Sepenggal Cerita Konservasi Satwa dan Hutan: Berkawan Masyarakat Adat, Berhadapan Perusak Lingkungan

Perjuangan konservasi satwa liar dan hutan memang jalan terjal, mengandung ancaman tapi juga menemui perlindungan dari masyarakat adat.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 26 Mei 2024, 07:00 WIB
Mandau dan perisai menjadi pemandangan dan perlengkapan harian suku Dayak ketika menempuh perjalanan. (foto: Liputan6.com / FB / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Bandung - Perjuangan konservasi satwa liar dan hutan dinilai harus selaras dengan masyarakat adat. Jika perjuangan tersebut malah memantik konflik dengan masyarakat adat yang juga mendiami hutan, maka ada sesuatu yang perlu dikoreksi kembali dari perjuangan konservasi tersebut.

Pandangan itu merupakan buah pengalaman yang disampaikan oleh Aurelien Brulee atau biasa disapa Chanee Kalaweit, pendiri Yayasan Kalaweit yang didedikasikan antara lain untuk melindungi hewan yang diusir dari habitat aslinya.

"Kalau kita punya konflik dengan masyarakat adat berarti ada sesuatu yang salah," tegas Chanee saat menjadi pembicara dalam acara Grand Opening Wildlife Journalism Competition Warta & Satwa, di Bale Sawala, Unpad Jatinangor (22/5/2024).

Menurut aktivis kelahiran Fayence, Prancis, yang telah tinggal di Kalimantan sejak tahun 1990-an itu masyarakat adat bukanlah pihak yang harus dijadikan musuh, justru adalah mitra dukungan dalam langkah perjuangan konservasi.

Selama lebih dari 20 tahun upaya Chanee dalam melindungi owa, pelajaran penting yang ia petik adalah memulai langkahnya dengan belajar dari masyarakat adat. Chanee mengaku, sebelum tinggal di Indonesia, ia mulai mengakrabi kehidupan owa dari kandang kebun binatang.

"Dari umur 12 tahun saya sudah mengurus owa di kebun binatang di Perancis. Selama 5 tahun, kalau saya tidak sekolah, saya duduk di kandang owa untuk mengamatinya. Mereka selalu sendiri di kandang. Dari mata saya sebagai anak kecil waktu itu, mereka terlihat lebih sedih lagi dan saya ingin memahami masalahnya," cerita Chanee.

Secara otodidak, kepedulian akan satwa dan hutan mulai tumbuh diimbuhi dengan konsep akan konservasi yang lebih luas lagi. Namun, kata dia, konsep-konsep tentang konservasi yang ia bayangkan semula nyatanya tak sesuai dengan medan realitas yang lebih kompleks.

Ia kemudian terlebih dahulu mengenyampingkan segala konsep dan mulai belajar ulang dari tapak masyarakat adat yang ia temui.

"Di awal saya banyak gagal karena ternyata terlebih dahulu saya harus memperlajari situasi kondisi masyarakat setempat, masyarakat adat Dayak. Merekalah yang kemudian banyak memberi ilmu untuk saya, karena merekalah yang berhubungan langsung dengan alam, dengan hutan," jelas Chanee.

Tidak hanya mitra dukungan, pada gulirannya, masyarakat adat pun menjadi pelindung bagi Chanee dan keluarganya. Pasalnya, selain kawan, pada titik tertentu upaya konservasi kerap berhadapan dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Ancaman dan Perlindungan

"Kalau Anda kerja di dunia konservasi dan Anda berteman dengan semua orang, tidak punya musuh sama sekali, mungkin itu berarti Anda tidak melakukan banyak hal. Tidak mungkin kita itu berteman dengan semua pihak," kata Chanee.

Upaya penyelamatan hewan liar dan pelestarian hutan bisa berarti ganjalan bagi pihak-pihak tertentu, semisal mereka yang terlibat dalam jaringan perdagangan satwa liar atau illegal logging.

"Ada yang berjuang untuk menyelamatkan itu kenapa? Karena ada pihak yang mau merusak. Jadi, otomatis ada satu titik di mana akan ada orang yang kurang menyukai kita, tapi kita berjuang bukan untuk disukai orang, kita berjuang untuk menyelematkan satwa dan habitatnya, dan lain sebagainya," ujar Chanee.

Ancaman itu dialami oleh Chanee dan turut berimbas pada keluarganya. Ia berbagi cerita, rumah kapal yang jadi hunian keluarga Chanee suatu ketika pernah ditenggelamkan pihak-pihak tak dikenal.

"Saya membangun rumah saya di sebuah kapal. Jadi, satu kapal yang biasa dipakai untuk angkut minyak, kami ubah jadi rumah. Saya bisa ke hutan mengikuti aliran sungai, juga bisa ke kota untuk anak saya sekolah. Satu hari, pulang dari kantor, saya ke sungai dan rumah saya sudah ditenggelamkan. Itu di Palangkaraya," katanya.

Diduga, kejadian yang dialami Chanee berkelindan dengan aktivitasnya saat itu yang tengah melawan perusakan hutan. "Waktu itu kami tengah berjuang untuk melindungi sebuah hutan di mana ada penebang liar," jelasnya.

Chanee mengakui, ancaman-ancaman demikian jadi risiko yang sama sekali tak mudah. Apalagi, ketika ia telah berkeluarga. Keselamtan anggota keluarga dirasa turut dipertaruhkan.

"Itu risiko dan itu berat sekali apalagi saya sudah berkeluarga. Beda ketika saya datang ke Indonesia masih sendiri, gampang. Kita berjuang sendiri, kita hadapi, hajar tidak masalah. Sesudah kita punya keluarga kan beda sekali. Tantangan banyak, serangan fisik pun pernah terjadi," akunya.

Dari pengalaman yang ia ceritakan itu, bagi Chanee, bukan hendak menebar ketakutan atau meromantisasi kerja konservasi. Ia pun tak mau jika upaya konservasi hanya sekadar dipandang sebagai jalan horor yang penuh ancaman. Melainkan, lebih menitikberatkan akan kewaspadaan dalam pemetaan risiko.

Di samping itu, dalam perjalannya Channe pun mengakui bahwa banyak pihak yang turut melindunginya. Terutama, datang dari uluran masyarakat adat.

"Jauh lebih banyak pengalaman yang sangat berarti dimana saya didukung, dilindungi, oleh masyarakat Dayak di sana, itu yang berkesan untuk saya. Tentu ada pihak yang tidak suka seperti yang saya bilang tadi. Mereka akan coba macam-macam, tetapi semenjak saya tinggal di Kalimantan, di hutan sudah 7 tahun saya merasa aman karena merasa dilindungi oleh masyarakat di sana," katanya.

"Dalam usaha konservasi apapun, masyarakat adat akan sesalu menjadi mitra dukungan kita. Itu yang sangat penting.Ini contoh yang saya sarankan kepada anak saya yang ingin terlibat dalam dunia konservasi," tegas Chanee.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya