Liputan6.com, Jakarta Pengacara mengungkap fakta baru tentang penganiayaan terhadap mahasiswa tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, Putu Satria Ananta Rustika (19). Rupanya penganiayaan tersebut bukan kali pertama yang dialami korban.
Hal itu berdasarkan curhatan korban ke kekasihnya. Pengacara keluarga Putu, Tumbur Aritonang mengatakan, korban pernah bercerita dianiaya oleh seniornya di STIP.
Advertisement
"Betul (pernah pemukulan itu bukan cuman sekali)," kata Tumbur saat dikonfirmasi, Kamis (9/5/2024).
Tumbur juga menyebut, mahasiswa STIP ini sering kali dipanggil oleh seniornya hingga menyebabkan luka lebam di bagian tubuhnya.
"'Ada aja aku dipanggil terus sama senior, dipukulin terus-terusan. Sakit dadaku, ulu hati terus yang diincer'," kata Tumbur seperti dalam pesan singkat WhatsApp.
Menurut dia, kliennya memang acap kali jadi sasaran penganiayaan oleh senior tersebut. Bahkan dijadikan salah satu target.
"Sepertinya sudah jadi kebiasaan disana (STIP). Jadi dia (korban) sering di incer sama seniornya," jelasnya.
Namun demikian, dia belum dapat merinci kapan kejadian penganiayaan itu pertama kali terjadi.
Sebelumnya, Polres Metro Jakarta Utara telah menetapkan tiga tersangka baru dalam kasus penganiayaan taruna tingkat satu STIP, yakni AK, WJP, dan FA. Mereka disimpulkan terlibat dalam kekerasan eksesif yang dilakukan tersangka utama Tegar Rafi Sanjaya (20) terhadap korban.
Reporter: Rahmat Baihaqi
Merdeka.com
Peran Para Tersangka
Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setyawan menyampaikan, ketiga tersangka adalah KAK alias K, WJP alias W, dan FA alias A. Pelaku FA alias A merupakan taruna tingkat 2 yang memanggil korban almarhum Putu bersama rekan-rekannya dari lantai 3 untuk turun ke lantai 2.
"Ini yang diidentifikasi menurut persepsi senior tadi salah atau menggunakan pakaian olahraga memasuki ruang kelas dengan mengatakan ‘Woi, tingkat satu yang pakai PDO (Pakaian Dinas Olahraga), sini!’. Jadi turun dari lantai 3 ke lantai 2. Lalu FA juga berperan menjadi pengawas ketika kekerasan eksesif terjadi di depan pintu toilet," tutur Gidion kepada wartawan, Kamis (9/5/2024).
Keterlibatan FA sendiri dibuktikan dengan rekaman CCTV dan keterangan para saksi. Atas dasar itu, dia dikenakan persangkaan Pasal pokok 351 ayat 3, yaitu Pasal 55 juncto Pasal 56 yang bermakna turut serta melakukan tindak pidana.
"Lalu terhadap tersangka WJP alias W, pada saat proses terjadinya kekerasan eksesif, saudara W mengatakan ‘Jangan malu-maluin CBDM, kasih paham’. Ini bahasa mereka, maka itu kami menggunakan atau melakukan pemeriksaan terhadap ahli bahasa, karena memang ada bahasa-bahasa pakemnya mereka yang kemudian mempunyai makna tersendiri,” jelas dia.
Advertisement
3 Tersangka Baru Dijerat Pasal Turut Serta
Sementara setelah dilakukan pemukulan terhadap korban almarhum, pelaku TRS yang sudah ditetapkan sebagai tersangka mengatakan ‘Bagus nggak prederes’, yang artinya masih kuat.
"Lalu tersangka tambahan yang ketiga adalah KAK alias K. Peran KAK adalah menunjuk korban sebelum dilakukan kekerasan eksesif oleh tersangka TRS, dengan mengatakan ‘Adekku saja nih mayoret terpercaya’. Ini juga kalimat-kalimat yang hanya hidup di lingkungan mereka, mempunyai makna tersendiri di antara mereka,” ungkap Gidion.
Atas dasar itu, kepada tersangka WJP dan KAK dikenakan persangkaan Pasal 55 juncto Pasal 56 yang bermakna turut serta melakukan tindak pidana.
Dalam kasus ini, penerapan pasal tersebut menjadi penegasan dari prinsip keturutsertaan dalam proses pidana, yakni ada kerja sama yang nyata dalam perbuatan atau tindak pidana kekerasan eksesif.
"Sehingga tiga tersangka itu menjadi atau mempunyai peran turut serta, turut melakukan, dalam konteks ini orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu. Barang siapa dengan sengaja memberikan kesempatan daya upaya atau keterangan untuk kejahatan. Jadi memperlancar prosesnya peristiwa kekerasan eksesif," Gidion menandaskan.