Liputan6.com, Jakarta Pada penyelenggaraan haji 2023, ada 774 jemaah asal Indonesia yang meninggal dunia. Jemaah haji yang meninggal dunia didominasi dari kelompok lanjut usia.
Guna menekan kasus kematian pada penyelenggaraan haji 2024, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Kementerian Agama (Kemenag) melakukan serangkaian upaya.
Advertisement
Pertama, jemaah yang diberangkatkan ke Tanah Suci harus sepenuhnya sehat dan diperiksa kesehatannya. Terlebih mereka yang mempunyai penyakit penyerta (komorbid) seperti hipertensi, diabetes, dan jantung, perlu dikontrol rutin kesehatannya.
Selain itu, Kemenkes RI juga menyiapkan Kartu Kesehatan Jemaah Haji (KKJH) yang menjadi kartu identitas atau tanda pengenal (name tag) yang dilengkapi dengan QR Code. QR Code tersebut terpampang di bagian belakang tanda pengenal jemaah haji. Hal ini digunakan untuk memantau kesehatan jemaah haji.
“Tahun ini, kami bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Arab Saudi dan Digital Transformation Office (DTO) Kemenkes, kami fasilitasi name tag jemaah haji itu di halaman belakang terdapat QR Code,” ungkap Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes RI Liliek Marhaendro Susilo.
Bila QR Code itu di-scan, bakal berisi informasi tentang riwayat ringkas kesehatan jemaah haji tersebut. Mulai dari nama, tanggal lahir, usia. Kemudian, riwayat sakit serta obat yang diminum. Lalu data tentang vaksinasi serta riwayat alergi, kata Liliek menjelaskan.Penggunaan QR Code ini merupakan bagian dari penyediaan ringkasan riwayat kesehatan jemaah haji atau yang dikenal dengan istilah International Patient Summary (IPS). IPS ini untuk memenuhi permintaan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Arab Saudi.
QR Code di Name Tag Jemaah Haji, Biar Cepat Ditangani kalau Sakit
Penggunaan QR Code ini merupakan bagian dari penyediaan ringkasan riwayat kesehatan jemaah haji atau yang dikenal dengan istilah International Patient Summary (IPS). IPS ini untuk memenuhi permintaan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Arab Saudi.
Kelengkapan riwayat kesehatan jemaah yang dapat langsung diakses melalui QR Code diharapkan dapat memberikan penanganan cepat dan tepat jika jemaah yang bersangkutan sakit.
“Dengan data itu, kami harapkan kalaupun ada jemaah sakit di rumah sakit Arab Saudi, QR Code di-scan sehingga nanti di sana bisa memberikan terapinya lebih tepat. Jadi, tidak menebak-nebak obat yang dikasih apa. Kalau boleh dibilang itu salah satu inovasi,” lanjut Liliek.
Dengan adanya informasi QR Code riwayat kesehatan, pasien juga dapat lekas selesai perawatannya. Tempat tidur di klinik atau fasilitas kesehatan pun bisa silih berganti dengan pasien lainnya.
“Alhamdulillah, karena kami sesuai dengan amanah undang-undang, yang mesti kami dampingi jemaah haji reguler khususnya. Maka, terhadap seluruh jemaah haji reguler, data summary kesehatan sudah ada semua dan dapat diakses oleh fasilitas kesehatan yang ada di Arab Saudi, untuk melihat jika ada yang sakit, nanti bisa lebih cepat pertolongannya di sana. Kalau ada summary seperti itu bisa cepat keluar, misalnya bisa lebih cepat seminggu keluar,” terang Liliek.
Advertisement
Pengetatan Kemampuan Jemaah Haji dari Aspek Kesehatan
Inovasi meminimalisasi jemaah haji meninggal selanjutnya adalah kriteria pengetatan istitha'ah kesehatan. Istitha'ah bermakna kemampuan jemaah haji dari aspek kesehatan, baik fisik maupun mental, yang terukur melalui pemeriksaan.
“Dulu kalau sakit jantung atau gagal ginjal stadium 5, tidak boleh berangkat. Sekarang, stadium 4 tidak boleh berangkat. Dulu, gula darah orang yang diabetes, kami pakai kriteria yang sangat longgar. Sekarang diketatkan, HbA1c atau cek gula darahnya mesti 8 persen, kalau lebih dari itu tidak boleh berangkat,” kata Liliek.
“Maka, poin nomor satu ini tentang kriteria diagnosis yang boleh berangkat.”
Upaya lain pemeriksaan kesehatan jemaah haji berupa penambahan asesmen. Liliek menegaskan, haji adalah ibadah fisik yang menuntut kesehatan fisik dan mental. Asesmen yang ditambahkan meliputi asesmen kognitif, asesmen mental, dan asesmen aktivitas, khususnya lansia untuk melihat seberapa besar kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas keseharian.
Pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024, proses penentuan istitha'ah atau tidak dilakukan secara komputerisasi. Sebelumnya, sistem dioperasionalkan oleh seluruh dinas kesehatan kabupaten/kota. Petugas kesehatan yang menyatakan jemaah “istitha'ah atau tidak” dalam bentuk hasil penilaian akhir.
Sistem secara komputerisasi yang diterapkan bukan menampilkan hasil penilaian akhir, melainkan penilaian dalam setiap tahapan pemeriksaan. Yakni, saat pertama kali jemaah datang ke puskesmas, menjalani anamnesis (wawancara dengan dokter), tes kognitif, tes mental, dan kemampuan aktivitas.
“Setiap tahapannya itu dimasukkan nilai. Misalnya, apakah dia bisa ke kamar mandi range nilai antara 1 sampai 5, hasilnya dia hanya range 2. Dengan proses itu, nanti aplikasi yang menentukan, menyimpulkan dia istitha'ah atau tidak,” Liliek menjelaskan.
“Lewat sistem ini, kami harapkan hasil pemeriksaan kesehatan benar-benar objektif. Dengan inovasi, yang paling utama adalah kami memang melakukan penyaringan untuk menentukan, jemaah layak terbang atau tidak, itu yang kita perketat.”
Implementasi Ramah Lansia
Demi mendukung kesehatan jemaah haji lansia, ada pula program implementasi ramah lansia. Program ini sudah dimulai pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023 dan kembali diterapkan secara matang di tahun 2024.
Dalam program ini, setiap petugas yang sudah dinyatakan lulus meskipun belum berangkat akan dilibatkan dalam kegiatan manasik haji. Pada manasik sebelum keberangkatan, terdapat kegiatan pengukuran kebugaran untuk jemaah haji. Selama manasik, kesehatan jemaah haji dimonitor untuk memastikan jemaah sudah benar-benar sehat secara fisik dan mental saat berangkat.
“Itu bentuk dari implementasi ramah lansia. Dengan kami libatkan para petugas, baik Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) maupun Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang bertugas di dalam kegiatan manasik, para petugas akan lebih dini kenal kepada jemaah yang akan berangkat,” ucap Liliek.
“Kenal lebih dini ini yang kita harapkan terjalin hubungan emosional secara pribadi.”
Liliek menuturkan, sebelumnya jemaah haji bersama petugas kesehatan pendamping bertemu di embarkasi sehingga terasa masih asing. Akibatnya, ketika di pesawat, jemaah menjadi agak sungkan. Padahal, sebagian besar jemaah adalah mereka yang belum pernah naik pesawat, jarang bepergian naik pesawat dan tidak selama waktunya perjalanan ke Jeddah, yang membutuhkan waktu 10 jam.
“Karena itu, seringkali timbul masalah-masalah kesehatan berkaitan dengan hal-hal yang sebenarnya merupakan siklus rutin. Misalnya, buang air kecil, bagaimana menggunakan toilet, mereka sungkan bertanya. Ini yang kita mesti edukasi kepada jemaah supaya selama di pesawat tetap makan dan minum,” tuturnya.
“Minumnya, jangan sampai kurang. Kalau ingin ke toilet tetap saja ke belakang. Nah, kalau kita sudah kenal lebih dulu, yang kami harapkan, jemaah tidak sungkan, tidak malu lagi bertanya dan kami minta tenaga kesehatan proaktif memberikan penjelasan. Bagaimana cara menggunakan fasilitas pesawat dan sebagainya.”
Advertisement
Pemantauan Kesehatan di Kloter
Pemantauan kesehatan jemaah juga dilakukan secara ketat di kloter, terutama bagi mereka yang masuk kategori risiko tinggi kesehatan. Kategori risiko tinggi kesehatan berdasarkan jamaah lansia dan punya komorbid; serta jamaah belum lansia tetapi punya riwayat penyakit.
“Kami kelompokkan, 30 orang teratas itu masuk kategori jemaah prioritas yang mesti di monitor kesehatannya secara rutin, minimal 2 hari sekali untuk ditensimeter. Kemudian, dilihat saturasi oksigen juga dilihat denyut jantungnya seperti apa,” kata Liliek.