Invasi Darat ke Rafah Kian Dekat, Israel Perintahkan 100.000 Warga Palestina Menyingkir

Invasi darat ke Rafah, kota paling selatan di Jalur Gaza, akan menjadi penanda eskalasi perang Israel Vs Hamas.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 06 Mei 2024, 17:12 WIB
Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza berkumpul di sebuah kamp tenda di Rafah, Jalur Gaza selatan, Senin (4/12/2023). Ratusan ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka ketika Israel melancarkan serangan darat terhadap kelompok militan Hamas yang berkuasa. (AP Photo/Fatima Shbair)

Liputan6.com, Gaza - Tentara Israel pada hari Senin (6/5/024), memerintahkan warga di Rafah bagian timur untuk mulai mengungsi dari daerah tersebut. Hal ini menandakan invasi darat yang telah lama dijanjikan akan segera terjadi di kota paling selatan di Jalur Gaza itu.

Pengumuman Israel juga mempersulit upaya terakhir mediator internasional, termasuk direktur CIA, untuk menengahi gencatan senjata. Hamas dan Qatar, sebagai mediator utama, telah memperingatkan bahwa invasi ke Rafah dapat menggagalkan perundingan.

Amerika Serikat (AS), selaku sekutu Utama Israel, juga telah berulang kali mendesak Israel agar tidak menginvasi Rafah.

Namun, Israel menggambarkan Rafah sebagai benteng terakhir Hamas setelah tujuh bulan perang, dan para pemimpinnya berulang kali mengatakan mereka perlu melakukan invasi darat untuk mengalahkan kelompok itu.

Juru bicara militer Israel Letkol Nadav Shoshani menyebutkan sekitar 100.000 orang diperintahkan untuk pindah ke zona kemanusiaan terdekat yang disebut Israel, Muwasi. Dia mengatakan Israel sedang mempersiapkan "operasi terbatas" dan tidak akan mengatakan apakah ini merupakan awal dari invasi yang lebih luas ke kota tersebut. Demikian seperti dilansir kantor berita AP.

Shoshani mengatakan Israel telah menerbitkan peta daerah evakuasi dan perintah untuk mengungsi disebarkan melalui selebaran, pesan teks, dan siaran radio dari udara. Israel, klaim Shoshani, telah memperluas bantuan kemanusiaan ke Muwasi, termasuk rumah sakit lapangan, tenda, makanan dan air.

Tentara Israel mengatakan di platform sosial X alias Twitter bahwa mereka akan bertindak dengan "kekuatan ekstrem" terhadap militant. Mereka mendesak penduduk untuk segera mengungsi demi keselamatan mereka.

Semalam, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dilaporkan mengatakan kepada Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin bahwa Israel tidak punya pilihan selain bertindak di Rafah.


Tidak Gentar Meski Tidak Didukung AS

Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza terlihat di tenda-tenda di Kota Khan Younis, Rabu (13/12/2023). Serangan Israel mulai menargetkan kota utama di selatan Gaza, yaitu Khan Younis dan Rafah. (AP Photo/Mohammed Dahman)

Rencana Israel untuk menyerang Rafah telah menimbulkan kekhawatiran global menyusul potensi besarnya jumlah warga sipil yang akan terdampak. Pasalnya, sekitar 1,4 juta warga Palestina – lebih dari separuh populasi Jalur Gaza – tinggal di kota itu dan sekitarnya.

Kebanyakan dari mereka mengungsi di sana dari wilayah Jalur Gaza lainnya untuk menghindari serangan brutal Israel. Mereka tinggal di tenda-tenda, tempat penampungan PBB atau apartemen yang penuh sesak, dan bergantung pada bantuan internasional untuk makan, sementara sistem sanitasi dan fasilitas medis lumpuh.

Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) pada hari Senin memperingatkan konsekuensi buruk dari serangan terhadap Rafah, termasuk lebih banyak penderitaan dan kematian warga sipil. Badan tersebut menegaskan bahwa mereka tidak akan pergi, namun tetap tinggal di Rafah selama mungkin untuk terus memberikan bantuan penyelamatan nyawa.

Sekalipun gencatan senjata diupayakan oleh AS, Mesir, dan Qatar, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pekan lalu mengulangi pernyataannya bahwa pihaknya akan bergerak ke Rafah dengan atau tanpa kesepakatan untuk mencapai tujuan menghancurkan Hamas.

Dalam pidatonya yang berapi-api pada Minggu malam yang menandai hari peringatan Holocaust tahunan di negara itu, Netanyahu menolak tekanan internasional untuk menghentikan perang, dengan mengatakan bahwa jika Israel dipaksa untuk berdiri sendiri maka Israel akan berdiri sendiri.

Shoshani tidak bersedia mengatakan apakah operasi Rafah yang akan datang merupakan respons terhadap serangan roket Hamas pada hari Minggu ke perbatasan Kerem Shalom, yang menewaskan tiga tantara Israel. Dia juga tidak mau berkomentar mengenai peringatan AS agar tidak menginvasi Rafah dan tidak memastikan apakah perintah evakuasi pada hari Senin dikoordinasikan dengan Mesir.

 


Jeritan Pengungsi

Keluarga-keluarga Palestina yang melarikan diri dari Khan Younis mengendarai traktor bersama barang-barang mereka menuju Rafah, Gaza, Palestina, Kamis (25/1/2024). Ribuan warga Palestina mengungsi dari Kota Khan Younis untuk menghindari pertempuran sengit antara tentara Israel dan pejuang Hamas yang kian intens. (AFP)

Mesir, mitra strategis Israel, menggarisbawahi bahwa perebutan perbatasan Gaza-Mesir oleh militer Israel – yang seharusnya dilakukan demiliterisasi – atau tindakan apa pun untuk mendorong warga Palestina ke Mesir akan mengancam perjanjian perdamaian yang telah berumur empat dekade dengan Israel.

Di Rafah, masyarakat menerima brosur pada Senin pagi dalam bahasa Arab yang merinci blok lingkungan mana yang harus ditinggalkan dan ke mana zona kemanusiaan diperluas. Selebaran itu menyebutkan bahwa layanan bantuan akan menyebar dari Deir al Balah di utara hingga pusat Kota Khan Younis di tengah Jalur Gaza.

Warga Palestina di Rafah mengatakan orang-orang berkumpul untuk mendiskusikan pilihan mereka setelah menerima brosur tersebut. Sebagian besar mengatakan mereka tidak ingin bergerak sendiri dan lebih memilih bepergian secara berkelompok.

"Begitu banyak orang di sini yang mengungsi dan sekarang mereka harus pindah lagi, tapi tidak ada yang akan tinggal di sini karena ini tidak aman," kata Nidal Alzaanin kepada AP melalui telepon.

Alzaanin, ayah dari lima anak, bekerja untuk kelompok bantuan internasional dan mengungsi ke Rafah dari Beit Hanoun di Gaza Utara pada awal perang. Alzaanin menuturkan dia telah mengemas dokumen dan tasnya, namun akan menunggu 24 jam untuk melihat apa yang dilakukan orang lain sebelum pindah. Dia bilang dia punya teman di Khan Younis yang dia harap bisa mendirikan tenda untuk keluarganya.

Sementara itu, beberapa orang mengatakan mereka terlalu lelah dan muak dengan kehancuran yang terjadi selama berbulan-bulan, sehingga mereka tidak bisa melarikan diri lagi.

Sahar Abu Nahel mengungsi ke Rafah bersama 20 orang keluarganya, suaminya ditahan Israel, dan menantunya hilang.

"Ke mana saya akan pergi? Saya tidak punya uang atau apa pun. Saya sangat lelah, begitu pula anak-anak saya," katanya sambil menyeka air mata di pipinya. "Mungkin lebih terhormat bagi kami untuk mati. Kami sedang dipermalukan."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya