Liputan6.com, Jakarta Hari Thalasemia Sedunia diperingati setiap 8 Mei atau tepat hari ini. Pada 2024, Hari Thalasemia mengambil tema Empowering Lives, Embracing Progress: Equitable and Accessible Thalassaemia Treatment for All.
Sementara, tema nasionalnya adalah Memberdayakan Hidup, Mendorong Kemajuan, Pengobatan Thalasemia yang Adil dan Aksesibel untuk Semuanya.
Advertisement
“Thalasemia merupakan satu penyakit kelainan darah yang bersifat genetik yang diturunkan dari orangtua kepada anak-anak dan keturunannya,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Eva Susanti dalam media briefing daring, Selasa, 7 Mei 2024.
Eva menambahkan, thalasemia disebabkan berkurangnya atau tidak terbentuknya protein pembentuk hemoglobin utama manusia sehingga sel darah merah mudah pecah dan umur sel darah merah menjadi sangat pendek.
“Berdasarkan data global, tujuh sampai delapan persen populasi dunia merupakan pembawa sifat talasemia. Setiap tahunnya, sekitar 300 ribu sampai 500 ribu bayi dilahirkan dengan thalasemia mayor.”
“Dan, 80 persen dari kondisi ini terjadi di negara berkembang, negara berpenghasilan rendah dan menengah termasuk Indonesia,” jelas Eva.
Indonesia sendiri terletak di sepanjang sabuk thalasemia di mana tiga sampai 10 persen populasi Indonesia merupakan pembawa sifat talasemia beta. Dan 2,6 sampai 11 persen merupakan pembawa sifat thalassemia alpha.
“Diestimasikan sekitar 2.500 bayi terlahir dengan thalasemia beta mayor di Indonesia,” ujar Eva.
Perawatan Thalasemia di Indonesia
Sejauh ini, sambung Eva, perawatan thalasemia di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Perawatan suportif untuk thalasemia seperti transfusi darah dan terapi kelasi besi sudah tersedia.
“Namun, sistem di beberapa kota yang kurang baik meningkatkan risiko infeksi yang ditularkan melalui transfusi dan reaksi transfusi. Selain itu, ketidakpatuhan pasien pada terapi kelasi besi juga masih jadi masalah di Indonesia.”
Padahal, beban biaya perawatan thalasemia menempati peringkat kelima terbesar pada urutan penyakit katastropik pada BPJS Kesehatan.
Advertisement
Selain Beban Ekonomi dan Fisik
Selain beban ekonomi dan fisik, kata Eva, thalasemia juga membawa beban psikososial bagi penyandangnya.
“Tidak jarang perubahan fisik pada penyandang thalasemia menjadi ejekan di lingkungan sekolah dan kehidupan sehari-hari. Sehingga, penting untuk bisa meminimalisasi hal tersebut.”
Hingga kini, thalasemia belum bisa disembuhkan tapi bisa dicegah dengan cara mengidentifikasi pembawa sifat dan menghindari pernikahan antara sesama pembawa sifat. Ini dapat diketahui dengan upaya deteksi dini terhadap populasi tertentu.
Deteksi Dini Thalasemia
Deteksi dini pada pembawa sifat talasemia cukup dilakukan satu kali seumur hidup, kata Eva.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa pembawa sifat thalasemia pada saudara kandung pasien talasemia adalah sekitar 50 persen.
“Jika kita bisa mengidentifikasi dan mengedukasi pembawa sifat agar tidak menikah dengan sesama pembawa sifat maka kita dapat mencegah kelahiran bayi dengan thalasemia mayor pada setidaknya kemungkinan pernikahan 50 persen pembawa sifat ini.”
Pada 2023, Kementerian Kesehatan juga telah melakukan uji coba pelaksanaan skrining pada anak di 21 sekolah di DKI Jakarta. Dan ditemukan 5,6 persen anak sekolah tersebut merupakan pembawa sifat talasemia.
Advertisement