Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) alias Revisi UU MK tinggal selangkah lagi dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi UU.
Hal ini setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto menyepakati RUU MK tersebut dibawa ke tingkat dua untuk disahkan menjadi UU. Rapat pengesahan tingkat satu antara Komisi III DPR dengan Pemerintah ini dilakukan secara 'senyap' di akhir masa reses, Senin 13 Mei 2024 atau sehari jelang pembukaan masa sidang V.
Advertisement
Padahal pada akhir 2023 lalu, DPR dan pemerintah masih menunda pengesahan RUU MK lantaran menuai polemik. Bahkan Menko Polhukam saat itu Mahfud Md yang mewakili pemerintah menolak pengesahan di rapat tingkat satu lantaran belum sepakat dengan aturan peralihan masa jabatan hakim MK.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengkritik pengambilan keputusan rapat tingkat satu RUU MK yang dilakukan DPR dan Pemerintah di masa reses. Menurut dia, DPR telah melecehkan rakyat karena mengambil waktu reses untuk agenda di luar kepentingan konstituen.
"Reses adalah momentum perwujudan anggota DPR sebagai representasi rakyat. Melalui reses, anggota DPR menyerap langsung dari rakyat, apa yang harus dia kerjakan sebagai wakil rakyat. Reses tak boleh dialihkan untuk kegiatan selain menemui konstituen dan rakyat, karena itulah inti keberadaan DPR sesungguhnya," ujar Lucius saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (15/5/2024).
Dia mengakui bahwa pembahasan RUU pada masa reses memang tidak ada aturannya. Namun yang bisa dilakukan pada masa reses hanya pembicaraan isu mendesak yang diinisiasi oleh pimpinan DPR.
"Jadi katakanlah ada kondisi kritis yang harus segera ditanggapi parlemen. Pimpinan DPR bisa memanggil pimpinan fraksi atau alat kelengkapan untuk membicarakan sekaligus membuat keputusan. Jadi yang darurat gitulah yang mungkin bisa dilakukan DPR ketika sedang reses," katanya.
Praktik pembahasan RUU pada masa reses pernah dilakukan sebelumnya oleh DPR yakni pada pembahasan RUU Cipta Kerja. "Mungkin proses ini salah satu yang membuat UU Cipta Kerja dianggap cacat prosedural oleh MK, karena pembahasan pada masa reses menutup peluang publik untuk turut berpartisipasi," ucap Lucius.
Karena itu, dia merasa heran dengan keputusan DPR membahas RUU MK pada masa reses. Sebab agenda-agenda legislasi telah terjadwal dan terencana melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sehingga pembahasannya tidak perlu 'mencuri' jatah reses yang menjadi jantung keberadaan DPR sebagai wakil rakyat.
"Ini kok jadi aneh, DPR membenarkan kegiatan sidang biasa di masa reses. Pembahasan RUU pada masa reses seolah-olah mengerdilkan pentingnya reses. Kalau ini dibiarkan, ke depannya reses anggota bisa diabaikan begitu saja," ujar Lucius.
"Jadi pembahasan RUU pada masa reses itu melecehkan rakyat yang seharusnya disayangi wakil mereka untuk menyampaikan aspirasi," imbuhnya.
Melemahkan Hakim MK?
Lebih lanjut, Lucius menyoroti bahwa poin revisi keempat UU MK ini lebih ditujukan kepada para hakim yang sekarang menjabat, bukan Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan.
"Itu tendensius sekali. UU kok dibikin untuk kepentingan satu dua orang. DPR seperti lupa bahwa UU yang mereka buat itu untuk seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Menurut dia, tendensi revisi UU MK yang seolah-olah untuk satu dua hakim yang bekerja saat ini telah mengerdilkan makna legislasi DPR. Perubahan UU untuk kepentingan kelompok tertentu ini merusak kepastian hukum, karena ketika tujuannya sudah tercapai berpotensi diubah lagi untuk kepentingan orang lain.
"UU macam apa yang dibikin DPR seperti ini. Bagaimana tertib hukum mau dicapai dengan model pembentukan legislasi macam begini?" ucap Lucius.
"Ini juga membuktikan bahwa legislasi DPR memang sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan politik semata. Giliran untuk kepentingan politik DPR rela ngebut dan kucing-kucingan dari publik ketika membahas RUU MK ini. Kasihan betul peran legislasi DPR direduksi anggota DPR sekarang hanya untuk menjadi abdi parpol dan kekuasaan saja," katanya menambahkan.
Berdasarkan draft RUU MK yang diterima Liputan6.com, tercatat setidaknya ada empat pasal yang direvisi, antara lain Pasal 23 yang mengatur tentang pemberhentian hakim konstitusi, penambahan Pasal 23A tentang masa jabatan hakim konstitusi, perubahan Pasal 27A tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), dan Pasal 87 tentang pemberlakuan undang-undang yang direvisi.
Pasal 23 dalam draft RUU MK ini secara umum hampir sama dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK antara lain mengatur soal pemberhentian hakim apabila meninggal dunia, mengundurkan diri, sudah berusia 70 tahun, hingga sakit terus menerus. Termasuk soal pemecatan hakim apabila dijatuhi pidana penjara, melakukan perbuatan tercela, tidak menjalankan tugas dan kewajibannya, melanggar sumpah jabatan, menghambat kinerja MK, rangkap jabatan, hingga melanggar kode etik.
Sementara Pasal 23A yang baru dimasukkan dalam RUU ini mengatur soal masa jabatan hakim konstitusi. Pasal penambahan ini yang kini menjadi sorotan publik.
Pada ayat 1, menjelaskan secara umum bahwa masa jabatan hakim konstitusi menjadi 10 tahun. Padahal dalam Perubahan Ketiga UU MK, hakim bisa menjabat sampai usia 70 tahun selama tidak lebih dari 15 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 huruf b. Ini artinya, masa jabatan hakim konstitusi berdasarkan revisi keempat UU MK berkurang.
Kemudian ayat selanjutnya menjelaskan bahwa setelah lima tahun menjabat, hakim yang bertugas dapat ditinjau ulang oleh lembaga pengusul. Lembaga pengusul yakni Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung (MA) dapat menentukan apakah hakim tersebut akan dilanjutkan untuk menjabat 5 tahun lagi atau tidak. Ini artinya hakim konstitusi bisa diganti di tengah jalan.
Adapun bunyi Pasal 23A adalah sebagai berikut:
Pasal 23A
(1) Masa jabatan hakim konstitusi selama 10 (sepuluh) tahun.
(2) Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah 5 (lima) tahun menjabat wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan atau tidak mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya.
(3) Hakim konstitusi dapat melanjutkan jabatannya 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:
- masih memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2);
- belum berusia 70 (tujuh puluh tahun); dan
- mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul yang berwenang.
(4) Dalam hal lembaga pengusul yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) tidak memberikan persetujuan kepada hakim konstitusi yang bersangkutan untuk melanjutkan jabatannya, lembaga pengusul yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi baru sesuai dengan ketentuan Pasal 18 sampai dengan Pasal 2.
Jika melihat pasal-pasal yang direvisi, Lucius menilai bahwa poin perubahannya tidak jauh dari urusan durasi jabatan dan proses pemilihan hakim konstitusi. Perubahan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23A menegaskan bahwa independensi hakim MK sudah mati, karena setiap 5 tahun pihak pengusul bisa menggantinya dengan hakim yang baru.
"Di mana lagi independensi hakim ketika kerja mereka yang intinya menguji kerja legislator justru bisa dan bergantung pada kenaikan pihak pengusung terkait jabatan mereka," katanya.
Lucius menyatakan bahwa revisi UU MK ini bukan untuk memperkuat Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan, tetapi justru untuk menggerogotinya. Dia melihat, ada relasi yang tumpang antara para pengusul yakni DPR, MA, dan Presiden dengan hakim MK.
"Relasi itu dibuat sedemikian rupa agar ada ketergantungan yang muncul pada hakim, seolah-olah jabatan hakim itu pemberian dari kemurahan hati anggota DPR," ujarnya.
Apalagi pembahasan RUU MK di tingkat satu dilakukan secara diam-diam pada masa reses. Hal itu , kata dia, mengindikasikan bahwa DPR tidak ingin publik atau pihak-pihak yang menolak perubahan dapat mengganggu upaya pelemahan MK melalui RUU ini.
"Yang jelas DPR, Presiden sebagai pengusul hakim konstitusi yang akan diuntungkan. Konstitusi, keadilan, dan demokrasi substantif yang seharusnya menjadi dasar MK bekerja, hancur lebur," kata Lucius Karus menandaskan.
Kejahatan Konstitusi
Hal yang sama juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Charles Simabura. Dia menyebut bahwa pembahasan RUU MK yang dilakukan pada masa reses sebagai kejahatan konstitusi.
"Ini adalah praktik dari ugal-ugalan DPR di akhir masa jabatan. Bagi saya, ini kejahatan konstitusi yang berulang karena dilakukan secara senyap dengan tujuan yang sudah jelas untuk membunuh prinsip negara hukum yaitu independensi kekuasaan kehakiman," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (15/5/2024).
Dalam revisi keempat UU MK ini, kata dia, poin utamanya adalah bagaimana tiga lembaga pengusul yakni Presiden, DPR, dan MA bisa mengintervensi independensi hakim konstitusi melalui mekanisme konfirmasi atau peninjauan ulang.
"Mekanisme yang dibuat dalam revisi itu akan membuat hakim berpikir ulang secara pribadi, dan seolah-olah ini ada pesan juga kalau Anda tidak sejalan dengan pemerintah dan DPR termasuk Mahkamah Agung, Anda siap-siap akan kami ganti dalam suatu ketika yaitu pada saat mereka memenuhi kriteria yang ada di dalam pasal peralihan itu," kata Charles.
Lebih lanjut, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusako FH Unand) ini juga menyinggung soal jumlah anggota MKMK yang bertambah menjadi lima orang pada RUU Perubahan Keempat MK. Keterwakilan tiga unsur pada keanggotaan MKMK yakni hakim konstitusi, tokoh masyarakat, dan akademisi bidang hukum sudah baik.
"Kalau saya pada posisi kalau mau lebih baik seharusnya ada unsur KY (Komisi Yudisial). Tapi itu kan dengan adanya unsur 3 itu dalam konteks untuk menjaga masing-masing sebenarnya tidak masalah, jadi lebih baiklah," ucap Charles.
Dia berharap, anggota MKMK tetap ada perwakilan dari KY, sebagaimana diatur dalam RUU Perubahan Ketiga MK. Kendati, perwakilan KY masih punya peluang menjadi anggota MKMK jika diusulkan oleh salah satu dari empat lembaga yang diatur dalam RUU tersebut, yakni MK, MA, DPR, dan Presiden.
Pada Pasal 27A, perubahan yang paling mendasar terlihat pada ayat 2. Dalam revisi ini, anggota MKMK berjumlah menjadi 5 orang. Sedangkan dalam Perubahan Ketiga UU MK, jumlah anggota MKMK hanya 3 orang.
Lima anggota MKMK berdasarkan Pasal 27 ayat 2 terdiri atas satu orang hakim konstitusi, satu orang yang diusulkan oleh MK, satu orang yang diusulkan MA, satu orang yang diusulkan DPR, dan satu orang yang diusulkan oleh presiden. Revisi ini juga meniadakan ketentuan anggota MKMK berasal dari KY. N
Pada ayat selanjutnya mengatur bahwa orang yang diusulkan menjadi anggota MKMK itu berasal dari kalangan tokoh masyarakat dan akademisi berlatar belakang hukum. Adapun syarat tokoh masyarakat yang bisa diusulkan menjadi anggota MKMK adalah berintegritas tinggi, memahami hukum dan konstitusi, tidak menjadi anggota partai politik (parpol), dan bukan anggota DPR atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD) aktif.
Sedangkan syarat untuk akademisi yang bisa diusulkan menjadi anggota MKMK adalah berintegritas tinggi, tidak menjadi anggota parpol, dan bukan anggota DPR atau DPD aktif.
Nasib Hakim MK yang Saat Ini Menjabat
Pada Pasal 87 RUU MK, dijelaskan bahwa hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat tetap bisa melanjutkan jabatannya meski telah melebihi 10 tahun, dengan catatan usianya belum mencapai 70 tahun.
Sedangkan untuk hakim yang saat ini tengah menjabat dan masa jabatannya masih kurang dari 10 tahun, hanya bisa melanjutkan jabatannya terhitung sejak tanggal Keputusan Presiden (Keppres) pengangkatan pertama hakim yang bersangkutan.
Adapun bunyi lengkap aturannya adalah sebagai berikut:
Pasal 87
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 (lima) tahun dan kurang dari 10 (sepuluh) tahun, hanya dapat melanjutkan jabatannya terhitung sejak tanggal penetapan Keputusan Presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi yang bersangkutan setelah mendapat persetujuan dari lembaga pengusul yang berwenang;
b. hakim konstitusi yang sedang menjabat dan masa jabatannya telah melebihi 10 (sepuluh) tahun, masa jabatannya berakhir pada usia 70 (tujuh puluh) tahun berdasarkan Undang-Undang ini sejak tanggal penetapan Keputusan Presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi yang bersangkutan jika mendapat persetujuan dari lembaga pengusul yang berwenang.
Advertisement
RUU Ancam Independensi Hakim MK
Sementara itu, mantan Menko Polhukam Mahfud Md menilai bahwa RUU tentang Perubahan Keempat atas UU MK ini memang aneh. Menurut dia, revisi tersebut malah berpotensi mengganggu independensi hakim, khususnya yang terkait dengan aturan peralihan.
"Itu juga sebabnya saya menolak, ini mengganggu independensi. Kenapa? Orang ini secara halus ditakut-takuti, kamu ini diganti loh, dikonfirmasi, tanggal sekian dijawab tidak, berhenti, habis kamu sebagai hakim. Jadi, independensinya sudah mulai disandera, menurut saya," kata Mahfud Md dalam keterangan resmi, Rabu (15/5/2024).
Mahfud kemudian menceritakan proses ditolaknya revisi UU MK saat dia menjabat sebagai Menko Polhukam. Pada 2020, Mahfud menyampaikan, memang sudah mencoba melakukan perubahan terhadap UU MK, yang disebut Menkumham Yasonna Laoly, sudah disepakati sebelum Mahfud menjadi Menko Polhukam.
Ternyata, lanjut Mahfud, upaya-upaya itu masih belum berhenti karena pada 2022 lalu secara tiba-tiba muncul lagi usulan untuk perubahan terhadap UU MK. Padahal, dia menekankan, usulan revisi UU MK itu tidak pernah ada di Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas).
"Saya kaget, saya tanya lagi ke Pak Yasonna. 'Pak, ini kok ada undang-undang belum ada di Prolegnas'. 'Sudah Pak, disepakati baru ini tambahan di Prolegnas untuk direvisi'. 'Kok mendadak,' saya bilang. 'Iya, ini DPR memutuskan begitu, dan sudah dibicarakan mungkin secara diam-diam, begitu'," cerita Mahfud saat berbincang dengan Yassona.
Akhirnya, Mahfud tetap menegaskan kalau revisi terhadap UU MK tidak benar karena ada tendensi untuk memberhentikan hakim-hakim tertentu di tengah jalan.
Oleh karena itu, Mahfud menyampaikan kepada Mensesneg Pratikno, untuk turun langsung mengikuti rapat bersama DPR RI membahas ini.
"Oleh sebab itu, DPR waktu itu, kebetulan saya yang pesan ke Pak Pratik, 'Pak kayaknya undang-undang ini saya perlu turun sendiri ke DPR, kan bisa'. 'Oh iya bisa,' kata Pak Pratik. 'Sudah nanti Pak Mahfud saja yang mewakili ke DPR bersama Pak Yasonna'. Jadi saya," ucap Mahfud.
Menurutnya, undang-undang itu sekalipun bagus tidak boleh berlaku untuk hakim-hakim yang sekarang ada dan mereka dibiarkan sampai habis masa jabatannya, baru dilakukan penggantian. Ternyata, dia mengingatkan, saat itu DPR tidak mau karena mereka ingin hakim-hakim langsung diganti.
"DPR tidak mau, pokoknya langsung, begitu undang-undang ditetapkan hakim yang tidak yang belum 10 tahun tapi sudah di atas lima tahun dikonfirmasi lagi. Wah, saya bilang ini tidak benar. Dalam ilmu hukum ini keliru saya bilang. Akhirnya apa, deadlock kan saja saya bilang. Maka deadlock, selama saya jadi Menko," ujar Mahfud.
Mahfud Tak Lagi Bisa Menghalangi
Mahfud merasa, RUU MK yang diusulkan bisa menakut-nakuti hakim MK yang kini ada, ditambah saat itu sudah mendekati kontestasi politik pemilihan umum. Meski begitu, Mahfud menegaskan, tidak bisa menghalangi siapa saja yang kini menginginkan revisi terhadap UU MK dilakukan.
"Sekarang sesudah saya pergi tiba-tiba disahkan, ya saya tidak bisa menghalangi siapa siapa, tapi itu ceritanya. Saya pernah deadlock-kan undang-undang itu, sekarang disahkan. Isinya tetap, seperti yang saya tolak itu, tapi menurut saya ya, ya sudah saya tidak bisa menghalangi," tutur Mahfud.
Mahfud menyebut, ada beberapa kemungkinan sikap yang akan diambil pemerintah soal ini. Antara lain, pemerintah meminta Ketua MK mengirim surat meminta konfirmasi hakim-hakim yang diperpanjang, atau membiarkan saja hakim-hakim yang mendekati pensiun menyelesaikan masa jabatan.
Namun, Ketua MK periode 2008-2013 itu merasa, revisi UU MK itu cuma merupakan langkah memuluskan jalan politik pihak-pihak tertentu. Apalagi, beberapa waktu terakhir orang sudah banyak membahas tentang desentralisasi yang dilakukan secara diam-diam dan secara halus.
"Akhirnya semua ada di satu tangan, nanti ada re-calling, independensinya dibatasi. Salah satunya recall saja, minta konfirmasi saja. Tapi yang lebih keras lagi, sebelum dibahas, ada di RUU, bahwa DPR bisa atau lembaga yang mengusulkan bisa menarik, itu re-calling yang asal. Ini tidak, diminta konfirmasi, bukan ditarik," ujar Mahfud Md.
Terkait hal itu, dia mengingatkan, bahwa mantan-mantan ketua MK dan hakim MK sudah pernah bertemu untuk membahasnya. Mahfud menyampaikan, tokoh-tokoh seperti Jimly Asshiddiqie, dirinya, Hamdan Zoelva, Haryono dan lain-lain sepakat independensi hakim tidak boleh diganggu.
Akhirnya, lanjut Mahfud, ide-ide yang coba dimunculkan untuk menarik hakim di tengah jalan melalui revisi terhadap UU MK itu dihapus. Uniknya, kini dimunculkan lagi rencana yang dirasa bisa mengganggu independensi hakim seperti rekonfirmasi setelah masuki tahun kelima.
"Hadir semua waktu itu, terus yang dari Malang hadir, ini tidak boleh begini, harus ada independensi. Sehingga ide untuk menarik hakim di tengah jalan hapus, tapi yang muncul kemudian lima tahun direkonfirmasi," kata Mahfud.
Mahfud tidak sepakat jika ini disalahkan ke legal drafter karena mereka terbilang sangat teknis, bukan memiliki kewenangan pada filosofi materi. Artinya, mereka yang memiliki filosofi materi dan memiliki hak konstitusional untuk menentukan tetap hanya presiden dan DPR RI.
"Ini lebih kepada kolaborasi banyak aktor yang sama-sama punya keinginan tertentu yang bisa dicapai kalau berkolaborasi. Misalnya, membuat undang-undang harus begini, ini dapat ini, itu dapat itu, itu sudah biasa, oleh sebab itu kita sekarang sering berteriak tentang moral dan etik," ujar Mahfud.
Soal potensi hakim bisa jadi proxy (perantara) dari lembaga-lembaga jika revisi UU MK disahkan, Mahfud menyampaikan, itu memang menjadi salah satu kekhawatiran. Namun, dia mengingatkan, keputusan tetap ada di Presiden dan DPR RI karena bisa saja disahkan dengan alasan-alasan yang baik.
"Tetap keputusan kan mereka yang memutuskan, biar hakim tidak seenaknya, bisa juga alasannya begitu. Bisa benar, tinggal alasannya apa, bisa saja dan itu masuk akal, tapi menurut saya masalahnya bukan itu, masalahnya akan bisa dikendalikan, itulah yang saya katakan independensi," imbuh dia.
RUU MK Tinggal Pengesahan
Meski pembahasan RUU MK terkesan buru-buru dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi pada masa reses, namun rapat paripurna masa sidang V yang digelar pada Selasa (14/5/2024) kemarin, belum mengesahkan RUU tersebut.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco menyebut, pengesahan RUU MK bisa digelar di masa sidang ini. Penggesahan hanya menunggu waktu lantaran sudah selesai di pengambilan keputusan tingkat I.
"Kalau saya lihat bahwa keputusan yang sudah diambil antara pemerintah dengan DPR tinggal dilanjutkan di paripurna, sehingga masa sidang yang masih panjang ini juga memungkinkan," kata Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (14/5/2024).
Sementara terkait pembahasan dan pengambilan keputusan tingkat I dilakukan secara 'senyap' pada masa reses, Dasco menyebut hal itu sudah seizin pimpinan DPR.
"Seharusnya kalau ada pembahasan di masa reses harusnya sudah izin pimpinan, dan itu sudah saya cek ada izin pimpinannya," kata dia.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Johan Budi mempertanyakan pengambilan keputusan yang digelar saat reses. "Ditanya saja sama pimpinan, kan kemarin status anggota DPR itu sedang reses baru sekarang paripurna pembukaan," kata Johan kepada wartawan, Selasa.
Johan menyebut belum ada pandangan mini fraksi mengenai RUU tersebut. "Setahu saya belum ada pandangan mini fraksi, mengenai RUU MK itu," kata dia.
Lebih lanjut, politikus PDIP ini mengaku bahwa dirinya tak mendapat undangan rapat pembahasan RUU tersebut dari Sekretariat Komisi III DPR.
“Saya enggak dapat. Karena sekali lagi kan reses, (saya) enggak ada di Jakarta. Kalau teorinya orang reses orang ke dapil. Tapi bukan berarti ketika reses enggak boleh ada rapat, bukan berarti itu,” pungkasnya.
Digelar Senyap
Sebelumnya, dikutip dari keterangan tertulis, Wakil Ketua Komisi III DPR Adies meminta persetujuan dari para Anggota Komisi III dan Menteri Polhukam saat raker di Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (13/5/2024) sore. Pembahasan dan rapat pengambilan keputusan tingkat I ini dilakukan secara “senyap” pada masa reses DPR.
"Kami meminta persetujuan kepada Anggota Komisi III dan Pemerintah, apakah pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna," tanya Adies.
Dalam rapat ini, Adies menyampaikan bahwa pada tanggal 29 November 2023, Panja Komisi III DPR RI dan Pemerintah telah menyetujui DIM RUU tentang Mahkamah Konstitusi dan memutuskan bahwa pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat langsung dilanjutkan pada Pengambilan Keputusan Pembicaraan Tingkat I atau Rapat Kerja di Komisi III.
Pada saat pembahasan Pembicaraan Tingkat I tanggal 29 November 2023 tersebut, panja telah melaporkan hasil pembahasannya dan fraksi-fraksi melalui perwakilannya telah menyampaikan pendapat akhir mini fraksi, serta menandatangani naskah RUU tentang Mahkamah Konstitusi, tetapi pihak Pemerintah belum memberikan pendapat akhir mini dan belum menandatangani naskah RUU tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 163 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, mekanisme Pengambilan Keputusan pada Pembicaraan Tingkat I yang belum dilaksanakan yaitu pendapat akhir mini Presiden dan penandatanganan naskah RUU oleh pihak Pemerintah.
Respons MK dan Jokowi
Mahkamah Konstitusi menolak berkomentar banyak terkait pembahasan RUU MK pada tingkat I yang dilakukan secara senyap. Menurut Juru Bicara MK Fajar Laksono, hal itu adalah wewenang DPR selaku pembentuk undang-undang.
"Kami tidak komentar. Itu wewenang Pembentuk UU," kata Fajar lewat pesan singkat, Selasa (14/5/2024).
Fajar menyatakan, saat ini MK fokus pada persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pemilihan legislatif 2024.
"Saat ini MK fokus menuntaskan perkara PHPU 2024," tutup Fajar.
Begitu pula Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hanya merespons singkat mengenai pembahasan RUU MK ini. Kepala negara meminta perihal ini ditanyakan saja ke DPR.
"Tanyakan ke DPR," kata Jokowi di Pasar Central Laracia, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024).
Advertisement
Ditolak di Era Mahfud, Disetujui di Masa Hadi
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau RUU MK telah diterima Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto.
Padahal, RUU MK sempat ditolak Menko Polhukam sebelumnya, Mahfud Md, saat mewakili Pemerintah di DPR.
Penolakan tersebut juga sempat disampaikan Mahfud Md saat menghadiri Halal Bihalal sekaligus pembubaran resmi Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud di Menteng, Jakarta, Senin (06/04/2024).
"Banyak itu yang saya blok, tapi yang terakhir itu UU MK, tidak ada di Prolegnas, tidak ada di apa, masuk, dibahas," kata Mahfud.
Mahfud mengingatkan, RUU MK ditolak ketika dirinya mewakili Pemerintah sebagai Menko Polhukam periode 2019-2023. Apalagi, ia menegaskan, pembahasan terhadap RUU MK itu dilakukan secara tiba-tiba menjelang kontestasi politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Itu saya tolak ketika saya ditunjuk untuk menghadapi, mewakili pemerintah, saya bilang coret, dead lock, tidka ada perubahan UU menjelang begini," ujar Mahfud.
Namun, sikap Pemerintah saat ini berubah. Pasalnya, Menko Polhukam, Hadi Tjahjanto mewakili Pemerintah baru saja menerima hasil pembahasan RUU MK di tingkat Panitia Kerja (Panja) saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi III DPR di Gedung DPR RI, Senin (13/05/2024).
"Atas nama Pemerintah, kami menerima hasil pembahasan RUU di tingkat Panitia Kerja yang menjadi dasar pembicaraan atau pengambilan keputusan tingkat I pada hari ini. Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan pembicaraan dan pengambilan keputusan tingkat II terhadap RUU MK di Sidang Paripurna DPR RI," kata Hadi.
Hadi menyebut, ada berbagai poin yang penting dari perubahan atas UU MK yang telah dibahas bersama DPR RI tersebut. Bahkan, ia merasa, perubahan-perubahan itu akan semakin memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara, semakin meneguhkan peran MK sebagai penjaga konstitusi.
"Pemerintah berharap, kerja sama yang terjalin dengan baik antara DPR RI dan Pemerintah dapat terus berlangsung, untuk terus mengawal tegaknya negara kesatuan yang kita cintai bersama," ujar Hadi.
Adapun rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berlangsung Senin (13/05/2024). Rapat itu dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR RI yang berasal dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Adies Kadir dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI yang berasal dari Partai Gerindra, Habiburokhman.
Dalam pembahasan yang berlangsung 'senyap' pada masa reses DPR ini, pemerintah dan legislator sepakat membawa RUU MK tersebut ke rapat paripurna yang digelar hari ini, Selasa (14/5/2024).
Alasan Pemerintah Era Mahfud Keberatan
Sebelumnya diberitakan, pemerintah belum menyetujui terkait revisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu penyebabnya keberatan atas aturan peralihan atau masa jabatan hakim MK 10 tahun dan maksimal pensiun 70 tahun.
"Itu benar kami belum menyetujui dan secara teknis prosedural belum ada keputusan rapat tingkat satu, rapat tingkat satu itu artinya pemerintah sudah menandatangani bersama seluruh fraksi. Nah waktu itu pemerintah belum menandatangani karena kita masih keberatan terhadap aturan peralihan atau masa jabatan hakim MK 10 tahun dan maksimal pensiun 70 tahun" kata Menko Polhukam Mahfud Md saat jumpa pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (4/12/2023).
Mahfud pun kaget dengan langkah DPR yang senyap untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, revisi UU MK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
"Kita juga kaget karena itu tidak ada di Prolegnas, tapi setelah kita konsultasikan ya mungkin, ya ada kebutuhan, ya kita layani," kata Mahfud.
Mahfud sudah melaporkan soal aturan peralihan mengenai usia hakim konstitusi ini kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, pihak pemerintah masih belum setuju tentang aturan usia dan tak ingin merugikan hakim yang sudah ada.
"Itu saya sudah melapor ke Presiden, Pak masalah perubahan Undang-Undang MK yang lain-lain sudah selesai tapi aturan peralihan tentang usia, kami belum clear dan kami akan bertahan agar tidak merugikan hakim yang sudah ada," ujar Mahfud.
Mantan Ketua MK ini meminta DPR membahas lagi dengan pemerintah mengenai revisi UU MK. Mahfud juga sudah mengirimkan surat ke DPR agar revisi UU MK tidak disahkan dulu di persidangan.
"Kita minta sebelum dibawa ke pembahasan tingkat dua itu supaya dibicarakan lagi dengan pemerintah dan saya hari ini sesudah berkoordinasi dengan Menkum HAM sudah mengirimkan surat ke DPR tadi sudah diantar, sudah diterima ya oleh DPR, kita minta agar itu tidak disahkan di sidang supaya diperhatikan usul pemerintah," kata Mahfud.
Infografis UU MK Sudah Berapa Kali Diubah?
Advertisement