Liputan6.com, Jakarta Pusat - Artificial Intelligence (AI) diketahui telah merambah beragam sektor di dunia. Kecerdasan buatan itu digadang-gadang mampu membantu pekerjaan di banyak industri.
Dunia jurnalistik juga tak luput dari jamahan AI atau kecerdasan buatan ini.
Advertisement
Menurut sejumlah survei, kehadiran AI di dunia jurnalistik bisa merupakan ancaman sekaligus peluang.
"Bisa saja lima tahun ke depan pekerjaan jurnalis akan sedikit tergeser dengan AI, tetapi tidak mungkin hilang sama sekali karena AI," ujar perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Mediodecci Lustarini, dalam diskusi yang diadakan di @america, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/5/2024).
Kendati demikian wanita yang karib disapa Ides itu menekankan bahwa AI masih butuh sentuhan manusia, "AI hanya dipergunakan sebagai tools saja dan manusia lah yang masih mengontrol teknologi itu."
Sementara Laban Laisila, sebagai kepala redaksi NARASI Newsroom dan perwakilan media di acara ini, juga mengutarakan pendapatnya.
"Ke depannya para jurnalis harus beradaptasi dengan teknologi, karena akan ada masa di mana mereka harus memahami tools-tools yang diperlukan," ujarnya.
Laban Laisila juga berpendapat bahwa AI tidak akan mengambil alih jika para jurnalis dapat menggunakan AI dengan baik, "Ini kembali lagi pada para jurnalis, kalau AI menghasilkan konten yang tidak baik, ya tidak usah dipakai. Kalau teknologi ini membantu dan menghasilkan sesuatu yang positif baru boleh digunakan."
Diskusi ini yang digagas oleh Kedutaan Besar AS di Jakarta ini juga menggandeng Presiden Hathaway Global Strategies, Melissa Hathaway.
Sudah Banyak Media Indonesia yang Menggunakan AI
Laban Laisila membagikan pengalamannya sebagai pemimpin tim editorial salah satu media Indonesia yang memanfaatkan AI dalam proses pembuatan konten-kontennya.
"AI memang memiliki sisi buruk, tetapi ada juga sisi baik dari teknologi ini," ujar Laban Laisila.
Walaupun penggunaan AI di media Indonesia belum sehebat negara lain, Laban Laisani mengungkapkan bahwa tidak sedikit media Indonesia yang sudah menggunakan AI, "Contohnya, ada stasiun televisi Indonesia yang sudah menggunakan presenter dari AI."
Laban Laisila menyatakan bahwa NARASI telah memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk sebagian besar konten mereka, terutama dalam pelaporan dan investigasi.
"Kami (NARASI) menggunakan salah satu tools AI untuk menginvestigasi pemancingan ilegal di perairan Filipina dengan mendeteksi lampu-lampu perahu ilegal yang menyala ketika malam hari," jelas Laban Laisila.
Menurutnya, AI memiliki potensi untuk menghasilkan hasil yang positif jika digunakan untuk tujuan yang benar, "AI itu kan diperintah oleh manusia, jika manusia menggunakannya dengan baik dan bertanggung jawab, maka kontribusi AI juga akan positif."
Advertisement
Upaya KOMINFO
Dalam menangani AI yang semakin berkembang dan berpotensi memengaruhi media di Indonesia, Ides memaparkan sedikit upaya KOMINFO.
"Kami (KOMINFO) mencoba mengupayakan regulasi risk-based, di mana kami akan mengkategorikan apapun yang telah dikerjakan AI dalam suatu kategori risiko, kalau berisiko tinggi tidak akan lulus sensor kami," jelas Ides.
Namun, Ides mengonfirmasikan bahwa peran pemerintah dalam masalah ini hanya sebagai pendukung karena ada garis yang membedakan pemerintah dengan komunitas media.
"Peran kami hanya encouraging, tetapi pemerintahan tentu akan berusaha untuk memperjuangkan regulasi yang tentunya berpihak pada media di Indonesia," lanjutnya.
Ides juga mengungkapkan bahwa di AI Government di ASEAN belum menetapkan media sebagai sektor prioritas.
"Oleh karena itu, pemerintah sudah berusaha untuk membuat pemetaan terhadap regulasi yang ada di dunia. Di Amerika, ada AI Act yang berfokus pada AI Innovation, regulasi yang bisa dimanfaatkan untuk menahan data agar tidak ditarik oleh AI, ini menarik," jelasnya.
Saat ini, media dalam disrupsi bisnis model media sangat luar biasa, dan Ides berharap untuk melihat kerja sama antara pemerintah dan komunitas media di masa depan.
Tantangan dalam Menghadapi AI
Dalam diskusi yang sama, Presiden Hathaway Global Strategies, Melissa Hathaway, menyoroti kurangnya taksonomi dan pendekatan kebijakan sebagai hambatan dalam menangani dampak negatif yang disebabkan oleh kecerdasan buatan.
"Kita belum memiliki taksonomi tepat di tingkat perguruan tinggi dan ranah teknologi. Kita juga belum memiliki respons nyata dan bagaimana cara kita melindungi masyarakat dari penyebaran informasi yang salah," ujar Melissa langsung dari Amerika Serikat melalui Zoom.
Ia juga menyatakan bahwa masih ada tanggung jawab seluruh negara untuk membantu masyarakat melawan dampak negatif dan tindak kejahatan dalam teknologi.
“Masih ada banyak pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan di tingkat kebijakan secara global yang perlu dipikirkan untuk memecahkan masalah ini,” tambahnya.
Melissa menjelaskan bahwa meskipun AI banyak kekurangannya, teknologi yang mulai sering dipakai sejak 2020 ini tentu memiliki kelebihannya juga.
“Kita dapat menggunakan AI untuk memproses jumlah data yang sangat besar. Hal tersebut tentu belum bisa dilakukan oleh manusia,” tutur Melissa.
Ia menambahkan bahwa peran AI juga akan sangat berguna dalam aspek ilmu material, “ Bahkan kita bisa menemukan komposit baru untuk logam yang lebih kuat dari komposit yang kita punya saat ini.”
“Untuk kekurangannya, sudah jelas bahwa AI akan dipakai untuk alat perang,” tambahnya.
Advertisement