Sistem KRIS BPJS Kesehatan Dikhawatirkan Persulit Pasien Dapat Kamar, Kenapa?

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyoroti sistem KRIS dengan ruang perawatan mengarah ke satu ruang.

oleh Arief Rahman H diperbarui 16 Mei 2024, 17:56 WIB
Pemerintah mengatur ulang sistem kelas dalam BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS)(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengatur ulang sistem kelas dalam BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Sistem ini dinilai bisa mempersempit peluang pasien peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) untuk mendapatkan kamar rawat inap.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyoroti sistem KRIS dengan ruang perawatan mengarah ke satu ruang. Dalam aturannya, kamar inap akan diisi maksimal 4 tempat tidur, dan 12 kriteria ruangan. Namun, menurut dia, hal ini bisa menyulitkan peserta JKN.

"Pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) berpotensi akan menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan. Pelaksanaan KRIS akan merujuk pada PP no. 47 tahun 2021, yang di pasal 18 nya disebutkan RS Swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen dari total yang ada, dan RS Pemerintah minimal mengalokasikan 60 persen," ujar Timboel kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2024).

Dia menuturkan, bila sebuah RS swasta mengalokasikan 50 persen, itu sudah memenuhi PP no. 47 tersebut. Artinya, ada batas maksimal pasien peserta JKN yang bisa diterima oleh rumah sakit.

Padahal, mengacu pada skema kelas yang diterapkan saat ini, masih banyak pasien BPJS yang sulit mendapatkan kamar. Padahal, belum ada batasan tertentu untuk porsi pasien BPJS di rumah sakit.

"Ini artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS. Saat ini saja, dimana ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN, masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan, apalagi nanti dgn KRIS, akan terjadi ketidakpuasan untuk layanan JKN dari peserta JKN," jelasnya.

Dia menegaskan, jika akses terhadap kamar rawat inap tadi sulit didapatkan, tak menutup kemungkinan peserta JKN nantinya malah pindah untuk melalui jalur umum. Artinya, ada beban finansial untuk membayar biaya perawatan tadi.

"Tidak boleh ada lagi peserta JKN mengalami kesulitan mengakses ruang perawatan, sehingga menjadi pasien umum yg bayar sendiri. JKN jadi tidak bisa digunakan," tegasnya.

 


Minta Pemerintah Beri Jaminan

Petugas memeriksa tekanan darah pasien BPJS Kesehatan yang berobat di Faskes Tingkat 1 Klinik Kesehatan Prima Husada di Depok, Jawa Barat, Senin (23/5/20222). Sejumlah terobosan saat ini dilakukan paramedis di Faskes Tingkat 1, diantaranya penilaian peserta program JKN melalui fitur Kessan (Kesan Pesan Peserta Setelah Layanan) dalam aplikasi Mobile JKN. (merdeka.com/Arie Basuki)

Atas keterbatasan tadi, Timboel meminta pemerintah bisa menjamin pasien BPJS Kesehatan bisa mendapatkan kamar rawat inap. Misalnya, jika di satu RS tidak mampu menampung, bisa diarahkan ke lokasi lain yang tersedia.

"Bila di sebuah RS memang kamar perawatannya penuh, Pemerintah (Kemenkes dan dinkes) dan BPJS Kesehatan harus segera mencarikan RS yang mampu merawatnya, dan merujuk ke RS tersebut, dengan ambulans yang dibiayai JKN. Jangan biarkan pasien JKN atau keluarganya yang mencari sendiri RS yang bisa merawat mereka," pintanya.

Sayangnya, kata Timboel, dalam Perpres 59 ini tidak ada aturan yang mewajibkan Pemerintah baik itu Kemenkes dan Dinkes daerah ataupun BPJS Kesehatan yang mencarikan RS pengganti.

"Saya berharap di Permenkes KRIS nanti klausula tersebut disebutkan secara eksplisit sehingga Pemerintah dan BPJS Kesehatan benar-benar menjamin pasien JKN mudah mengakses ruang perawatan KRIS," pungkasnya.

 


BPJS Kesehatan Terapkan KRIS, Iuran Peserta Kelas 3 Bakal Naik Berapa?

Petugas melayani warga yang mengurus iuran BPJS Kesehatan di Kantor BPJS Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta, Senin (4/11/2019). Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia memprediksi akan terjadi migrasi turun kelas pada peserta akibat kenaikan iuran 100 persen pada awal 2020. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyoroti kebijakan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi peserta BPJS Kesehatan, paling lambat 30 Juni 2025.

Menurut dia, aturan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 itu masih menyimpan tanda tanya besar. Khususnya terkait besaran iuran yang kini terbagi dalam skema kelas 1, 2 dan 3.

Said Iqbal lantas berasumsi jika penerapan KRIS bakal menyamakan iuran seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dengan bayangan harga tengah antara peserta kelas 1, 2 dan 3. Jika itu terjadi, ia beranggapan iuran peserta kelas terbawah akan naik.

"Dia ambil harga tengah, misal Rp 75.000. Berarti yang orang mampu turun iuran, orang tidak mampu bertambah. Pertanyaannya, mampu enggak pemerintah mensubsidi? Pasti enggak mau. Jadi yang dirugikan kelas bawah, iurannya naik," ungkapnya kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2024).

Di sisi lain, ia juga menanggapi implementasi KRIS tidak menghapus jenjang kelas pelayanan rawat inap bagi peserta. Said Iqbal mengaku sanksi jasa pelayanan yang diberikan akan membaik, meskipun besaran iuran peserta kelas bawah dinaikan.

"Apakah pelayanan meningkat dengan iuran yang kemungkinan besar naik bagi orang bawah? Enggak mungkin pelayanannya naik," tegas dia.


Harus Ada Investasi

Dokter Natasha memeriksa kulit tangan pasien BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kulit di Faskes Tingkat 1 Klinik Kesehatan Prima Husada di Depok, Jawa Barat, Senin (23/5/20222). Sejumlah terobosan saat ini dilakukan paramedis di Faskes Tingkat 1, diantaranya, antre berobat bisa dilakukan secara online melalui aplikasi mobile JKN. (merdeka.com/Arie Basuki)

Tak hanya bagi peserta, Said Iqbal juga menilai rencana penerapan KRIS di BPJS Kesehatan bakal merepotkan pihak pengelola rumah sakit, khususnya swasta.

Kementerian Kesehatan dalam hal ini menyatakan tidak akan menghapus jenjang kelas rawat inap 1-3, namun menitikberatkan pada perbaikan tempat tidur. Dengan sistem KRIS, satu kamar nantinya akan punya maksimal 4 tempat tidur.

"Apa akibatnya, kan harus ada investasi dengan merombak kamar. Kita bicara kelas dulu. Misal kamar kelas 3 di rumah sakit swasta, Muhammadiyah dan lainnya ada 6 orang, misal dibikin jadi 4 orang," ujar Said Iqbal.

"Berarti ada investasi merombak kamar. Begitu pula rumah sakit negeri, dia merombak kamar. Kalaupun tidak merombak kamar, investasinya adalah akan mengurangi jumlah kamar, yang tadinya diisi 6 orang jadi 4 orang. Akibatnya ketersediaan kamar berkurang," tuturnya.

Lewat skenario ini, ia mengatakan pihak pengelola rumah sakit juga harus bikin kamar baru jika ketersediaan kamar dan ruangannya pasca direnovasi masih belum mencukupi.

"Pertanyaannya, kalau (rumah sakit) negeri kan masih bisa lah menggunakan APBN tahun depan. Kalau rumah sakit swasta dari mana investasinya? Jadi kesimpulannya program KRIS itu tidak bisa berjalan di Juni 2025," pungkas Said Iqbal.

 

Banyak Aduan Peserta BPJS Kesehatan di RS?(Abdillah/Liputan6.com)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya