Liputan6.com, Gaza - Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan pihaknya melakukan serangan terbatas di timur Rafah, kota yang terletak di paling selatan Jalur Gaza.
"IDF saat ini melakukan serangan yang ditargetkan terhadap sasaran teror Hamas di Rafah timur di Gaza selatan," demikian pernyataan IDF kurang dari 24 jam setelah mereka memerintahkan 100.000 warga Palestina di area tersebut menyingkir.
Advertisement
Kantor berita Palestina, Wafa, melaporkan serangan udara Israel menghantam jalan, lahan pertanian, rumah-rumah, dan peternakan di tiga lingkungan di Rafah timur. Kantor berita Turki, Anadolu, menyebutkan bahwa Israel mengintensifkan penembakan.
Melansir BBC, Selasa (7/5/2024), kelompok militan Jihad Islam Palestina menuturkan pihaknya meluncurkan roket dari Jalur Gaza menuju Israel selatan pada Senin (6/5) sebagai respons atas serangan Udara Israel.
"Kami telah menargetkan Sderot, Nir Am, dan permukiman di wilayah Gaza dengan serangan roket," ujar kelompok tersebut.
Jihad Islam Palestina merupakan faksi bersenjata terbesar kedua di Jalur Gaza.
Menyusul serangan roket Jihad Islam Palestina, sirene berbunyi di Israel selatan. Gambar-gambar yang beredar menunjukkan sistem pertahanan rudal Iron Dome mencegat proyektil yang menuju Israel.
Segera setelah militer Israel menyatakan melakukan serangan terbatas terhadap Hamas di Rafah timur, kantor berita AP dengan mengutip seorang pejabat keamanan Palestina dan seorang pejabat Mesir melaporkan bahwa tank-tank Israel memasuki Rafah, mencapai jarak 200 meter dari persimpangan Rafah dengan Mesir.
Menurut pejabat Mesir operasi Israel terbatas cakupannya. Israel disebut telah memberi tahu Mesir bahwa pasukannya akan mundur setelah operasi selesai. Bagaimanapun, cakupan operasi belum diketahui.
Tanda Tanya soal Gencatan Senjata
Sementara itu, dalam perkembangan lainnya, pada Senin Hamas mengumumkan menerima proposal gencatan senjata yang dirundingkan di Kairo, Mesir. Namun, Israel mengatakan kesepakatan itu tidak memenuhi tuntutan inti.
Meski demikian, Israel menyatakan akan melanjutkan perundingan.
"Meskipun proposal Hamas masih jauh dari memenuhi tuntutan inti Israel, Israel akan mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Mesir dalam upaya memaksimalkan kemungkinan mencapai kesepakatan mengenai persyaratan yang dapat diterima oleh Israel," sebut kantor perdana Menteri Israel via X.
Para pejabat Mesir mengatakan bahwa proposal menyerukan gencatan senjata dalam beberapa tahap, yang dimulai dengan pembebasan sandera dalam jumlah terbatas dan penarikan sebagian pasukan Israel di Jalur Gaza. Kedua belah pihak juga akan merundingkan "ketenangan permanen" yang akan mengarah pada pembebasan sandera sepenuhnya dan penarikan lebih besar pasukan Israel dari Jalur Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berada di bawah banyak tekanan. Mitra garis keras dalam koalisinya menuntut serangan segera terhadap Rafah dan mengancam meruntuhkan pemerintahannya jika dia menyepakati gencatan senjata. Adapun pihak keluarga sandera menginginkan kesepakatan gencatan senjata segera tercapai.
Ribuan warga Israel berunjuk rasa di seluruh negeri pada Senin malam menyerukan kesepakatan segera. Sekitar 1.000 pengunjuk rasa memadati dekat markas pertahanan di Tel Aviv. Di Yerusalem, sekitar seratus pengunjuk rasa berbaris menuju kediaman Netanyahu dengan membawa spanduk bertuliskan "Darah ada di tangan Anda".
Israel mengklaim Rafah adalah benteng terakhir Hamas di Jalur Gaza dan Netanyahu mengatakan pada hari Senin bahwa serangan terhadap kota tersebut sangat penting untuk memastikan para militan tidak dapat membangun kembali kemampuan militer mereka.
Penolakan keras atas serangan ke Rafah juga datang dari Amerika Serikat (AS), yang merupakan sekutu utama Israel. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Matthew Miller pada Senin menuturkan bahwa AS belum melihat rencana yang kredibel untuk melindungi warga sipil Palestina.
"Kami tidak dapat mendukung operasi di Rafah seperti yang dibayangkan saat ini," ujar Miller.
Badan-badan bantuan telah memperingatkan bahwa serangan terhadap Rafah akan menyebabkan lebih banyak kematian warga sipil Palestina. Hal ini juga dapat menghancurkan operasi bantuan kemanusiaan yang berbasis di Rafah yang menjaga kelangsungan hidup warga Palestina di Jalur Gaza.
Selebaran, pesan teks, dan siaran radio Israel memerintahkan warga Palestina mengungsi dari lingkungan timur Rafah, memperingatkan serangan akan segera terjadi dan siapa pun yang tetap tinggal menempatkan diri mereka sendiri dan anggota keluarga mereka dalam bahaya.
Militer Israel memerintahkan warga Palestina untuk pindah ke zona kemanusiaan yang dinyatakan Israel bernama Muwasi, sebuah kamp sementara di pantai. Mereka mengklaim pula telah memperluas ukuran zona tersebut dan mencakup tenda, makanan, air, dan rumah sakit lapangan.
Belum jelas apakah hal tersebut benar sudah ada.
Advertisement
Suara Hati Pengungsi Gaza
Laporan AP menyebutkan bahwa sekitar 450.000 pengungsi Palestina sudah berlindung di Muwasi. Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan pihaknya telah memberikan bantuan kepada mereka. Namun, kondisinya yang kumuh, dengan sedikitnya fasilitas sanitasi di sebagian besar wilayah pedesaan, memaksa banyak keluarga untuk menggali jamban pribadi.
Perintah evakuasi membuat warga Palestina di Rafah bergulat dengan lelah karena harus kembali mengungsi.
Mohammed Jindiyah mengatakan bahwa pada awal perang, dia mencoba bertahan di rumahnya di Gaza Utara di bawah pengeboman besar-besaran Israel sebelum akhirnya melarikan diri ke Rafah. Dia menyatakan mematuhi perintah evakuasi Israel kali ini, namun tidak yakin apakah akan pindah ke Muwasi atau ke tempat lain.
"Kami 12 keluarga dan kami tidak tahu harus pergi ke mana. Tidak ada wilayah yang aman di Gaza," kata dia.
Sahar Abu Nahel, yang melarikan diri ke Rafah bersama 20 anggota keluarganya, termasuk anak dan cucunya, menyeka air mata di pipinya.
"Saya tidak punya uang atau apa pun. Saya sangat lelah, begitu pula anak-anak," ujarnya. "Mungkin lebih terhormat bagi kami untuk mati."
Pengeboman dan serangan darat Israel ke Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023, menurut otoritas Kesehatan setempat, telah menewaskan lebih dari 34.700 warga Palestina, di mana sekitar dua pertiganya adalah anak-anak dan perempuan. Data PBB menuturkan bahwa lebih dari 80 persen dari 2,3 juta penduduk Jalur Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka dan ratusan ribu orang di wilayah Gaza Utara berada di ambang kelaparan.