Liputan6.com, Jakarta - Kanada mengungkapkan bahwa negara itu akan menyusul langkah Amerika Serikat dalam menaikkan tarif impor mobil listrik dari China.
Mengutip laman CNB, Minggu (19/5/2024) Menteri Perindustrian Kanada, François-Philippe Champagne mengatakan Ottawa sedang mempertimbangkan tarif tersebut setelah AS mengumumkan akan menaikkan biaya impor terhadap kendaraan listrik China dan barang-barang terkait lainnya.
Advertisement
François-Philippe Champagne pun memberi sinyal Kanada menerapkan tarif serupa.
"Adil untuk mengatakan bahwa segala sesuatunya dipersiapkan untuk melindungi industri dan pekerja kami," kata Champagne dalam sebuah wawancara dengan Power & Politics dari CBC News Network.
"Kami bekerja selaras dengan Amerika Serikat," bebernya.
Seperti diketahui, Presiden Joe Biden mengumumkan awal pekan ini bahwa AS akan mengenakan tarif baru pada kendaraan listrik (EV), baterai canggih, sel surya, baja, aluminium, dan peralatan medis China
Tarif tersebut akan diterapkan secara bertahap selama tiga tahun ke depan; yang mulai berlaku pada tahun 2024 mencakup kendaraan listrik, sel surya, jarum suntik, jarum suntik, baja dan aluminium, dan banyak lagi.
Saat ini, hanya ada sedikit produk kendaraan listrik asal China di AS, namun para pejabat Amerika khawatir bahwa model-model dengan harga rendah yang dihasilkan oleh subsidi pemerintah China akan segera membanjiri pasar AS.
Dalam wawancara terpisah, Presiden Asosiasi Produsen Suku Cadang Otomotif Kanada, Flavio Volpe mengungkapkan dirinya setuju bila Kanada menerapkan pungutan perdagangan serupa.
"Sekarang Amerika telah memasang tembok tarif, kita tidak bisa membiarkan pintu samping terbuka di sini," ujar dia.
Brian Kingston, presiden Asosiasi Produsen Kendaraan Kanada, juga menggemakan argumen Volpe dalam sebuah postingan di X.
"Kanada tidak bisa keluar dari langkah AS dalam menghadapi China. Kita memerlukan kebijakan yang selaras yang memperkuat rantai pasokan otomotif Amerika Utara," tulisnya.
Ekonom: Tarif Impor Barang China Tak Pengaruhi Kebijakan Moneter AS
Ekonom memperkirakan bahwa pemberlakukan tarif impor baru oleh Amerika Serikat terhadap barang dari China, akan memiliki dampak jangka pendek yang minim terhadap PDB, inflasi dan kebijakan moneter negara itu.
"Tarif yang diumumkan terhadap China oleh pemerintahan Biden menandakan konflik ekonomi musim dingin yang panjang dan dingin antara AS dan China," kata ekonom Joe Brusuelas di RSM US, dikutip dari CNN Business, Rabu (15/5/2024).
Kemudian Ryan Sweet, kepala ekonom AS di Oxford Economics, mengatakan bahwa pemberlakukan tarif impor barang China oleh Biden kemungkinan tidak akan mempengaruhi kebijakan moneter.
"Tarif tambahan pada dasarnya adalah kesalahan pembulatan inflasi dan PDB, dan tidak berdampak pada kebijakan moneter," tulis Ryan Sweet dalam sebuah catatan, ketika laporan pertama kali mengindikasikan bahwa perubahan kebijakan tarif AS akan segera dilakukan.
"The Fed tidak akan membuat masalah besar, sehingga tarif tidak akan memberikan amunisi tambahan untuk membenarkan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama," jelasnya.
Sebagai informasi, tarif impor barang China oleh AS kali ini merupakan kelanjutan dari program mantan Presiden Donald Trump senilai USD 300 miliar pada tahun 2018 dan 2019, yang mengenakan tarif besar terhadap China dan berbagai mitra dagang lainnya dan masih berlaku.
Trump sendiri telah membuat janji-janji kampanye untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi lagi jika ia terpilih kembali menjadi Presiden AS, tidak hanya untuk China namun juga tarif 10% untuk semua impor, yang menurut para ekonom tidak hanya akan mengakibatkan hilangnya lapangan kerja secara signifikan di AS namun juga memicu inflasi.
Tarif terbaru, yang akan diberlakukan mulai sekarang hingga tahun 2026, dilakukan di tengah pasar kerja AS yang solid, pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan belanja konsumen yang kuat.
"(Dampak) tarif biasanya lebih masuk akal secara politis daripada ekonomi," kata Sweet.
Advertisement
Beban pada Konsumen
Ryan Sweet melihat, sebagian besar ekonom memandang tarif sebagai ide buruk karena menghambat suatu negara untuk memperoleh manfaat dari spesialisasi, mengganggu pergerakan barang dan jasa, dan menyebabkan misalokasi sumber daya.
"Konsumen dan produsen sering kali membayar harga lebih tinggi ketika tarif diterapkan," katanya.
Hal ini karena tarif mengenakan pajak pada impor ketika barang tiba di negara tersebut, sehingga menambah biaya bagi distributor, pengecer, dan, pada akhirnya, konsumen AS.