, Washington D.C - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengakui bahwa warga sipil di Palestina telah terbunuh oleh bom-bom yang dipasok pihaknya ke Israel.
"Warga sipil tewas di Gaza akibat bom-bom tersebut, serta cara-cara lain yang mereka gunakan untuk mengincar pusat-pusat populasi," kata Joe Biden dalam sebuah wawancara dengan kantor berita CNN.
Advertisement
Joe Biden menambahkan bahwa Amerika Serikat masih berkomitmen terhadap hak Israel membela diri dan masih akan mengirim pasokan roket pencegat rudal atau Iron Dome.
Namun, AS bakal memberlakukan batasan aturan jika Israel menyerbu ke Rafah, dikutip dari laman DW Indonesia, Jumat (10/5/2024).
"Kami tidak akan memasok lagi senjata dan peluru artileri yang digunakan," kata Biden.
Pihak AS juga telah berulang kali mendesak Israel untuk tidak melanjutkan serangan ke kawasan selatan Kota Gaza tersebut.
Sebelumnya pada awal pekan ini, pimpinan Israel telah menyetujui operasi militer di Rafah, tempat 1,2 juta warga Palestina berlindung.
Pihak militer Israel juga telah menyerang target-target Hamas di bagian timur kota tersebut, setelah mengeluarkan perintah evakuasi kepada ribuan penduduk Rafah.
Rumah Sakit (RS) lokal Kuwait melaporkan sedikitnya 36 warga Palestina tewas dalam serangan Israel dan pertempuran yang tengah berlangsung di sekitar Kota Rafah, Gaza Selatan.
Pihak RS mengatakan, dari puluhan korban itu, termasuk di antaranya anak-anak yang rumahnya dihantam oleh serangan udara Israel.
Puluhan Ribu Orang Terbunuh
Pihak Hamas juga menyebut secara keluruhan setidaknya 34.844 orang Palestina tewas sejak dimulainya konflik ini.
Meskipun data yang dikeluarkan Hamas itu dianggap akurat oleh para pengamat internasional, tapi jumlah itu tidak membedakan antara warga sipil dan militan, serta tidak bisa diverifikasi secara independen.
Pihak Hamas memperkirakan bahwa sekitar sepertiga dari korban tewas di Gaza adalah anak-anak.
Israel Defense Forces (IDF) atau Pasukan Pertahanan Israel melaporkan bahwa beberapa pasukan militan Hamas telah terbunuh dalam sejumlah pertempuran di Rafah, di mana sejumlah aksi mata melaporkan serangan Israel yang tengah berlangsung kepada kantor berita dpa.
Sementara itu, United Nations Population Fund UNFPA pada Rabu (08/05) menyebut bahwa rumah sakit bersalin utama di Rafah telah berhenti menerima pasien.
Kepada Reuters, UNFPA mengatakan bahwa RS Bersalin Emirat telah menangani sekitar 85 kelahiran per hari, jumlah ini hampir setengah dari total kelahiran di seluruh Gaza, sebelum peningkatan pertempuran antara Hamas dan IDF di luar Rafah.
Advertisement
Pekerja Kemanusiaan di Rafah Laporkan Ada Serangan Udara
Seorang pekerja kemanusiaan di Rafah mengaku telah mendengar ledakan besar, serangan udara dan tembakan setelah Israel melancarkan serangan ke kota tersebut.
"Kami menyaksikan serangan. Setelah militer Israel memulai operasi darat di bagian timur kota, ledakan besar, baku tembak yang terdengar dari sisi timur kota, selain itu juga serangan udara di berbagai daerah di seluruh wilayah Rafah, tempat di mana satu juta orang tinggal," kata Pekerja Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) di Rafah, Hisham Mhanna, kepada DW.
"Kami juga menyaksikan gelombang besar pengungsi yang melarikan diri dari sisi timur kota, kawasan yang mendapat peringatan evakuasi, membawa apa pun yang dapat mereka bawa dengan cepat, berpindah menggunakan mobil dan kendaraan lain, bahkan gerobak yang ditarik oleh keledai, dan banyak juga yang berjalan kaki membawa tas ransel yang berat,” papar Mhanna.
"Anak-anak, perempuan, orang tua berbagai usia kini terpaksa mengungsi tanpa tujuan yang jelas."
Bantuan Kemanusiaan
Mhanna menyebut ICRC terus memberikan bantuan dari sistem pelayanan kesehatan dan menyediakan makanan hangat untuk ribuan orang.
Namun, hal ini tidak cukup untuk membantu warga sipil Palestina yang terjebak di wilayah yang terkepung, ungkap Mhanna.
"Kami berusaha memaksimalkan respons kemanusiaan,” ucap Mhanna. "Kami berusaha menjangkau sebanyak mungkin orang yang membutuhkan. Namun, ini masih layaknya setetes air di lautan jika permusuhan terus berlanjut, karena selama ada jual beli serangan, ini berarti kebutuhan yang lebih besar yang pasti tidak akan terpenuhi.”
"Tantangannya sangat besar,” kata Mhanna.
"Pertama, tidak ada jaminan keamanan untuk pergerakan kami. Bantuan yang telah meningkat secara signifikan untuk masuk ke Gaza perlu diubah menjadi aliran bantuan tanpa hambatan, benar-benar aman, sehingga kami sebagai pekerja kemanusiaan dapat memasoknya ke ratusan ribu orang yang sangat membutuhkan di seluruh Jalur Gaza."
Operasi militer Israel ke Gaza berawal dari serangan militan Hamas ke Israel 7 Oktober lalu yang menewaskan lebih 1200 orang.
Hamas ketika itu juga menculik lebih dari 200 orang yang dibawa sebagai sandera ke Jalur Gaza. Israel kemudian melancarkan serangan balasan ke Gaza dengan tujuan untuk "menghancurkan Hamas".
Kelompok militan Hamas dikategorikan sebagai kelompok teroris oleh AS, Jerman, Uni Eropa dan beberapa negara lain.
Advertisement