Liputan6.com, Jakarta - Masalah perairan dan sanitasi saat ini tidak hanya menjadi perhatian Indonesia, namun juga menjadi kekhawatiran dunia. Pasalnya, dunia diperkirakan akan mengalami kelangkaan air atau water stress pada tahun 2050 jika tidak ada aksi konkret yang dilakukan dari sekarang.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas Medrilzam dalam "Diskusi Peran Indonesia dan PBB di World Water Forum ke-10" di Kantor PBB, Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Advertisement
"Pada tahun 2050, lebih dari setengah populasi dunia diperkirakan akan tinggal di wilayah yang langka air," kata dia.
"Hal ini dikarenakan kebutuhan dunia terhadap air juga diperkirakan meningkat 20 hingga 25 persen pada tahun 2050," jelasnya.
Lebih parahnya lagi, Medrilzam menyebut bahwa pada tahun 2050 diperkirakan 1,6 juta orang akan berada dalam risiko banjir.
Isu tersebut, kata dia, akan menjadi fokus utama dalam World Water Forum ke-10 yang akan diselenggarakan di Bali, 18-25 Mei 2024.
"Pertemuan ini akan menjadi wadah bagi berbagai level, mulai dari pemerintah, organisasi, hingga masyarakat untuk dapat menemukan solusi bagi permasalahan sanitasi global."
Sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki empat misi penting yang akan dibawa dalam pertemuan tersebut.
Pertama, membahas soal manajemen masalah air di negara kepulauan kecil dan negara berkembang.
Kedua, penetapan pusat ketahanan air dan iklim.
Ketiga, penetapan Hari Danau Sedunia.
Keempat, melakukan aksi konkret dari hasil pembahasan pertemuan.
Paling Berdampak bagi Masyarakat Miskin
Masalah kelangkaan air, yang diperburuk oleh perubahan iklim, memang dirasakan oleh hampir seluruh populasi dunia. Meski demikian, kelompok masyarakat miskin lah yang akan merasakan dampaknya secara langsung dan lebih cepat dibandingkan kelompok ekonomi lainnya.
"Ketika air menjadi langka, masyarakat miskin harus bayar lebih mahal. Ketika air menjadi semakin mahal, ini menjadi semakin sulit diakses oleh mereka," kata Spesialis WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) UNICEF Indonesia Maraita Listyasari, yang juga berbicara dalam diskusi tersebut.
Maraita menyebut bahwa efek jangka panjangnya, kelompok masyarakat miskin akan semakin terbelakang soal higienitas dan kebersihan diri.
"Air kan tidak hanya untuk minum, tapi juga untuk kegiatan lainnya termasuk untuk membersihkan diri," ungkapnya.
"Ketika air sudah habis, maka praktek-praktek terkait dengan sanitasi juga menjadi terganggu."
Maraita menjelaskan, bahwa berdasarkan sebuah studi yang dilakukan di sejumlah lokasi di Indonesia selain Jakarta, di mana daerahnya mengalami keterbatasan air, kesadaran masyarakat yang sebelumnya sudah mulai memperhatikan soal kebersihan diri mulai hilang.
"Mereka jadi balik lagi buang air besar sembarangan karena berfikir di toilet mereka juga tidak ada air. Mereka pun pergi ke tempat lain yang airnya kotor, sehingga dampak selanjutnya adalah penyebaran penyakit," tutur dia.
Advertisement
Kebutuhan Air Makin Banyak, yang Tersedia Hanya Sedikit
Medrilzam mengakui bahwa seiring tingginya kebutuhan terhadap air, namun yang tersedia dan dapat dipakai hanya sedikit.
"Fresh water yang bisa dimanfaatkan itu sangat kecil, hanya sekitar 2,5 persen," paparnya.
"Ini yang harus menjadi concern kita, ketika yg tersedia sangat kecil, tapi kebutuhannya sangat besar."