, Bangkok - Kematian aktivis pro-demokrasi Thailand Netiporn Sanesangkhom di penjara kembali mencuatkan kekhawatiran soal praktik kriminalisasi sebagai instrumen untuk menghilangkan suara oposisi, atau kritik terhadap monarki.
Menurut catatan Departemen Kehakiman Thailand, Netiporn "Bung" Sanesangkhom meninggal dunia pada Selasa (21/5/2024) pagi, akibat serangan jantung.
Advertisement
Aktivis perempuan berusia 28 tahun itu tewas dalam tahanan praperadilan, tidak lama usai melakukan aksi mogok makan menuntut reformasi monarki. Oleh pengadilan, dia dipidana telah "menghina" keluarga kerajaan Thailand.
Bung sedang menunggu kelanjutan dua kasus serupa, antara lain karena melakukan survei terbuka di ruang publik pada 2022 tentang pendapat masyarakat mengenai monarki Thailand, menurut lembaga bantuan hukum, Thai Lawyers for Human Rights, TLHR.
Latar Belakang Kematian
Bung sejak lama menentang tema tabu di negaranya, yakni pasal penghinaan kerajaan, yang bisa dikenai ancaman penjara selama maksimal 15 tahun.
Dia dipenjara sejak 26 Januari, awalnya selama satu bulan karena dituduh menghina lembaga peradilan gara-gara berkelahi dengan seorang penjaga pengadilan pada tahun 2023, lapor TLHR.
Masa tahanannya diperpanjang setelah pengadilan membatalkan jaminan uang dari kasus lain, yakni dugaan penghinaan kerajaan dalam aksi protes pada tahun 2022.
Dia memulai aksi mogok makan pada tanggal 27 Januari, sembari menuntut agar tidak seorang pun boleh dipenjara karena mengkritik kerajaan Thailand, dikutip dari DW Indonesia, Sabtu (25/5/2024).
Bung mendapat asupan air pada akhir Februari dan setelahnya menerima makanan pada bulan April setelah dikirim ke rumah sakit penjara karena kesehatan yang memburuk, menurut TLHR.
Departemen Kehakiman menulis, jantung Netiporn "berhenti mendadak," sebelum dikirim ke rumah sakit Universitas Thammasat, di mana dia dinyatakan meninggal dunia.
Korban Pasal Penghinaan
"Kematian Bung adalah bukti lain bahwa pasal penghinaan kerajaan masih sangat digunakan di masa pemerintahan Partai Pheu Thai," kata Akarachai Chaimaneekarakate dari TLHR, merujuk pada partai pemerintah yang dikuasi dinasti Shinawatra.
Organisasi HAM, Human Rights Watch, juga menerbitkan peringatan betapa "pemerintahan Thailand menggunakan prosedur penahanan praperadilan untuk menghukum warga yang mengritik kerajaan," dan sebabnya merupakan pelanggaran berat atas hak dasar.
Perdana Menteri Srettha Thavisin mengatakan, kematian Bung merupakan insiden yang menyedihkan dan berjanji akan memerintahkan penyelidikan terhadap kondisi kematiannya.
Advertisement
Aktivis dalam Bahaya
Ancaman serupa dihadapi aktivis politik lain di Thailand. Februari silam, polisi menahan dua aktivis, Tantawan Tuatulanon and Nattanon Chaimahabutr, dengan tuduhan dugaan makar. Keduanya dilaporkan berusaha mengganggu jalannya iring-iringan kendaraan keluarga kerajaan.
Insiden tersebut kembali memanaskan perdebatan publik soal kekuasaan monarki, yang memicu bentrokan fisik antara kelompok loyalis kerajaan dan kaum reformis yang menyebabkan belasan orang terluka.
Mookdapa Yangyuenpradorn, seorang aktivis hak sipil di Fortify Rights, sebuah organisasi Hak Asasi Manusia Thailand, mengatakan para aktivis tidak melihat cara lain untuk menyita perhatian publik untuk perjuangan mereka.
"Kami melihat hal ini semakin sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Aksi mogok makan, adalah salah satu metode yang mereka gunakan untuk mengungkapkan betapa tidak adilnya sistem peradilan," katanya kepada DW.
Perlindungan Bagi Aktivis?
Saat ini terdapat 43 tahanan politik di penjara Thailand, sebanyak 25 di antaranya menghadapi dakwaan penghinaan kerajaan. Menurut THLR, terdapat 27 aktivis yang menjalani penahanan praperadilan.
Chonthicha "Lookkate" Jangrew, seorang aktivis dan anggota partai oposisi Move Forward Party, mengaku dirinya kini mengkhawatirkan nasib para tahanan politik yang lain.
"Salah satu kekhawatiran saya adalah tragedi ini mungkin berdampak pada kesehatan mental para aktivis lain," katanya kepada DW.
"Masih ada 43 tahanan politik yang beberapa di antaranya memiliki masalah kesehatan. Kita juga harus memantau secara saksama apakah mereka dapat mengakses layanan kesehatan yang baik atau tidak," tambah Lookkate.
"Apa yang terjadi pada Bung bukanlah tindakan menyakiti diri sendiri. Dia melakukan mogok makan untuk memprotes ketidakadilan dan menuntut haknya untuk bebas dengan uang jaminan. Selain itu, salah satu hal terpenting adalah reformasi penjara. Perawatan medis di penjara harus diperiksa setelah kematian Bung."
Lookkate berharap parlemen Thailand akan segera mengesahkan undang-undang yang akan memberikan amnesti bagi narapidana yang dipenjara karena mengikuti aksi demonstrasi sejak tahun 2006.
RUU Amnesti Rakyat didukung oleh koalisi kelompok masyarakat sipil, aktivis dan Partai Move Forward.
"Kami berusaha untuk mendorong rancangan undang-undang amnesti di parlemen bagi semua orang yang telah diadili dan saat ini berada di penjara, dan kami sedang berupaya melakukan amandemen undang-undang yang akan mereformasi hak atas uang jaminan bagi penangguhan penahanan buat semua orang."
Advertisement