Liputan6.com, Jakarta - Perjalanan haji merupakan salah satu rukun Islam yang memerlukan komitmen dan persiapan matang, baik dari segi fisik, mental, maupun finansial.
Biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan ibadah haji tidaklah sedikit, mencakup berbagai aspek untuk biaya haji seperti biaya perjalanan, akomodasi, konsumsi, serta biaya administrasi.
Selain itu, biaya juga bisa meningkat seiring dengan pilihan fasilitas yang digunakan, seperti kelas penerbangan, jenis penginapan, dan layanan tambahan lainnya yang disediakan oleh penyelenggara haji.
Keperluan ini menjadikan persiapan finansial menjadi hal yang sangat penting bagi calon jamaah haji. Lalu bagaimana jika berhaji dengan duit haram? Apakah sah hajinya?
Sejumlah ulama mengatakan bahwa hajinya sah, sebagian ulama lain menyatakan tidak sah. Begini penjelasan lengkapnya.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Pendapat Imam Hanafi, Maliki dan Syafi’i
Dilansir dari NU Online, terhadap hal ini, ulama berbeda pendapat. Bagi madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, haji yang dibiayai dengan harta yang haram tetap sah meskipun ia berdosa atas kesalahannya memperoleh harta haram itu sebagaimana kutipan berikut ini.
(وَيَسْقُطُ فَرْضُ مَنْ حَجَّ بِمَالٍ حَرَامٍ) كَمَغْصُوبٍ وَإِنْ كَانَ عَاصِيًا كَمَا فِي الصَّلَاةِ فِي مَغْصُوبٍ أَوْ ثَوْبِ حَرِير
Artinya: (Gugurlah kewajiban orang yang berhaji dengan harta haram) seperti harta rampasan sekalipun ia bermaksiat. Sama halnya dengan sholat di tempat hasil rampasan atau mengenakan pakaian terbuat dari sutra (Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz 6, halaman 51).
Syekh Abu Zakariya Al-Anshari secara mengatakan bahwa jamaah yang membiayai hajinya dengan harta haram itu sama seperti orang yang bersembahyang dengan mengenakan pakaian hasil merampas atau sutra, pakaian yang diharamkan bagi pria.
Artinya ibadah haji dan sholat orang yang bersangkutan tetap sah. Dengan demikian gugurlah tuntutan wajib ibadah dari orang tersebut.
Advertisement
Berikut Ini Pendapat Hambali
Sementara madzhab Hanbali menyatakan bahwa ibadah haji yang dibiayai dengan harta yang haram tidak sah. Karenanya jamaah yang menunaikan ibadah haji dengan harta yang haram masih tetap berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji di tahun-tahun selanjutnya mengingat hajinya dengan harta haram itu tidak sah.
يستحب أن يحرص على مال حلال لينفقه في سفره فإن الله طيب لا يقبل إِلا طيباً ؛ وفي الخبر : (مَنْ حَجَّ بمال حَرَامٍ إذا لَبَّى قيل له لا لَبَّيْكَ ولا سَعْدَيْكَ وحَجُّكَ مَرْدُودٌ عَلَيْكَ). ومن حج بمال مغصوب أجزأه الحج وإن كان عاصياً بالغصب ، وقال أحمد : لا يجزئه اه م د على التحرير
Artinya: Seseorang dianjurkan untuk betul-betul mencari harta halal, agar ia dapat menggunakannya di masa perjalanannya. Karena sungguh Allah itu suci, tidak menerima kecuali yang suci. Di dalam hadits dikatakan, siapa berhaji dengan harta haram, kalau ia berkata “labbaik” maka dijawab malaikat, “La labbaik, wala sa’daik, hajimu tertolak”. Karenanya siapa yang berhaji dengan harta haram, maka hajinya memadai sekalipun ia bermaksiat karena merampas. Sementara Imam Ahmad berkata, hajinya tidak cukup (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996 M/1417 H, juz 3, halaman 181).
Kalangan Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengeluarkan argumentasi bahwa haji itu sendiri adalah kunjungan ke tempat-tempat istimewa dalam agama. Dan itu tidak dilarang. Yang dilarang agama adalah menggunakan harta yang haram itu seperti untuk keperluan haji. Jadi keduanya tidak berkaitan sama sekali.
Sama halnya dengan orang shalat di tanah rampasan (hasil kezaliman). Shalatnya sendiri itu tetap sah. Tetapi menempati tanah yang diharamkan itu yang dilarang oleh agama. Karenanya ibadah haji atau shalat tidak bisa disifatkan haram.
Meskipun gugur kewajiban ibadah itu, namun manasik haji tidak diterima dan tidak mendapatkan pahala dari Allah. Nasib manasik hajinya sama seperti orang sembahyang tetapi riya, atau berpuasa tetapi mengghibah.
Semuanya tidak diganjar pahala. Demikian argumentasi yang diajukan Ibnu Abidin dalam Haysiyah Raddul Mukhtar, Beirut, Darul Fikr, 2000 M/1421 H, Juz 2 halaman 456.
Sementara madzhab Hanbali sepakat dengan jumhur ulama perihal penerimaan dan pahala. Mereka yang menunaikan ibadah haji dengan harta haram tidak menerima pahala. Sedangkan terkait keabsahan, madzhab Hanbali menyatakan bahwa haji yang dibiayai dengan harta haram tidak sah.
Karenanya mereka harus mengulang hajinya pada tahun depan karena hajinya tahun ini tidak sah. Karena tidak bisa mencampurkan antara ibadah dengan hal-hal batil.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa haji maupun ibadah lainnya adalah perintah Allah yang harus dihormati dan tunaikan. Artinya, pelaksanaannya pun harus dipersiapkan dan dijalankan dengan penuh takzim.
Jangan sampai tercampur harta haram dalam pembiayaan haji. Karena Allah itu suci, tidak akan menerima apapun selain yang suci.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul