Membongkar Komponen Biaya Logistik di Indonesia, Transportasi Mendominasi?

Dalam biaya logistik, biaya transportasi itu hanya mengambil porsi yang relatif kecil dibanding dengan komponen biaya inventory, biaya packaging, perizinan, bunga bank, pajak, jaminan risiko, hingga demurrage akibat keterlambatan dipelabuhan.

oleh Septian Deny diperbarui 26 Mei 2024, 17:30 WIB
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta Menyikapi pernyataan distribusi produk dan harga produk industri yang meningkat karena biaya transportasi, Pengamat Transportasi Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyatakan biaya transportasi hanya salah satu bagian dari biaya logistik.

"Karena dalam biaya logistik, biaya transportasi itu hanya mengambil porsi yang relatif kecil dibanding dengan komponen biaya inventory, biaya packaging, perizinan, bunga bank, pajak, jaminan risiko, hingga demurrage akibat keterlambatan dipelabuhan. Biaya-biaya tersebut jauh lebih besar dibandingkan biaya transportasi logitik, sehingga tidak bisa dikatakan biaya logistik adalah hanya diakibatkan oleh biaya transport," kata Bambang dikutip Minggu (26/5/2024).

Dan, ia juga menjelaskan bahwa biaya transportasi pun tidak bisa dipukul rata, masih terbagi lagi dengan moda transportasi yang digunakan darat, laut, kereta api, dan pesawat terbang.

Sebagai contoh perbandingan transportasi antara darat dan laut dalam biaya transport maka transportasi laut jauh lebih murah. "Karena biayanya hanya 27 persen dari total biaya transportasi logistik, dimana 73 persen itu transportasi darat baik sisi Hinterland maupun Foreland," paparnya.

Bambang mencontohkan, ongkos transportasi laut dari Jakarta ke Singapura, USD 427 (setara Rp 6,9 juta) per kontainer ukuran 40 feet. Jarak tempuhnya 1.300 kilometer. Artinya, hanya Rp 4.800 per kilometer.

Dibandingkan, harga transportasi darat dari Jakarta ke Karawang yang jaraknya hanya 76 km, harganya antara Rp 2 juta-Rp3 juta atau hingga Rp 40 ribu per kilometer. Jadi per kilometernya transportasi darat harganya hampir 10 kali lipat dari transportasi laut.

"Perhitungan biaya di transportasi laut masih dipengaruhi oleh membengkaknya biaya akibat barang yang belum bisa keluar dari pelabuhan karena perizinan belum selesai. Dan ini harusnya bukan menjadi bagian dari perjalanan transportasi laut. Bahkan banyak juga barang barang mereka harus berada di pelabuhan dalam jangka waktu yang lama. Ini sudah pasti menjadi biaya tambahan yang tidak kecil di logistik, apalagi bila barang tersebut menjadi rusak akibat penyimpanan yang terlalu lama," paparnya lagi.

 


Penegaan Hukum

Ketua Dewan Pembina DPP Gapasdap Bambang Haryo Soekartono

BHS menyatakan paham bahwa pihak Bea Cukai yang mempunyai fungsi sebagai penegaan hukum yang menahan kontainer tidak berizin ini memiliki alasan yang kuat.

Hal ini dikarenakan memang telah menjalankan tugasnya sesuai dengan turunan aturan dan dasar undang undangnya yang dikeluarkan kementerian perdagangan dan kementerian perindustrian, Bahkan ia menyatakan apresiasinya akan kepatuhan Bea Cukai dalam menegakkan aturan tersebut.

"Karena ada beberapa pengirim yang terkadang belum selesai perizinannya dengan Kemendag maupun Kementeri rupanya sudah diberangkatkan barangnya. Dengan harapan bisa diselesaikan saat di pelabuhan. Padahal tidak bisa seperti itu. Seharusnya semua surat ijin sudah beres dulu, baru barang diberangkatkan," kata politisi Gerindra ini.

 


Perbaikan Tata Kelola Perizinan

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Namun ia juga berharap pemerintah tetap melakukan perbaikan tata kelola perizinan, dimana saat ini sistem in-linenya kurang sempurna, antara Kemenperin, Kemendag, dan Bea Cukai.

"Seharusnya ada sinkronisasi dari stakeholder tersebut hingga pengirim agar tidak mengirim barang tanpa ijin, sehingga bisa memangkas waktu tunggu di pelabuhan dan juga menghindari penumpukan kontainer. Karena jika terjadi penumpukan, maka akan menghambat logistik yang sudah lengkap perizinannya untuk masuk ke pelabuhan. Pada akhirnya pemilik logistik lainnya dan pelindo sebagai pelabuhan yang dirugikan," ujarnya.

BHS menegaskan untuk mengurangi cost dari logistik dan mempercepat keluarnya logistik dari pelabuhan, yang ada istilahnya dwelling time harus dilakukan beberapa langkah perbaikan.

"Di mulai dari sistem perizinan masuk yang in-line, dengan kepatuhan para pengusaha pengirim pada aturan yang berlaku, juga pelabuhan yang dekat dan terintregasi dengan area industri dan perdagangan, serta konektivitas yang baik antara infrastruktur laut dengan infrastruktur darat guna mendukung kelancaran dan percepatan perjalanan transportasi logisik tersebut sampai ke tujuan." pungkasnya.

Infografis Poin Penting Revisi Aturan Kebijakan Impor. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya