Liputan6.com, Jakarta Dunia tengah berduka menyusul kabar tewasnya Presiden Iran, Ebrahim Raisi dalam sebuah kecelakaan helikopter pada Senin (20/5/2024), waktu setempat.
Kabar tewasnya Presiden Iran Ebrahim Raisi tersebut terkonfirmasi setelah pencarian selama berjam-jam melalui wilayah pegunungan berkabut di barat laut negara itu, menurut laporan media pemerintah Iran.
Advertisement
Kondisi perekonomian hingga harga minyak menjadi perhatian menyusul kabar tewasnya Presiden Iran Ebrahim Raisi.
Mengutip Deutsche Welle, Senin (20/5/2024) Menteri Perminyakan Iran Javad Owji mengungkapkan pada Maret 2024 bahwa ekspor minyak negara telah menghasilkan lebih dari USD 35 miliar atau setara Rp. 559,4 triliun pada tahun 2023 lalu.
Menurut pemerintah di Teheran, Iran telah mengekspor lebih banyak minyak dibandingkan 6 tahun terakhir, meskipun ada sanksi besar-besaran yang diberlakukan oleh mantan presiden AS Donald Trump pada tahun 2018.
Namun, negara itu dihadapi dengan lonjakan inflasi tahun ini. Inflasi di Iran mencapai sekitar 40% pada bulan Februari 2024.
Djavad Salehi-Isfahani, seorang profesor ekonomi di Virginia Polytechnic Institute dan State University, mengatakan bahwa dolar AS telah menguat sekitar 15% terhadap real Iran dalam beberapa waktu terakhir, di tengah ekspektasi meningkatnya konflik dengan Israel.
"Devaluasi nilai tukar ini dengan cepat menghasilkan harga yang lebih tinggi, karena Iran mengimpor banyak jenis komoditas, dan banyak komoditas yang diproduksi di Iran juga memiliki komponen impor," kata Djavad.
Menurut Salehi-Isfahani, tingginya inflasi menjadi faktor turunnya standar hidup masyarakat kelas menengah di Iran dalam beberapa tahun terakhir, dan kini kembali merosot seperti yang terlihat 20 tahun lalu.
Sumber Ekonomi Iran
Menurut penyedia data Jerman Statista, kontributor terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) Iran pada tahun 2022 adalah sektor jasa sebesar 47%, diikuti oleh industri (40%), dan pertanian (12,5%).
Sebagian besar pendapatan sektor industri Iran berasal dari industri minyak, dengan lebih dari 90% minyak mentah dikirim ke Tiongkok.
Sanksi Barat berdampak kecil terhadap perdagangan minyak Iran dengan China, namun para pemimpin negara itu semakin khawatir bahwa instalasi minyak bisa menjadi sasaran serangan militer Israel.
Setelah guncangan awal pasca sanksi Donald Trump pada tahun 2018, Iran telah kembali ke 80% volume ekspornya sebelumnya.
Advertisement
Sanksi AS
Sebagian besar ahli mengaitkan hal ini dengan pelonggaran sanksi sejak Presiden AS Joe Biden menjabat.
"Perekonomian Iran memang tumbuh, sebagian karena peningkatan ekspor minyak... peningkatan PDB berjumlah sekitar 5% per tahun, yang tidak buruk dibandingkan dengan apa yang terjadi di kawasan ini secara keseluruhan setelah pandemi COVID-19," kata Salehi-Isfahani.
Dia menambahkan bahwa banyak sumber daya keuangan telah diinvestasikan untuk memperluas militer dan langkah-langkah stabilisasi rezim lainnya.