PLTU Tinggalkan Batu Bara Beralih ke Biomassa, Bikin Untung atau Buntung?

Penggantian batu bara dengan biomassa sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau cofiring dinilai memiliki beragam berdampak positif, baik untuk lingkungan dan perekonomian masyarakat.

oleh Septian Deny diperbarui 20 Mei 2024, 17:50 WIB
Penggantian batu bara dengan biomassa sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau cofiring dinilai memiliki beragam berdampak positif, baik untuk lingkungan dan perekonomian masyarakat. (Foto:Dok.Kementerian ESDM)

Liputan6.com, Jakarta Penggantian batu bara dengan biomassa sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau cofiring dinilai memiliki beragam berdampak positif, baik untuk lingkungan dan perekonomian masyarakat.

Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) IPB University Dr Meika Syahbana Rusli mengatakan, pemanfaatan biomassa sebagai substitusi batubara di PLTU dinilai berdampak positif pada pengurangan emisi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara, sehingga sejalan dengan upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Selain itu, pelaksanaan program cofiring biomassa dinilai cocok dilakukan di Indonesia dimana potensi lahan kering terhitung cukup besar.

"Lahan kering ini cocok ditanami untuk tanaman energi. Lahan kering ini masih banyak yang tidak produktif, yang hanya ditumbuhi alang-alang, rumput-rumputan atau pepohonan yang tidak termanfaatkan. Di Pulau Jawa, ada 1 juta hektar lahan kering yang potensial dimanfaatkan untuk tanaman energi," kata Meika, Senin (20/5/2024).

Meika mengungkapkan, selama ini pemanfaatan biomassa hanya bersumber dari limbah seperti dahan-dahan kering pepohonan yang tidak termanfaatkan ataupun dengan serbuk gergaji.

Program hutan energi dinilai dapat menjadi solusi yang tepat untuk mendorong pemanfaatan biomassa dalam rangka mengejar target pengurangan emisi lewat program cofiring PLTU.

Hutan Tanaman Energi

Salah satu program hutan tanaman energi sebelumnya telah digagas oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di beberapa wilayah seperti Cilacap Jawa Tengah, Tasikmalaya Jawa Barat dan Gunung Kidul Yogyakarta.

Meika menilai, program ini perlu diperbanyak dengan terus melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat setempat. Apalagi, implementasi hutan energi memiliki manfaat yang berkelanjutan dimana pohonnya dapat tetap tumbuh untuk jangka panjang sebab hanya dahan atau rantingnya yang akan digunakan.

"Jadi ini juga ramah lingkungan, sustainable bahan baku dari tanaman energi ini atau kayu yang besar dipanen kemudian ditanam lagi kayu disana. Artinya budidayanya berlanjut. Ini akan memelihara lingkungan juga menjadi teduh, tidak banyak lahan terbuka, tidak ada erosi," jelas Meika.

 


Pemanfaatan Lahan

PLN berhasil melakukan uji coba penggunaan 75 persen biomassa Woodchips (kepingan kayu) untuk bahan bakar pengganti batu bara (cofiring) di PLTU Bolok dengan kapasitas 2x16,5 Megawatt (MW) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Dok PLN)

Meika menambahkan, pemanfaatan lahan yang terbuka sebagai hutan tanaman energi dapat mengatasi permasalahan lahan kritis.

Selain itu, program ini juga berpotensi mendorong pertambahan nilai ekonomi untuk masyarakat. Pemanfaatan biomassa dari pohon yang ditanami oleh masyarakat dapat berdampak positif untuk perekonomian masyarakat.

"Jadi bisa juga menimbulkan sirkular ekonomi di masyarakat. Ada manfaat ekonomi langsung yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Ini benar-benar ekonomi kerakyatan," terang Meika.

Meika menjelaskan, ada beberapa jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan seperti Kaliandra, Gamal dan Lamtoro.

"Nanti, dahan-dahannya bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar biomassa sementara daunnya dapat digunakan untuk pakan ternak," pungkas Meika.

Implementasi program hutan energi dengan melibatkan masyarakat pun diharapkan dapat ikut mendorong terbentuknya organisasi kelompok tani di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran program.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya