

Setidaknya 34.683 warga Palestina telah terbunuh dan 78.018 lainnya terluka dalam kampanye militer Israel berikutnya di Gaza, menurut kementerian kesehatan yang dikelola Hamas.

Bulan April lalu, parlemen Israel mengesahkan undang-undang yang memberi pemerintah kekuasaan untuk menutup sementara lembaga penyiaran asing yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional selama perang melawan Hamas.

 


Qatar Markas Al Jazeera Jadi Tempat Mediasi Israel - Hamas

Ilustrasi Qatar. (unsplash.com/Rowen Smith)

Qatar, tempat Al Jazeera bermarkas, menjadi tempat yang memediasi pembicaraan damai antara Israel dan Hamas mengenai konflik di Gaza yang kini telah berlangsung hampir tujuh bulan.

Negosiasi damai perang di Gaza sebelumnya yang dimediasi oleh Qatar menghasilkan gencatan senjata sementara dan pembebasan 105 sandera Israel pada November 2023.

Al Jazeera menuduh Israel sengaja menargetkan stafnya.

Jurnalis termasuk Hamza al-Dahdouh, putra kepala biro Al Jazeera Gaza Wael al-Dahdouh, tewas akibat serangan Israel. Kendati demikian sejauh ini Israel membantah menargetkan jurnalis.

"Penindasan Israel terhadap kebebasan pers untuk menutupi kejahatannya dengan membunuh dan menangkap jurnalis tidak menghalangi kami untuk melakukan tugas kami,” kata jaringan tersebut dalam menanggapi larangan tersebut pada hari Minggu (5/5).

Infografis Keprihatinan Serangan Militer Israel di Gaza Selatan (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya