Liputan6.com, Kingston - Tepat hari ini, 48 tahun yang lalu, pada 11 Mei 1981, dunia kehilangan salah satu ikon musiknya, Bob Marley. Sang raja musik reggae.
Meskipun fisiknya telah tiada, warisan dan pengaruhnya tetap hidup dalam karya-karya musiknya hingga saat ini.
Advertisement
Dalam konser konser terakhir di hidupnya yang sangat singkat, Bob Marley tampil di Madison Square Garden, Amerika Serikat bersama dengan band funk Amerika yang sangat populer, The Commodores.
Tanpa kostum, tanpa koreografi dan tanpa desain panggung, "Bintang reggae ini membuat sebagian besar pendengarnya berdiri dan berada dalam genggamannya," menurut kritikus New York Times, Robert Palmer. "Setelah pertunjukan yang luar biasa ini, dan nyanyian yang intens dari Marley serta kehadiran panggung yang elektrik, The Commodores tampil mengecewakan."
Setelah pertunjukan gemilangnya di New York City, selang beberapa hari kemudian, Bob Marley dikabarkan pingsan saat joging di Central Park.
Diagnosis yang diberikan mengungkapkan bahwa pertumbuhan kanker pada kaki Marley yang sebelumnya cedera akibat bermain sepak bola telah menyebar ke otak, hati, dan paru-paru Marley.
Kurang dari delapan bulan setelah kejadian itu, tepatnya pada Senin, 11 Mei 1981, Bob Marley, ikon musik reggae internasional, meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Miami, Florida, pada usia 36 tahun.
Sejarah Hidup Bob Marley
Pada usia sembilan tahun, Marley pindah ke Trench Town, sebuah ghetto (tempat tinggal orang Yahudi) terletak di Kingston Barat di mana ia bertemu dan berteman dengan Neville "Bunny" Livingston (Bunny Wailer) dan Peter McIntosh (PeterTosh) dan berhenti sekolah pada usia 14 tahun untuk membuat musik. Jamaika pada saat itu sedang memasuki periode kreativitas musik yang luar biasa.
Ketika radio transistor mulai tersedia di sebuah pulau yang saat itu hanya dilayani oleh stasiun radio nasional bergaya BBC, musik Amerika tiba-tiba dapat diakses melalui stasiun radio di Amerika Serikat.
Dari perpaduan ritme dan blues gaya New Orleans dan tradisi musik asli yang dipengaruhi Afrika, muncullah "ska" (gabungan unsur musik tradisional Karibia dan jaz), kemudian gaya pendahulu rock steady hingga reggae, yang baru terbentuk sebagai gaya yang dapat dikenali pada akhir tahun 1960-an.
Advertisement
Band The Wailers
Bob Marley, Peter Tosh, dan Bunny Wailer tampil bersama sebagai "The Wailers " sepanjang periode saat itu, mencapai puncak popularitas mereka sebagai sebuah grup ketika reggae menjadi suara yang paling sering didengar di Jamaika.
Berkat jangkauan internasional Island Records, The Wailers menjadi perhatian dunia pada awal 1970-an melalui album-album mereka seperti: Catch a Fire (1972) dan Burnin’ (1973).
Eric Clapton (Penyanyi dan penulis lagu asal Inggris) memperluas nama grup ini dengan merekam versi yang lebih ramah pop dari lagu “I Shot The Sheriff” dari album terakhir tersebut.
Dengan kepergian Tosh dan Wailer pada tahun 1974, Marley menjadi pusat perhatian dalam grup tersebut, dan pada akhir tahun 70-an ia telah menghasilkan serangkaian album, termasuk Exodus (1977), yang menampilkan lagu-lagu “Jamming,” “Waiting In Vain,” dan “One Love/People Get Ready” Kaya (1978), yang menampilkan lagu-lagu “Is This Love” dan “Sun Is Shining;” dan Uprising (1980), yang menampilkan lagu-lagu “Could You Be Loved” dan “Redemption Song.”
Meskipun tidak ada dari lagu-lagu tersebut yang menjadi hit di Amerika Serikat selama hidup Bob Marley, mereka membentuk warisan yang hanya meningkatkan ketenarannya dalam tahun-tahun setelah kematiannya. Tepat hari ini, tahun 1981.
Menelusuri Jejak Legenda Bob Marley Lewat Film One Love
Bob Marley, nama yang tak pernah pudar dari ingatan, terukir dalam sejarah sebagai ikon musik reggae dan tokoh perdamaian. Film "One Love: The Bob Marley Story" mengangkat perjalanan hidupnya, memperlihatkan bagaimana sebuah cinta bisa menjadi pendorong utama dalam mengubah dunia.
Bob Marley bukan sekadar penyanyi. Dia adalah sosok yang mampu menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang dengan pesan perdamaian dan cinta melalui musiknya yang mendalam. Kisah hidupnya yang penuh perjuangan, dari awalnya yang sederhana hingga menjadi ikon global, menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia.
Reggae bukan hanya aliran musik bagi Marley, tapi juga medium untuk menyuarakan ketidakadilan dan menyerukan perdamaian. Lagu-lagu seperti "One Love", "Redemption Song", dan "No Woman, No Cry" tidak hanya menyentuh hati pendengarnya, tapi juga mengajak untuk merenungkan makna cinta, kebebasan, dan keadilan.
Warisan Bob Marley tidak hanya terbatas pada dunia musik. Pengaruhnya meluas ke budaya populer, dari mode hingga seni, bahkan filosofi hidup. Ia tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak seniman, aktivis, dan individu yang mengagumi keberaniannya untuk berbicara atas nama yang tertindas.
Film "Bob Marley: One Love" menjadi medium yang sempurna untuk menghidupkan kembali kisah inspiratif seorang legenda. Dengan visual yang menggugah dan narasi yang mengalir, penonton dibawa dalam perjalanan emosional melalui kehidupan Marley, dari masa kecilnya di Jamaica hingga pengakuan global.
Advertisement