Liputan6.com, Gorontalo - Desa Ilomata, Kecamatan Bulango Ulu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo memang salah satu desa di Gorontalo yang wilayahnya terisolir. Jaraknya sekitar 19 kilometer dari Kota Gorontalo, Ibu Kota Provinsi Gorontalo.
Akses jalan yang kurang baik, membuat desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) ini sulit dialiri listrik negara.
Kondisi itu yang membuat Kementerian ESDM RI memberikan bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 15 Kwp pada tahun 2014. Saat diaktifkan, ada sekitar 75 Kepala Keluarga (KK) menikmati listrik dari tenaga matahari itu.
Setiap KK diberikan meteran dengan kapasitas 250 Watt dan pembayarannya sekitar Rp 20 ribu per-bulan. Ia bilang, saat dapat bantuan PLTS itu seperti “hujan di siang bolong”.
“PLTS itu membawa keterangan di Desa Ilomata yang sudah puluhan tahun mengalami kegelapan. Kami sangat bersyukur karena anak-anak kami saat itu sudah bisa belajar dengan cahaya yang cukup terang,” kata Mahmud Idris warga Desa Ilomata.
Baca Juga
Advertisement
Namun, kata Mahmud, PLTS itu hanya bertahan beberapa tahun saja karena sering mengalami kerusakan. Puncaknya, pada 2018 menjadi tahun akhir sumber energi ramah lingkungan itu beroperasi.
Saat itu juga, Perusahaan Listrik Negara (PLN) mulai masuk di Desa Ilomata, dan masyarakat ramai-ramai beralih dari energi bersih itu ke energi yang mayoritas sumbernya berasal dari bakar fosil itu.
Mahmud bercerita, PLTS yang berada di dusun III Desa Ilomata itu sudah tidak sama sekali berfungsi atau terbengkalai. Ada sekitar 30 penal surya yang digunakan di PLTS itu terlihat rapuh dan berkarat.
Peralatan pendukung lainnya pun mengalami hal serupa. Masyarakat sekitar juga sudah menggunakan listrik PLN.
“Semua masyarakat di Desa Ilomata sudah menggunakan PLN. Jika PLTS ini tidak rusak, mungkin masih ada yang menggunakan sumber listriknya,” jelas Mahmud Idris.
Sebenarnya, PLTS terbengkalai dan tidak digunakan lagi di Desa Ilomata adalah satu dari banyak cerita PLTS di Indonesia yang mengalami hal serupa. Padahal, potensi tenaga surya di Indonesia sangat besar, bahkan melimpah.
Data Kementerian ESDM (2022) menunjukan, Indonesia memiliki potensi teknis energi surya sebesar 3.294 gigawatt-peak (GWp), meningkat dari hanya 207 GWp pada perhitungan sebelumnya dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Bahkan, menurut hitungan Institute for Essential Services Reform (IERS) dan Global Environmental Institute (GEI) pada tahun 2021 menemukan, potensi teknis energi surya di Indonesia dapat mencapai sekitar 20.000 GWp tergantung pada asumsi kesesuaian lahan.
Meskipun potensi energinya sangat besar, realisasi kapasitas PLTS terpasang pada tahun 2022 baru sebesar 271,6 MW atau jauh di bawah rencana sebesar 893,3 MW, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), KESDM.
Angka itu masih sangat kecil dibandingkan dengan pemanfaatan energi surya di negara lain yang telah mencapai orde gigawatt.
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR mengatakan, capaian itu sangat disayangkan. Terlebih lagi, PLTS dapat menjadi kunci pencapaian target energi terbarukan dan juga penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) khususnya di sektor ketenagalistrikan.
“Potensi pasar PLTS cukup baik. Namun, regulasi dan kombinasi kerangka kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung membuat tenaga listrik dari sumber energi matahari ini belum dimaksimalkan,” kata Marlistya Citraningrum melalui pesan Whatsapp.
Padahal, kebijakan pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium terhadap pengembangan proyek pembangkit listrik berbahan bakar batubara baru dan target jangka panjang net-zero emission (NZE), dapat menciptakan peluang untuk memaksimal potensi EBT, terutama tenaga surya.
Akan tetapi, Kementerian ESDM mencatat capaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) hingga 2023 baru mencapai 13,09%, dan penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara masih mendominasi. Padahal kurang lebih dua tahun lagi, bauran EBT RI ditargetkan harus dapat mencapai 23% pada Tahun 2025 mendatang.
Simak juga video pilihan berikut:
Terjepit Regulasi
Pada Januari 2024 lalu, pemerintah membuat Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL) untuk kepentingan umum. Regulasi tersebut merupakan hasil revisi dari peraturan sebelumnya yakni Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
Dalam peraturan baru ini, skema net-metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PLN tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.
Net metering adalah sistem layanan yang diberikan PLN untuk pelanggannya yang memasang sistem PLTS di properti mereka. Artinya, meskipun Anda memasang sistem PLTS untuk kebutuhan rumah tangga, Anda tetap harus menggunakan jaringan listrik konvensional (PLN).
Selain itu, Permen ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) untuk lima tahun. Regulasi ini juga menetapkan periode pendaftaran setahun 2 kali dan kompensasi yang diberikan oleh negara pada PLN jika biaya pokok penyediaan tenaga listrik terdampak karena penetrasi PLTS atap.
Beyrra Triasdian, Program Manager Energi Terbarukan Trend Asia mengatakan, penambahan pasal yang mensyaratkan adanya kuota ini mengkhawatirkan jika pengusulan dilakukan secara subjektif berdasarkan kepentingan bisnis dari pemegang IUPTL yakni PLN. Ia bilang, alih-alih mendukung transisi energi terbarukan, Permen itu justru akan menghambat penambahan PLTS atap.
Dalam Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 itu memang menjelaskan, PLN diberikan porsi besar selaku pemegang IUPTL dalam mengusulkan kuota PLTS atap on grid. Prosedurnya, pemegang IUPTL mengusulkan kuota pengembangan PLTS atap kepada Dirjen Ketenagalistrikan dengan tembusan kepada Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi.
Disisi lain, kata Beyrra, kondisi kelistrikan Indonesia sedang mengalami pasokan berlebih karena pembangkit skala besar berbasis fosil.
"Artinya, usulan kuota PLTS atap dari Pemegang Izin IUPTL bisa sangat kecil bahkan mungkin tidak diusulkan kuotanya dengan dali oversupply. Terlebih lagi masih ada PLTU yang sudah terlanjur dibangun," ia menandaskan.
Advertisement