Liputan6.com, Jakarta - PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney bakal menggelar acara perayaan Waisak 2024 di Candi Borobudur pada Kamis, 23 April 2024. Sebanyak 50 ribu pengunjung ditargetkan akan hadir pada upacara peringatan Hari Raya bagi umat Budha tersebut.
Direktur Pemasaran & Program Pariwisata InJourney Maya Watono mengatakan, pihaknya telah menyiapkan berbagai rangkaian acara di Candi Borobudur untuk Waisak 2024. Dia pun memproyeksikan sekitar 50 ribu pengunjung, baik peserta maupun turis bakal hadir ke candi Budha terbesar di dunia itu selama acara.
Advertisement
"Target pengunjung kita 40-50 ribu. Karena kebetulan ini long weekend dari hari Kamis sampai hari Minggu, kami memiliki berbagai rangkaian acara. Jadi kita harapkan memang 40-50 ribu pengunjung," ujar Maya seusai acara konferensi pers di Gedung Sarinah, Jakarta, Rabu (8/5/2024).
Tak hanya pengunjung langsung, InJourney pun menyasar khalayak lebih luas untuk ikut menyaksikan prosesi itu lewat tangkapan kamera. "Juga pasang mata di seluruh Indonesia dan seluruh dunia melihat ke Candi Borobudur di tanggal 23 (Mei 2024) sampai long weekend tersebut.
Dampak Ekonomi
Di sisi lain, InJourney juga mengharapkan adanya dampak ekonomi terhadap perayaan Waisak 2024 di Candi Borobudur, baik secara lokal maupun nasional.
"Pastinya kita setiap acara ini adanya impact ekonomi. Kita ketahui bersama suatu acara/event pastinya memberikan dampak ekonomi yang signifikan terhadap sekitar, maupun nasional," ungkap Maya.
Selain economic impact, InJourney turut memposisikan Candi Borobudur sebagai branding destinasi wisata nasional bagi Indonesia. Khusus untuk Waisak 2024, itu akan dibungkus dalam tema spiritual pilgrim to tourism
"Kita mengharapkan pastinya pariwisata berkualitas, yang juga mengedepankan spirit-spirit dari heritage, culture, maupun spiritualism. Itu yang kita harapkan ke depan," imbuh Maya.
"Jadi memang tidak semata-mata pariwisata atau perayaan, tapi kami juga mengharapkan pengunjung memang datang sebanyak-banyaknya ke Borobudur, tapi juga mengikuti peraturan yang akan kami berikan untuk menjaga kekhusyukan di saat kita berdoa bersama," tuturnya.
Makna Warna Oranye di Jubah Para Biksu yang Baru Saja Jalani Waisak di Candi Borobudur
Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa biksu mengenakan jubah oranye? Adakah arti atau makna khusus yang berhubungan dengan peran biksu dalam agama Buddha.
Terdapat banyak tradisi Buddhis dan banyak corak jubah biksu di seluruh dunia. Biksu dari tradisi Buddha Theravada, yang dipraktekkan terutama di Thailand, Kamboja, dan Sri Lanka, mengenakan jubah jingga cerah atau jingga, menurut Buddhism Zone.
Mengutip dari laman Grunge, Senin (5/6/2023), tradisi ini kembali ke masa Siddhartha Gautama - sang Buddha, tokoh sejarah dan pendiri agama Buddha yang tinggal di India pada abad ke-5 SM, menurut National Geographic. Sebagai seorang pemuda, Gautama mencari pencerahan.
Dia mengikuti tradisi agama Hindu yang pertapa atau orang suci yang secara tradisional melepaskan kesenangan duniawi mengenakan jubah oranye. Dalam tradisi Hindu, oranye melambangkan kesucian dan pengorbanan.
Oranye merupakan salah satu warna api yang digunakan umat Hindu untuk membakar sesajen seperti biji-bijian dan susu. Saat Gautuma menentukan jalannya sendiri, dia meminjam sebagian tradisi Hindu.
Siddhartha Gautama dilahirkan dalam keluarga berkecukupan dan gelar pangeran. Namun, ia menyerahkan kehidupannya untuk menjadi seorang pertapa tanpa harta benda duniawi saat ia mencoba mendapatkan pencerahan.
Akhirnya, dia menetapkan apa yang dia sebut "Jalan Tengah" bukan kekayaan atau kemiskinan total dan pengorbanan, tetapi sesuatu di antaranya. Setelah menemukan "Jalan Tengah", ia mencapai pencerahan saat bermeditasi di bawah pohon Bodhi (kebangkitan).
Mewariskan ilmunya kepada orang lain, dia disebut Buddha, yang berarti "yang tercerahkan" dalam bahasa Sanskerta. Saat Sang Buddha mendapatkan siswa atau pengikut, dia merancang pakaian standar untuk mereka kenakan dengan warna yang mirip dengan pertapa Hindu.
Advertisement
Warna Kunyit Melambangkan Nyala Api
Biksu Buddha awal membuat jubah mereka dengan dijahit, jubah dicuci dan diwarnai dengan kunyit untuk rona terang antara kuning dan merah. Kunyit faktanya adalah salah satu pewarna alami yang tersedia 25 abad yang lalu, dan digunakan dalam tradisi Hindu.
Sang Buddha memiliki alasannya sendiri untuk memilih warna cerah. Bagi Sang Buddha, kunyit melambangkan nyala api yang pada gilirannya merupakan simbol kebenaran. Seorang biksu Buddha yang berpakaian warna api dimaksudkan untuk membuat para pencari spiritual dalam suasana kontemplatif, menghubungkan mereka dengan kebenaran batin mereka sendiri saat mereka mencari pencerahan.
Karena nyala berwarna-warni, dengan sedikit warna merah dan kuning selain jingga, Zona Buddhisme menunjukkan bahwa semua warna nyala api digunakan dalam jubah biksu dalam berbagai tradisi Buddha. Beberapa biksu Budha memakai warna merah tua, misalnya, dan yang lainnya memakai warna kuning cerah. Mereka meyakini setiap warna nyala api merupakan cerminan kebenaran.