Perdagangan Karbon Hulu Migas Masih Kecil, Perlu Ada Regulasi Baru

Saat ini pemerintah terus bergerak memperbaiki regulasi. Salah satunya pembahasan turunan dari Peraturan Presiden No 14/2024 tentang penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 16 Mei 2024, 19:45 WIB
Perdagangan karbon di industri hulu migas memang belum optimal. Sehingga perlu ditopang dengan dukungan regulasi yang menarik dari pemerintah. Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2) Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Industri hulu migas dinilai sebagai salah satu sektor paling potensial untuk menerapkan bisnis perdagangan karbon. Namun, penerapannya bergantung dari kemampuan para pelaku usaha untuk bisa menerapkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, atau Carbon Capture Storage (CCS).

Dengan kemampuan finansial dan teknologi yang dimiliki, penerapan bisnis perdagangan karbon di industri hulu migas diyakini bisa terwujud.

Analis Kebijakan Kementerian Keuangan Hadi Setiawan mengungkapkan, saat ini pemerintah terus bergerak memperbaiki regulasi. Salah satunya pembahasan turunan dari Peraturan Presiden No 14/2024 tentang penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon.

"Pengenaan harga karbon di industri hulu migas baru bisa diimplementasikan ketika teknologi CCS sudah berjalan," ujar Hadi dalam rangkaian kegiatan IPA Convex 2024 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (16/5/2024).

Menurut dia, perdagangan karbon di industri hulu migas memang belum optimal. Sehingga perlu ditopang dengan dukungan regulasi yang menarik dari pemerintah.

"Mereka (industri hulu migas) keluarin emisi caranya salah satu strategi dengan CCS kita sudah bikin aturannya. Turunannya masih proses mudah-mudahan bisa segera keluar. kalau sudah ada diharapkan migas bisa partisipasi turunkan emisi," jelas Hadi.

Adapun pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penerapan Nilai Ekonomi Karbon Dalam Rangka Pencapaian Target NDC dan Pengendalian Emisi GRK Dalam Pembangunan Nasional, serta Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.

 


Bursa Karbon

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Pada September 2023 lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mendirikan Bursa Karbon atau Carbon Exchange untuk mendukung pelaksanaan perdagangan karbon. Namun hingga kini belum ada perusahaan migas yang ambil bagian dalam perdagangan karbon secara langsung.

Edwin Hartanto, Kepala Unit Pengembangan Carbon Trading IDX Carbon menyatakan, ekosistem dalam perdagangan karbon memang perlu lebih disiapkan. Aturan pelaksana menjadi kuncinya.

Edwin menilai sektor hulu migas punya peluang sangat baik dalam terlibat di bisnis perdagangan karbon, apalagi jika sudah diterapkan CCS. Dalam praktiknya, jika perusahaan migas punya teknologi CCS dengan kapasitas lebih besar ketimbang emisi yang dihasilkan, kelebihan kapasitas itu yang bisa ditawarkan ke pihak lain.

"Perusahan migas ini kayaknya advance di teknologi CCS walaupun bilangnya masih mahal kita mau ini terus didobrak teknologi biar lama-lama harganya turun buat proyek harga karbon kredit bisa naik. Syaratnya yang harus difokuskan kalau keluarin emisi tinggi buat mereka (perusahaan) dulu kalau kapasitas carbon capture lebih, sisanya bisa dijual, peluangnya di situ," ungkapnya.

 


Indonesia Belum Terbiasa

Di sisi lain, Ketua Asosiasi Perdagangan Karbon Indonesia Riza Suarga menilai, pasar karbon di Indonesia masih belum terbiasa dengan aktifitas perdagangan karbon, apalagi di sektor hulu migas.

Untuk itu peran pemerintah sangat diperlukan membuat iklim perdagangan karbon lebih ramah terhadap pelaku usaha. "Market masih nervous, tapi Indonesia pemerintahnya sangat mendukung," kata Riza.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya