Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung untuk segera mencabut aturan panen tebu dengan cara membakar karena kebijakan itu merugikan masyarakat dan negara secara langsung. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 yang memfasilitasi panen tebu melalui pembakaran telah memperlambat upaya Indonesia mencapai target FOLU Net Sink 2030.
"Praktik memanen tebu dengan membakar menimbulkan dampak yang sangat serius mulai dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, gangguan kesehatan masyarakat, serta menghambat komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin (20/5/2024).
Advertisement
Kegiatan panen dengan membakar yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan tebu di Lampung difasilitasi dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.
Dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 menginstruksikan bahwa pembakaran dibatasi 10 hektare dengan lama waktu pembakaran maksimal 20 menit. Di musim kemarau pembakaran hanya dapat dilakukan pagi hari, sedangkan saat musim hujan dapat dilakukan pagi dan malam hari.
Kemudian, regulasi tahun 2020 juga mengharuskan adanya persiapan pembakaran terkendali dengan memposisikan alat baku ukur mutu udara. Adapun Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 menambah kalimat setelah klausul pembatasan 10 hektare, maka pembakaran dapat dilakukan secara bersamaan.
Menguntungkan Perusahaan, Mengorbankan Lingkungan Hidup
Lalu, aturan pembakaran yang mempertimbangkan cuaca dihapus. Regulasi terbaru justru menambah klausul panen bakar tidak mempertimbangkan cuaca lagi karena cuaca tidak menentu akibat pemanasan global.Bahkan, alat baku ukur mutu udara yang semula ada dalam regulasi tahun 2020 juga dihapus dalam aturan tahun 2023 tersebut.
"Peraturan itu sudah menguntungkan perusahaan karena mereka memanen dengan biaya murah melalui praktik pembakaran. Lebih murah karena prosesnya lebih dan ringkas, tapi menimbulkan banyak kerugian," ucap Rasio.
"Kebijakan ini telah menguntungkan perusahaan secara finansial, dengan mengorbankan lingkungan hidup, masyarakat dan merugikan negara, serta bertentangan dengan Undang-undang," lanjutnya.
Menteri LHK Siti Nurbaya pernah menyurati Gubernur Lampung Arinal Djunaidi untuk mencabut aturan daerah tersebut, namun imbauan itu tidak pernah digubris. Untuk itu, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK bersama masyarakat, memutuskan untuk menempuh upaya hukum uji materiil ke Mahkamah Agung (MA).
Advertisement
Menyiapkan Langkah Hukum
Permohonan keberatan hak uji materiil telah dikabulkan oleh Majelis Hakim Agung dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1P/HUM/2024 yang menyatakan bahwa Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 bertentangan dengan tujuh peraturan yang lebih tinggi, di antaranya Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Lingkungan Hidup, hingga Peraturan Menteri Pertanian tentang pembukaan lahan perkebunan tanpa membakar.
"Kami sedang menghitung total kerugian lingkungan hidup untuk menyiapkan langkah hukum lebih lanjut," ungkap Rasio.
"Ada yang bilang kalau pembakaran bisa membuat tanaman tebu makin subur, iya memang benar karena akan cepat tumbuh lagi setelah panen. Tapi menurut penelitian para ahli yang kita temui, lama-kelamaan tanaman itu akan rontok dan kecil kemungkinan akan tumbuh lagi karena sudah mengalami pengrusakan dalam jangka waktu tertentu," sambungnya.
Saat ini, menurut Rasio, KLHK tengah membicarakan langkah lanjutan atas putusan MA tersebut. KLHK, kata dia, akan berusaha menuntaskan segala kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas panen tebu dengan cara dibakar di Lampung. "Instrumen penegakannya sedang dibicarakan, unsur pidana bisa saja diterapkan," katanya.
Ketertiban dan Kepastian Hukum
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Penanganan Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi KLHK Ardyanto Nugroho mengatakan pemantauan titik api yang dilakukan di Lampung memperlihatkan beberapa perkebunan tebu terindikasi kebakaran, di antaranya PT Sweet Indo Lampung (SIL) dan PT Indo Lampung Perkasa (ILP).
Pada 2021, perhitungan awal luas lahan yang dibakar di perusahaan SIL dan ILP mencapai 5.469 hektare. Sedangkan, luas lahan yang terbakar pada tahun 2023 mencapai 14.492 hektare.
"Total luas lahan yang dibakar dan seberapa besar kerugian lingkungan hidup sedang kami dalami bersama dengan tim dan ahli. Yang jelas, Putusan Mahkamah Agung atas uji materiil menunjukkan bahwa panen dengan cara bakar adalah ilegal," ujar Ardy.*
Ia menambahkan bahwa Permohonan Uji Materiil ini untuk ketertiban dan kepastian hukum serta lingkungan hidup yang baik dan sehat. "Selain itu, diharapkan dapat menyelamatkan lingkungan hidup serta menjamin hak kesehatan masyarakat, khususnya masyarakat Lampung, serta komitmen Indonesia untuk Perubahan Iklim," pungkas Ardy.
Advertisement