Liputan6.com, Jakarta Maskapai penerbangan terbesar di Australia, Qantas, setuju membayar denda sebesar A$ 100 juta (USD 66,1 juta, £52,7 juta) atau setara Rp 1,01 triliun.
Denda tersebut untuk menyelesaikan kasus hukum yang menuduh maskapai ini menjual ribuan tiket untuk penerbangan yang telah dibatalkan.
Advertisement
Berdasarkan kesepakatan dengan Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC), perusahaan tersebut juga akan meluncurkan rencana senilai hingga A$20 juta untuk memberikan kompensasi kepada penumpang yang terkena dampak.
Melansir laman BBC, Senin (6/5/2024), Kepala Eksekutif Qantas, Vanessa Hudson, mengatakan langkah ini merupakan langkah penting menuju memulihkan kepercayaan terhadap maskapainya.
Kasus yang disebut sebagai “penerbangan hantu”, yang diluncurkan oleh ACCC pada bulan Agustus. Disebutkan dalam beberapa kasus Qantas telah menjual tiket untuk penerbangan yang telah dibatalkan selama berminggu-minggu.
Perjanjian penalti antara Qantas dan ACCC kini harus disetujui oleh Pengadilan Federal Australia.
Berdasarkan rencana tersebut, pelanggan yang membeli tiket penerbangan yang telah dibatalkan selama dua hari atau lebih berhak mendapatkan kompensasi.
Menurut maskapai, mereka akan menerima A$225 untuk penerbangan domestik dan A$450 untuk tiket internasional.
“Ketika penerbangan kembali dilanjutkan setelah penutupan akibat pandemi Covid-19, kami menyadari bahwa Qantas telah mengecewakan pelanggan,” kata Hudson.
Dia juga memastikan jika telah berupaya memulihkan reputasi maskapai penerbangan ini sebagai prioritas kerja ketika ditunjuk untuk menduduki jabatan tertinggi di perusahaan pada tahun lalu.
Serangkaian Skandal
Dia juga mengatakan perusahaan telah mengubah proses atau sistem kerja dan berinvestasi pada teknologi untuk menghindari terulangnya masalah tersebut.
"Kami senang telah mendapatkan pengakuan dari Qantas bahwa mereka menyesatkan pelanggannya, dan kesepakatan bahwa hukuman yang sangat signifikan diperlukan", kata Ketua ACCC Gina Cass-Gottlieb.
Qantas menghadapi serangkaian skandal dan kasus hukum saat Hudson menjadi wanita pertama yang memimpin maskapai tersebut.
Pendahulunya, Alan Joyce, memimpin perusahaan melewati krisis keuangan tahun 2008, pandemi, dan rekor harga bahan bakar.
Namun, ketika Joyce mengundurkan diri pada tahun 2023, Qantas menghadapi kemarahan publik yang semakin besar atas mahalnya harga tiket pesawat, penundaan dan pembatalan massal, serta perlakuan terhadap pekerja.
Advertisement