Pengamat Prediksi Kabinet Prabowo-Gibran Bakal Diisi 50 Persen Kader Parpol Pengusung

Qodari mengatakan, pembagian komisi menteri nantinya akan dipertimbangkan dari jumlah kursi kabinet dan hubungan kualitatif antara Prabowo dengan parpol pendukung.

oleh Farrel Bima Haryomukti diperbarui 22 Mei 2024, 10:00 WIB
Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari saat menghadiri acara diskusi publik yang digelar Indonesia Political Forum, pada Selasa 21 Mei 2024. (Liputan6.com/Farrel Bima Haryomukti)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari memprediksi kabinet pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bakal diisi oleh 50 persen lebih kader partai politik (parpol) pendukung.

Qodari menyebut, hal itu berdasarkan pertimbangan dari jumlah kursi kabinet dan hubungan kualitatif antara Prabowo dengan parpol pendukung.

"Ya tentu pertimbangannya pasti dari jumlah kursi di parlemen. Kemudian pertimbangan yang lebih kualitatif, ya katakanlah hubungan Pak Prabowo dengan parpol atau ketua umum (ketum) parpol," kata Qodari kepada wartawan di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (21/05/2024).

Qodari menambahkan bahwa akan ada kemungkinan pemberian komisi kepada parpol diluar Koalisi, seperti halnya NasDem dan PKB.

"Di luar (Koalisi) kan ada PKB dan NasDem, bisa jadi nanti tambah PKS. Artinya yang perlu diakomodasi kan banyak," ujar Qodari.

"Kalau pengalaman yang sudah-sudah ya hitungan kasar ya, mungkin paling tidak 50 persen lebih lah itu yang berasal dari kantong partai politik atau ketum partai politik," sambungnya Qodari.

Ia pun mengatakan tidak akan terjadi masalah jika parpol memilih kalangan profesional untuk mengisi posisi parlemen.

"Hemat saya seharusnya tidak jadi masalah sejauh yang dipilih partai politik adalah orang-orang yang memang profesional dalam bidangnya," jelasnya.


Gugatan Percepatan Pelantikan Prabowo-Gibran Bakal Ditolak MK

Sementara itu, Qodari turut penanggapi soal gugatan usulan percepatan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam uji materi atau judicial review atas pasal 416 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yang diajukan oleh Audrey Tangkudung bersama sejumlah masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Qodari menilai Undang-undang tersebut sudah cukup jelas. Pasal yang mengatur masa jabatan presiden sudah cukup jelas sehingga akan cukup sulit untuk diubah.

"MK itu menguji Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar, sementara bunyi Undang-Undang Dasarnya sudah cukup jelas. Saya rasa kemungkinan kecil gugatan ini dapat dimenangkan," ucap Qodari di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 21 Mei 2024.

Kemudian, ia menyebutkan bahwa adanya rentang waktu antara penetapan pemenang pemilihan presiden (pilpres) hingga pelantikan presiden, karena adanya aturan pemilu serentak yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ya itu tadi, karena MK membuat aturan pemilu serentak. Kalau nggak serentak pemilu dipisah dengan pilpres kan? Akibatnya pileg dulu baru kemudian tiga bulan kemudian baru pilpres. Akibatnya nggak terlalu jauh," kata Qodari.

Selain itu, faktor bulan Ramadhan juga menjadi pengaruh atas dimajukannya pilpres.

"Yang kedua karena situasi dan kondisi bulan April itu ada lebaran, ada Ramadhan. Ini kemudian diputuskan maju ke Bulan Februari karena faktor situasi dan kondisi," jelasnya.

 


Sarankan Ubah Amandemen

Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari (Istimewa)

Qodari lalu menyarankan untuk mengubah amandemen saja. Menurutnya akar dari permasalahan terletak disitu.

"Jadi saran saya bukan dibawa ke MK karena nggak mungkin akan berubah, tapi (ubah) amandemen konstitusi," kata Qodari.

Ia mengusulkan bahwa hasil pilpres ditetapkan sebagai simple majority. "Jangan hasil pilpres itu 50 persen plus satu, tapi cukup dengan simple majority, artinya sekali putaran saja," ujarnya.

"Kemudian antara pileg dan pilpres jangan digabung. Kasihan ideologi, program partai, program caleg itu tenggelam oleh pilpres," jelasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya