Menggugat Jakarta City of Literature, Saat Status Kota Sastra Dunia Dipertanyakan

UNESCO pada 8 November 2021 menobatkan Jakarta sebagai City of Literature, tapi industri sastra di Jakarta 'gitu-gitu aja'.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 24 Mei 2024, 13:07 WIB
Diskusi publik 'Jakarta City of Literarute: Sekadar Status atau Serius Dihidupi?' digelar Dewan Kesenian Jakarta di TIM, Kamis malam (24/5/2024). (Liputan6.com/ Ist)

Liputan6.com, Jakarta - UNESCO pada 8 November 2021 menobatkan Jakarta sebagai City of Literature atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Kota Sastra Dunia. Pemilihan itu dilakukan bersamaan dengan dua kota lainnya, yaitu Vinius di Lithuania dan Gothenburg di Swedia.

Jakarta sendiri merupakan salah satu dari 49 kota di dunia yang tergabung dalam jaringan kreatif dunia atau UNESCO Creative City Network (UCCN) tahun 2021. Adapun 7 kategori sebagai kota kreatif versi UNESCO Creative City Network antara lain kerajinan dan kesenian rakyat, kesenian media, musik, film, desain, gastronomi, dan sastra.

Yang menarik, Jakarta menjadi satu-satunya kota di Asia Tenggara yang terpilih menjadi Kota Sastra Dunia, mengalahkan negara tetangga Malaysia, Brunei, dan Singapura, yang sedikit banyak juga punya tradisi sastra. Lalu dalam perkembangannya, banyak kalangan yang menganggap pemilihan Jakarta sebagai City of Literature oleh UNESCO sebagai suatu yang 'mubazir', karena tak ada banyak yang berubah dalam tradisi dan industri sastra di Jakarta, apalagi di Indonesia. 

Permasalahan itulah yang diangkat dalam diskusi publik yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada Kamis malam (23/5/2024). Mengusung tema besar "Jakarta City of Literature: Sekadar Status atau Serius Dihidupi?", diskusi digelar di Teater Wahyu Sihombing Taman Ismail Marzuki (TIM), dengan menghadirkan narasumber Laura Prinsloo Bangun yang merupakan Focal Point Jakarta City of Literature dan Alex Sihar perwakilan dari Kemendikbud RI, dengan dipandu Fadjriah Nurdiarsih, mantan editor Liputan6.com yang kini menjadi anggota Komite Sastra DKJ. Diskusi sebenarnya juga mengundang perwakilan dari Kemenparekraf, namun tidak hadir. 

Dalam paparannya Laura menjelaskan awal mula mengapa Jakarta dipilih menjadi City of Literature dan bagaimana prosedurnya. Pemilihan yang bersifat tetap ini tujuannya agar Jakarta terus berjejaring dengan 49 kota lainnya di dunia yang tergabung dalam UCCN. Menurut Laura, banyak manfaat yang diterima Kota Jakarta saat dipilih menjadi Kota Sastra Dunia, mulai akses ke pameran buku dunia hingga penerbitan buku, yang tentunya bermuara pada perkembangan industri sastra di Jakarta. Salah satunya adalah kongres penerbit terbesar di dunia yang pernah digelar di Jakarta.

"Jika kita bisa menjadi tuan rumah kongres penerbit terbesar di dunia, kita membawa ratusan penerbit dari seluruh dunia ke kota kita, dan kita perkenalkan langsung karya-karya anak bangsa. Banyak sekali benefit yang bisa kita ambil dari jejaring," kata Laura. 

Sementara itu, dalam paparannya, Alex Sihar mempertanyakan soal apakah penetapan Kota Sastra Dunia masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Hal itu menjadi penting, mengingat saat membicarakan Jakarta sebagai kota sastra, maka yang menjadi stakeholder-nya adalah warga Jakarta.

"Yang jadi stakeholder bukan penerbit bukan sastrawan, tapi warga Jakarta. Maka saya ingin stakeholder diperluas," katanya.

Alex juga menyinggung soal ratusan RPTRA di Jakarta dan ribuan sekolah yang bisa dilibatkan dalam program-program yang menyangkut Jakarta City of Literature. Yang menjadi PR bersama, kata Alex, adalah bagaimana semua pihak mengadvokasi adanya kata budaya atau penerbitan di RPJM, sehingga pendanaannya dan program-program yang dijalankan bisa akurat dan terukur, sehingga akan ada target-target yang harus dicapai dalam penobatan Jakarta sebagai Kota Sastra Dunia.

 

 


Sesi Tanya Jawab

Sementara itu dalam sesi tanya jawab, seorang audiens, Tatan Daniel dari Save TIM, menggugat mengapa Jakarta yang dipilih sebagai Kota Sastra Dunia oleh pemerintah, jika hasilnya hanya mubazir.

"Kenapa enggak Padang Panjang, atau Banda Aceh, banyak kota yang lebih pantas," katanya.

Dirinya juga mempertanyakan pengelola Graha Bhakti Budaya TIM yang mematok harga sewa yang tinggi bagi para pelaku sastra yang ingin menggelar acara di GBB. Dibutuhkan juga tim preasure, yang bekerja mengkritisi dan memberikan arah pada stakeholder sehingga ada goals yang bisa dicapai. 

"Di Jakarta ada 40 komunitas sastra, bisa enggak mereka bikin pentas di GBB tanpa dipungut Rp150 juta untuk sewa per malam," katanya.

Laura dalam tanggapannya kemudian mengutarakan, jika industri buku mati industri sastra mati paling tidak ada status ini (City of Literature) yang menjadi pegangannya. Status Kota Sastra Dunia harus menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya pemda, tapi juga semua stakeholder untuk bersama-sama peduli, sehingga Jakarta City of Literature bukan hanya sekadar status, tapi juga bisa menghidupi industrinya dan menjadi contoh untuk kota-kota lainnya di Indonesia. 

Sementara Alex berharap semua stakeholder fokus agar perihal kebudayaan, termasuk sastra dan penerbitan masuk ke dalam RPJM, sehingga ada dasar hukum dalam semua programnya, termasuk soal pendanaan. 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya