Menlu Taiwan: China dan Rusia Saling Dukung Ekspansionisme Satu Sama Lain

Joseph Wu menyerukan negara-negara demokrasi untuk bersatu dalam melawan perilaku militer Rusia dan China di Eropa, Laut China Selatan, dan sekitarnya.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 18 Mei 2024, 12:38 WIB
Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu. (Dok. AP Photo/Chiang Ying-ying)

Liputan6.com, Taipei - Rusia dan China saling membantu memperluas jangkauan teritorial mereka. Demikian disampaikan Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu dalam wawancara dengan kantor berita AP.

Pernyataannya muncul ketika Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke China. Putin dan pemimpin China Xi Jinping menegaskan kembali kemitraan "tanpa batas" mereka ketika kedua negara menghadapi meningkatnya ketegangan dengan Barat.

"Kunjungan Putin ke Beijing adalah contoh dua negara otoriter besar yang saling mendukung, bekerja sama, mendukung ekspansionisme satu sama lain," ujar Joseph, seperti dilansir AP, Sabtu (18/5/2024).

Secara khusus, Joseph menyerukan negara-negara Barat untuk terus mendukung Ukraina dalam perjuangannya melawan Rusia untuk menyampaikan pesan bahwa negara-negara demokrasi akan saling membela.

"Jika pada akhirnya Ukraina dikalahkan, saya pikir China akan mendapatkan inspirasi dan mereka mungkin akan mengambil langkah yang lebih ambisius dalam memperluas kekuatan mereka di Indo-Pasifik dan hal ini akan menjadi bencana bagi komunitas internasional," kata Joseph.

Joseph memperingatkan tentang risiko potensi konflik di Laut China Selatan, wilayah yang kaya sumber daya dan jalur transit utama perdagangan global, di mana China memiliki klaim teritorial yang tumpang tindih dengan sejumlah negara. Filipina khususnya telah mengalami banyak konfrontasi teritorial dengan China dalam beberapa bulan terakhir, beberapa di antaranya menyebabkan tabrakan kecil, melukai personel Angkatan Laut Filipina hingga merusak kapal Filipina.

Ketegangan di Laut China Selatan, sebut Joseph, lebih berbahaya dibandingkan ketegangan di Selat Taiwan dan hal ini menunjukkan ambisi China untuk memproyeksikan kekuatan di wilayah tersebut.

"(China) ingin masyarakat internasional fokus pada Selat Taiwan dan melupakan tindakan China di berbagai belahan dunia," ungkap Joseph. "Dan menurut saya… kita tidak boleh kehilangan pandangan bahwa ekspansionisme otoritarianisme ada di mana-mana di Indo-Pasifik."

Joseph mengatakan latihan militer gabungan antara China dan Rusia di kawasan ini meningkatkan ketegangan di Jepang dan negara-negara tetangga lainnya. Dia juga mengkritik strategi China dalam mencapai perjanjian keamanan dengan negara-negara seperti Kepulauan Solomon, mantan sekutu diplomatik Taiwan, dan meningkatkan kehadiran militer di Asia dan Afrika.

Taiwan sendiri, tegas Joseph, berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan menjaga perdamaian dan status quo dalam hubungan dengan China, seiring dengan persiapan wilayah pulau tersebut melantik presiden barunya, William Lai, pada hari Senin (20/5).


Taiwan Selalu Membuka Pintu

Ilustrasi Taiwan (Dok. unsplash)

China mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya sendiri, yang akan direbut kembali dengan kekerasan jika perlu. Tidak hanya itu, China juga mempertahankan tekanan militer dan ekonomi terhadap pulau itu dengan mengirimkan kapal perang dan kapal militer ke dekatnya hampir setiap hari.

China dan Taiwan memiliki pemerintahan terpisah sejak Partai Nasionalis atau Kuomintang mundur ke Taiwan setelah kalah dalam perang saudara melawan Partai Komunis pada tahun 1949.

"Kami tidak memprovokasi pihak lain di Selat Taiwan dan kami tidak tunduk pada tekanan," tutur Joseph. "Tetapi pada saat yang sama, pendekatan kebijakan Taiwan adalah kami tetap membuka pintu untuk segala jenis kontak, dialog atau negosiasi antara kedua belah pihak dengan cara yang damai. Dan pintu itu akan tetap terbuka."

Dia menambahkan China sedang mencoba mengubah status quo dengan Taiwan melalui serangkaian tindakan, termasuk dengan meningkatkan tekanan militer, melakukan perang informasi dan memperkenalkan rute penerbangan baru di sepanjang garis tengah Selat Taiwan, sebuah zona demarkasi informal.

Joseph menggarisbawahi bahwa pakta keamanan seperti yang dilakukan antara Amerika Serikat (AS), Australia, dan Jepang, serta kemitraan AUKUS baru antara Australia, Inggris, dan AS berfungsi mencegah China menjadi lebih agresif di kawasan.


Optimistis Hubungan dengan AS Stabil

Pesawat jet tempur tipe F-16 buatan AS milik Angkatan Udara Taiwan melakukan pendaratan di jalan raya dalam rangkaian latihan militer "Han Kuang" di wilayah selatan Changhua, Selasa (27/5/2019). Latihan perang itu sebagai simulasi untuk mengantisipasi serangan China. (Military News Agency via AP)

Mengenai hubungan Taiwan dengan AS, Joseph mengatakan dia yakin Taipei akan terus memiliki hubungan sangat dekat dengan Washington tidak peduli siapa yang memenangkan Pilpres AS 2024.

Joseph, yang pernah menggambarkan pekerjaannya "menteri luar negeri yang paling sulit di dunia" akan meninggalkan jabatannya setelah enam tahun dan kembali ke jabatan sebelumnya sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional. Dia akan digantikan oleh ajudan presiden Lin Chia-lung.

Jelang turun dari jabatannya, Joseph mengatakan pekerjaan menteri luar negeri Taiwan masih memiliki banyak tantangan.

China melarang mitra diplomatiknya melakukan hubungan resmi dengan Taiwan. Selama masa jabatan Presiden Tsai Ing-wen, China "memburu" beberapa sekutu diplomatik Taiwan, sehingga jumlah yang tersisa turun menjadi 12 negara.

Meski demikian, Joseph berupaya meningkatkan hubungan tidak resmi dengan negara-negara Eropa dan Asia serta AS, yang tetap menjadi sekutu tidak resmi terkuat Taiwan dan terikat oleh hukum untuk menyediakan sarana bagi Taiwan untuk mempertahankan diri. Delegasi dari beberapa negara Eropa telah mengunjungi Taiwan dalam beberapa tahun terakhir dan Lituania membuka kantor perwakilan perdagangan – kedutaan de facto – di Taipei.

Joseph menyatakan negara-negara Eropa menjadi lebih bersimpati terhadap perjuangan Taiwan dan berhati-hati terhadap China karena serangkaian faktor termasuk tindakan China di Laut China Selatan, tindakan keras China terhadap hak asasi manusia di Hong Kong dan Xinjiang, dan cara China menangani pandemi virus COVID-19.

"Tidak seorang pun boleh … berpikir bahwa mereka kebal dari pengaruh otoriter," imbuh Joseph.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya