Liputan6.com, Jakarta Direktur eksekutif Asosiasi Tambang Batuan Indonesia (ATBI) Wisnu Salman memohon kepada pemerintah agar persoalan perizinan pertambangan di Indonesia dibuat seramping dan semudah mungkin serta tidak dipersulit. Hal tersebut diungkapkan Wisnu dalam dies natalis ke-69 Himpunan Mahasiswa Tambang Institut Teknologi Bandung (HMT ITB).
"Perizinan yang ramping dalam artian tidak melewati banyak pos atau pintu-pintu perizinan dan izin bisa ditempuh melalui pendaftaran digital. Sementara mudah bisa diartikan perizinan bisa ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama," ungkap Wisnu Salman yang juga merupakan CEO PT Geo Mining Berkah (PT GMB) dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (20/5/2024).
Advertisement
"Beri kesempatan kepada pelaku penambangan untuk mengurus perizinan secara bertahap. Jangan langsung meminta item perizinan secara keseluruhan secara mendadak karena diawal berat untuk ditempuh imbas mahalnya biaya perizinan secara keseluruhan," lanjut Wisnu yang juga alumni ITB.
Banyaknya penambang liar atau ilegal diberbagai kota tandas Salman diawali oleh sulitnya menempuh jalur birokrasi perizinan serta relatif tingginya biaya perizinan. Akibat dua faktor tersebut papar Salman sesungguhnya cukup banyak dana-dana perizinan pertambangan yang masuk ke kantong oknum pejabat.
Dalam catatan wisnu berdasarkan laporan dari Kemen-ESDSM dan KPK jumlah izin tambang ilegal terbesar terdapat di 10 provinsi seperti Kalimantan selatan 343, Jawa Barat 289, Kalimantan Timur 244, Jawa Timur 230 serta Bangka Belitung 211.
"Izin tambang ilegal lainnya terdapat di Sulawesi selatan 203, Kalimantan tengah 167, Sumatera Barat 123, Sulawesi Tengah 105 serta Sulawesi Tenggara 84," jelas Wisnu Salman.
Adapun harapan Wisnu Salman kepada seluruh HMT ITB disela-sela dies natalis yang ke-69 yang digelar di Ballroom Harris Hotel & Convention Ciumbuleuit Bandung, organisasi tersebut dapat menjad wadah dan lokomotif kemajuan bagi para anggotanya.
"Jika ada masalah yang terjadi dengan persoalan akademik anggotanya, organisasi ini dapat membantunya dan menjadi motor solusi bagi berbagai persoalan anggotanya," tutup Wisnu Salman.
Ramai Korupsi Tambang Timah, Pengamat: Penambangan Ilegal Batu Bara juga Banyak!
Sebelumnya, kasus dugaan tindak pidana korupsi pada tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 yang sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) RI saat ini menjadi bukti adanya praktik-praktik penambangan tidak berizin atau illegal mining yang marak terjadi di Indonesia.
Pendiri Deolipa Yumara Institut, Kajian Hukum & Psikologi, Deolipa Yumara mengungkapkan, pertambangan ilegal atau penambangan tanpa izin yang resmi sangat banyak ditemukan Indonesia. Utamanya di Kalimantan.
“Kondisi memprihatinkan ini belum menjadi perhatian serius pemerintah maupun pemangku kebijakan. Padahal, dampak akibat tambang ilegal menimbulkan kerugian yang besar ditinjau dari berbagai aspek, yang utamanya adalah kerusakan lingkungan ," kata Deolipa dalam keterangannya pada Senin (1/4/2024).
Deolipa pun menyoroti klaim Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang telah menetapkan sebanyak 1.215 tambang menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Surat Keputusan tentang WPR yang diberi izin per provinsi telah diteken oleh Menteri ESDM pada 21 April 2022 lalu. Disebutkan, WPR secara nasional yang telah ditetapkan sebanyak 1.215 WPR dengan total luas wilayah seluas 66.593,18 hektar.
Tercatat ada 19 provinsi yang memiliki Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan jumlah blok dan luas yang beragam, yaitu Banten (1 WPR) dengan luas 9,71 hektar; Bangka Belitung (123 WPR) 8.568,35 hektar; Yogyakarta (138 WPR) 5.600,05 hektar; Gorontalo (63 WPR) 5.502,42 hektar.
Kemudian Jambi (117 WPR) 7.030,46 hektar; Jawa Barat (73 WPR) 1.867,22 hektar; Jawa Timur (322 WPR) 6.937,78 hektar; Kalimantan Barat (199 WPR) 11.848 hektar; Kepulauan Riau (4 WPR) 127,04 hektar; Maluku (2 WPR) 95,21 hektar; Maluku Utara (22 WPR) 315,9 hektar;
Lalu Nusa Tenggara Barat (60 WPR) 1.469,84 hektar; Papua (25 WPR) 2.459,16 hektar; Papua Barat (1 WPR) 3.746,21; Riau (34 WPR) 9.216,96 hektar; Sulawesi Tengah (18 WPR) 1.407,58 hektar. Berikutnya, Sulawesi Utara (1 WPR) 30,86 hektar; Sulawesi barat (3 WPR) 24,91 hektar; dan Sulawesi Utara (9 WPR) 335,5 hektar.
Advertisement
Tambang Liar
Ia menyebut, ribuan hektar tambang yang telah ditetapkan Kementerian ESDM sebagai WPR sebagian besarnya hanya tambang pasir dan emas.
Di sisi lain, belum ada pemberian izin terhadap wilayah pertambangan rakyat khususnya terhadap tambang rakyat yang menambang batubara atau nikel.
“Jadi pemerintah khususnya kementerian ESDM tampaknya telah lalai, tidak memperhatikan atau terkesan menganaktirikan tambang rakyat di segmen penambangan batubara, dengan tidak adanya penerbitan izin WPR untuk khusus tambang batubara,” kata Deolipa.
Menurutnya, hal itu menimbulkan banyaknya tambang liar batubara sebagaimana yang terjadi di Kalimantan. Pertambangan ilegal ini dilakukan oleh beberapa kalangan rakyat “petani” yang diduga dibantu secara diam-diam oleh para pemodal besar.
"Di wilayah Kalimantan Timur sampai saat ini marak terjadi penambangan batubara tanpa izin, terutama tambang liar yang koridoran yang dilakukan oleh beberapa kelompok rakyat lokal,” kata Deolipa.
“Hal ini terjadi utamanya karena negara khususnya kementerian ESDM lalai mewadahi atau tidak memperhatikan hak hidup tambang rakyat di segmen batubara,” imbuhnya.