Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, mengkritik kepemimpinan Vladimir Putin yang menurutnya tidak bertanggung jawab.
"Kepemimpinannya tidak menunjukkan tanggung jawabnya sebagai pemimpin karena ia tidak bersedia mengakhiri agresi bersenjata ilegal dan perlakuan negaranya terhadap Ukraina, yang telah berlangsung lebih dari dua tahun," ungkap Dubes Vasyl dalam pernyataan pers secara virtual, Selasa (7/5/2024).
Advertisement
Seperti diketahui, pada 7 Mei 2024 Rusia mengadakan upacara pelantikan kelima Vladimir Putin sebagai Presiden Federasi Rusia.
"Dengan (pelantikan) ini, pihak berwenang mencoba memberikan ilusi ke seluruh dunia tentang legalitas untuk tinggal di kekuasaan seumur hidup bagi seseorang yang telah menjadikan Federasi Rusia menjadi negara agresor dan rezim diktator," tuturnya.
Dubes Vasyl Hamianin juga menyebut bahwa Federasi Rusia melanggar banyak hukum internasional.
"Federasi Rusia langgar banyak dokumen internasional yang menjadi dasar bagi sistem hubungan internasional modern, seperti Piagam PBB, deklarasi tentang prinsip-prinsip hukum internasional, Konvensi Jenewa tentang perlindungan Warga Sipil dalam Waktu Perang, akta final Konferensi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa, dan puluhan resolusi Majelis Umum PBB, organisasi hukum dari proses pemilihan pendukung lainnya di wilayah-wilayah berdaulat Ukraina," jelasnya.
Menurut Dubes Vasyl, pemindahan paksa ke wilayah Federasi Rusia merupakan pelanggaran brutal terhadap norma-norma dan prinsip-prinsip yang diaku secara umum dalam hukum internasional.
"Jadi pada dasarnya, kita akan melihat bagaimana orang yang menjadi diktator dan mengubah negaranya menjadi negara teroris dan negara agresor akan menyatakan dirinya sekali lagi sebagai penguasa negara sejak tahun 2000," tambahnya.
Ukraina Tak Akui Putin Sebagai Presiden, Sebut Ilegal dan Minta Dunia juga Tak Mengakuinya
Invasi Rusia ke Ukraina telah berlangsung selama 804 hari dan mengakibatkan banyak korban manusia dan kerusakan.
"Berdasarkan perbuatan Rusia dan surat perintah penangkapan aktif Pengadilan Pidana Internasional terhadap Vladimir Putin, Ukraina tidak melihat dasar hukum untuk mengakui dirinya sebagai presiden yang terpilih secara demokratis dan sah dari Federasi Rusia," tutur Dubes Vasyl.
Dubes Vasyl mengatakan bahwa sifat tidak demokratis yang dimiliki Rusia ini menyangkal legitimasi dari hasil pemilihan.
"Oleh karena itu, kami menyerukan negara-negara asing atau mitra serta organisasi internasional di masyarakat untuk mengikuti jejak dengan tidak mengakui hasil dari pemilihan palsu ini," tambahnya.
Dubes Vasyl menganjurkan agar semua negara-negara bisa untuk tidak mengakui Putin sebagai presiden yang sah untuk melawan penghancuran sistem aturan hukum, dan nilai-nilai demokratis yang diakui secara universal untuk terus mendukung Ukraina secara efektif dalam melawan agresi Rusia.
"Agresi Rusia sekarang merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan bukan hanya untuk Eropa, tetapi juga perdamaian global dan keamanan dunia, jadi inilah yang ingin saya bagikan dengan Anda hari ini," ujarnya.
Advertisement
KTT Perdamaian di Swiss Mengundang Lebih dari 150 Negara
Pada kesempatan yang sama, Dubes Vasyl menginformasikan bahwa Ukraina dan Swiss mengundang lebih dari 150 negara untuk menghadiri KTT Perdamaian Global yang akan diadakan pada 15-16 Juni 2024 di Swiss.
"Mari kita lihat siapa yang akan datang, tetapi kami berharap jumlahnya akan melebihi 100, karena ini akan menjadi representasi yang luas dari negara-negara global, jadi kami mengharapkan perwakilan tingkat tinggi seperti kepala negara, kepala pemerintahan, atau perwakilan khusus dari kepala negara," ujarnya.
Dubes Vasyl berharap Indonesia menjadi salah satu negara yang turut bergabung, "Republik Indonesia sebagai teman dan mitra baik, kami sangat berharap dan berdoa agar Indonesia diwakili oleh pejabat tingkat tinggi selama pertemuan tersebut."
KTT Perdamaian Global ini dijadikan sebagai wadah untuk memberikan platform diskusi tingkat tinggi seperti G20 dan Sidang Umum PBB yang diharapkan dapat mengembalikan perdamaian tak hanya di Ukraina, melainkan juga di bagian lain dunia, berdasarkan informasi dari Dubes Vasyl.
Situasi Terkini Ukraina
Invasi Rusia ke Ukraina berlangsung selama dua tahun terakhir.
Seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (7/5/2024), rekaman drone yang diperoleh The Associated Press menunjukkan Desa Ocheretyne yang dibumihanguskan oleh serangan Rusia dan tidak ada satu pun bangunan di desa tersebut yang luput setelah serangan tersebut.
"Pasukan Rusia telah menduduki Desa Ocheretyne, dengan populasi sebelum perang berjumlah 3.000 jiwa," ungkap militer Ukraina.
Militer Ukraina mencatat bahwa pertempuran sengit masih terus berkecamuk di wilayah tersebut, dengan pasukan Ukraina bertempur untuk mengusir kehadiran Rusia di wilayah Donetsk Timur Ukraina.
Adapun pasukan Rusia telah menyerang pasukan Kyiv yang kehabisan amunisi dengan artileri, pesawat nirawak atau drone, dan bom.
"Wilayah Kharkiv dan Dnipro di Ukraina juga menjadi sasaran serangan drone Rusia semalam. Setidaknya enam orang terluka, termasuk seorang anak berusia 13 tahun, ketika drone tersebut menyerang bangunan komersial dan perumahan," kata pejabat daerah, Sabtu (4/5).
Walaupun Angkatan Udara Ukraina melaporkan berhasil menembak jatuh semua 13 drone Shahed yang menargetkan wilayah tersebut, puing-puing dari drone yang jatuh di kota terbesar kedua di Ukraina, Kharkiv, menyebabkan kerusakan pada target sipil.
Kejadian ini melukai empat orang dan menyebabkan kebakaran di sebuah gedung perkantoran. Oleh Synehubov, gubernur wilayah tersebut, menyampaikan informasi ini melalui pesan teks di aplikasi Telegram.
Kantor berita negara Rusia, RIA, melaporkan pada Sabtu (4/5) bahwa pasukan Rusia menargetkan gudang drone pada malam itu di Kharkiv yang dikatakan telah digunakan oleh pasukan Ukraina. Media pemerintah mengutip Sergei Lebedev, yang mengaku sebagai koordinator gerilyawan lokal pro-Moskow.
Advertisement