Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memamerkan kinerja ekonomi Indonesia yang kuat, meski dilanda tantangan berat, salah satunya pandemi COVID-19.
Sri Mulyani menyoroti, kontraksi ekonomi yang dihadapi Indonesia selama pandemi COVID-19 lebih kecil dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara.
Advertisement
"Kebijakan fiskal yang responsif di masa pandemi berhasil menahan kontraksi ekonomi hanya sebesar 2,1% hal ini jauh lebih baik dibandingkan negara tetangga kita yang kontraksinya mencapai 9,5% di Filipina, 6,2% di Thailand dan 5,5% di Malaysia," papar Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-17, disiarkan pada Senin (20/5/2024).
"Kita patut bersyukur di tengah berbagai tantangan, ekonomi Indonesia terjaga dalam 5 tahun sebelum COVID. Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara G20 yang mampu tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan Global, kata Menkeu.
Bersama dengan China dan India, Sri Mulyani mencatat, pertumbuhan ekonomi nasional 2015-2019 mencapai 5%. Angka tersebut jauh diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya sebesar 3,4% dan juga lebih tinggi dibandingkan emerging economy anggota G20 yang tumbuh 4,9%.
"Kebijakan fiskal yang responsif di masa pandemi berhasil menahan kontraksi ekonomi hanya sebesar 2,1%. hal ini jauh lebih baik dibandingkan negara tetangga kita yang kontraksinya mencapai 9,5% di Filipina, 6,2% di Thailand dan 5,5% di Malaysia,," jelas dia.
Indonesia Kembali Tumbuh Positif
Setahun kemudian, Indonesia kembali tumbuh positif 3,7% dan DGP rill telah kembali ke level pre-pandemic level pada tahun 2019. Pengembalian ke pre pandemi merupakan yang tercepat dibandingkan negara ASEAN 5 yang sampai beberapa tahun belum berhasil kembali ke level pre-pandemi.
"Dalam dua tahun terakhir, kinerja pertumbuhan perekonomian Indonesia juga tetap kuat, selalu di atas 5% di tengah guncangan global," tambah Sri Mulyani.
Dibongkar Sri Mulyani, Pendapatan Negara Pernah Tekor Rp 270 Triliun
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap Indonesia pernah mencatatkan pendapatan negara yang jauh di bawah target. Hal ini disebabkan oleh pergerakan harga komoditas global.
Dia menerangkan, pada 2015-2016, pendapatan negara pernah jauh di bawah target yang ditetapkan. Ini disebabkan dari naik-turunnya harga komoditas; saat mengalami kenaikannya bisa memberikan tambahan pemasukan, tapi bisa juga membebani APBN ketika harga komoditas anjlok.
"Sebagai gambaran ekonomi Indonesia pernah diahadapkan pada kondisi yang sangat sulit pada tahun 2015 dan 2016," ujar Sri Mulyani dalam Penyampaian Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2025, di Jakarta, Senin (20/5/2024).
Pada masa itu, pendapatan negara jauh dari target. Bahkan selisihnya tercatat berada di Rp 276 triliun pada 2015 dan Rp 267 triliun di 2016. Kondisi tersebut artinya turut membebani kinerja keuangan negara.
"Realisasi pendapatan negara jauh dibawah target dengan gap Rp 276 triliun atau mencapai 2,5 persen PDB pada 2015, dan Rp 267 triliun atau 2,1 persen tahun 2016," urainya.
Advertisement
Tekanan Fiskal
Sebagai solusi untuk mengatasi tekanan fiskal dan mengembalikan stabilitas ekonomi makro, pemerintah melakukan pengendalian belanja pada masa itu. Terutama dikakukan pada 2016 yang mencapai Rp 231 triliun atau 1,9 persen dari PDB.
"Masa-masa sulit tersebut menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal sering dihadapkan pada faktor-faktor yang diluar kendali pemerintah dan harus melakukan perubahan dan manuver kebijakan dengan tetap menjaga keseimbangan," bebernya.