Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menilai besaran Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia akan terus menurun. Hal ini melihat tren penurunan yang terjadi. Lantas, apa faktor penyebabnya?
Ronny mengatakan, PMI Manufaktur Indonesia pada April 2024 turun ke level 52,9 dari posisi tertinggi 54,2 pada Maret 2024. Padahal pada April lalu ada faktor musiman seperti Lebaran.
Advertisement
"Meski begitu, penurunan PMI bulan April cukup bisa dipahami, pertama, mengingat Lebaran terjadi di awal April di mana produksi barang manufaktur untuk lebaran pastinya telah terjadi sejak akhir tahun, bukan pada April," ucap Ronny dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Senin (6/5/2024).
Kedua, kata dia, ada faktor dari tertekannya kurs Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan, nilainya sempat tembus ke Rp 16.200 per dolar AS.
Dia menuturkan, pelemahan rupiah membuat harga impor bahan baku dan bahan penolong untuk sektor manufaktur menjadi mahal. Alhasil, berdampak pada beban ke sektor manufaktur imbas biaya produksi naik.
"Kondisi ini memaksa pelaku usaha sektor manufaktur harus mengurangi produksi yang dikhawatirkan akan membuka peluang lay off karyawan di sektor manufaktur," tuturnya.
Ketiga, pascalebaran dan kenaikan kurs mata uang, konsumsi rumah tangga kembali normal, sehingga sektor manufaktur pun harus menyesuaikan diri dengan potensi penurunan permintaan dengan cara melakukan adjustment produksi.
"Ketiga sebab ini menjadi prakondisi penurunan performa sektor manufaktur di bulan April 2024. Ke depan, sektor manufaktur masih akan tertekan. Penyebab utamanya adalah kenaikan biaya produksi akibat semakin mahalnya biaya import bahan baku dan bahan penolong," pungkas Ronny.
PMI Manufaktur Masih Ekspansif
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, laporan S&P Global menunjukkan Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia di April 2024 berada di level 52,9. Angka ini menunjukkan bahwa industri di tanah air tetap dalam fase ekspansi.
Agus menjelaskan, dengan realisasi angka PMI Manufaktur Indonesia di April ini maka industri manufaktur tetap dalam fase ekspansi selama 32 bulan berturut-turut.
"Kondisi pertumbuhan industri manufaktur masih tergolong sehat dan solid. Sejumlah perusahaan kembali menaikkan aktivitas pembelian dan menaikkan stok untuk siap menghadapi pertumbuhan pada bulan-bulan selanjutnya,” kata Agus Gumiwang, Kamis (2/5/2024).
Angka PMI manufaktur Indonesia pada April 2024 cukup menggembirakan dan di luar dugaan, mengingat pada bulan lalu terdapat libur nasional 10 hari yang tidak dialami oleh negara-negara lain. Namun, aktivitas industri manufaktur di tanah air masih bergeliat.
"Ini yang menjadi kabar gembira, artinya produktivitas tetap berjalan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor,” terangnya.
Advertisement
Lebih Baik di Asean
Yang juga menggembirakan, lanjut Menperin, bahwa PMI manufaktur Indonesia solid dan sehat di tengah-tengah dinamika geopolitik yang menjadi tantangan bagi semua pihak. PMI Manufaktur Indonesia pada April 2024 mampu melampaui PMI Manufaktur ASEAN (51,0).
Selain itu juga mengungguli PMI Manufaktur Thailand (48,6), Malaysia (49,0), Myanmar (49,9), Taiwan (50,2), Vietnam (50,3), Filipina (52,2), China (51,4), Jepang (49,6), Korea Selatan (49,4), Inggris (49,1), dan Amerika Serikat (50,0).
"Beberapa negara yang menjadi kompetitor kita pada sektor manufaktur masih mengalami kontraksi seperti Thailand, Malaysia, Jepang dan Korsel. Poin 52,9 ini juga masih di atas rata-rata PMI ASEAN yang tercatat di angka 51,0,” ungkap Menperin.
Pertumbuhan Ekonomi Global 2024 Diprediksi Stagnan, Bagaimana dengan Indonesia?
Sebelumnya diberitakan, Standard Chartered memperkirakan pertumbuhan PDB global tahun ini sebesar 3,1%, atau tidak berubah dari tahun 2023. Standard Chartered juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,2% pada tahun 2025, yang merupakan peningkatan dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,1%.
Menurut laporan Global Focus Economic Outlook Q2-2024 yang dikeluarkan Standard Chartered belum lama ini, yang mencakup dan melihat prospek 58 negara di dunia, serta isu-isu geopolitik, dan implikasi pasar keuangan pada tahun ini dan seterusnya, Asia akan tetap menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi global.
Sementara itu, Afrika dan Kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Afghanistan dan Pakistan (MENAP) diperkirakan akan tumbuh lebih cepat pada tahun 2024 dibandingkan pada tahun 2023.
Namun demikian, pemilihan umum di sejumlah negara pada tahun ini mungkin akan mempengaruhi aktivitas investasi untuk sementara waktu, dan keputusan mengenai waktu dan kecepatan penurunan suku bunga akan tetap menjadi tantangan mengingat masih adanya kekhawatiran terhadap inflasi.
Bank-bank sentral besar kemungkinan akan memulai siklus penurunan suku bunganya dalam beberapa bulan mendatang, sehingga memberi ruang pelonggaran kebijakan oleh bank sentral di Asia pada kuartal ketiga.
Meskipun inflasi telah melambat selama setahun terakhir, tekanan harga dalam negeri masih menjadi kekhawatiran mengingat kuatnya pasar tenaga kerja serta ketidakselarasan akselerasi penyesuaian upah atau gaji pekerja dengan perubahan kondisi ekonomi di banyak negara.
Sementara itu, China terus mengalami disinflasi ekspor, namun harga barang secara global masih tetap rentan terhadap gangguan rantai pasokan secara berkala. Meningkatnya proteksi perdagangan dapat menambah biaya.
Dampak disinflasi akibat turunnya harga pangan dan energi mungkin akan berkurang sebelum perkiraan inflasi yang lebih rendah dapat dipertahankan. Secara khusus, meningkatnya permintaan minyak global dan rendahnya pasokan non-OPEC dapat mendorong harga yang lebih tinggi bahkan jika pengurangan produksi OPEC tidak berlanjut hingga semester kedua.
Advertisement
Ekonomi Indonesia
Sementara itu, “Standard Chartered menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB Indonesia di tahun 2024 menjadi 5,1% dari sebelumnya 5,2%. Hal ini mencerminkan pemasukan dari pemilu yang lebih kecil dari perkiraan.
"Kami masih memperkirakan pertumbuhan di semester pertama yang kuat, namun hasil pemilu bulan Februari cukup meyakinkan sehingga tidak diperlukan adanya Pemilu putaran kedua. Hal ini akan menurunkan dorongan konsumsi. Meskipun kemenangan telak Presiden terpilih Prabowo menghilangkan ketidakpastian politik, peningkatan investasi yang kuat diperkirakan tidak akan terjadi dalam waktu dekat," ungkap Senior Economist Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra,
Menurut dia, transisi pemerintahan, termasuk pembentukan kabinet, mungkin belum selesai hingga akhir tahun 2024; sementara pemilihan pemerintah daerah akan diadakan pada bulan November. Inflasi pangan yang tinggi juga dapat mengurangi belanja konsumen, terutama di kalangan rumah tangga berpendapatan rendah.
"Meskipun demikian, kami yakin perekonomian Indonesia masih berada dalam siklus ekspansi, sebagaimana tercermin dalam pertumbuhan pinjaman yang kuat (11,3% secara year on year di bulan Februari dibandingkan 10,4% di bulan Desember) dan membaiknya pinjaman luar negeri swasta non-bank. Belanja pemerintah juga meningkat pesat sebesar 30,1% secara year on year pada bulan Februari, didorong oleh belanja pemilu," ujar dia.