Ada Unjuk Rasa Tolak Revisi UU Penyiaran di Gedung DPR/MPR, Polisi Kerahkan Ratusan Personel

Organisasi profesi wartawan, pekerja kreatif, dan pers mahasiswa akan mengelar aksi demonstrasi damai di Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat pada Senin (27/5/2024). Hal ini membuat polisi langsung mengerahkan para personelnya.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 27 Mei 2024, 10:15 WIB
Pemandangan Gedung Nusantara atau Gedung Kura-Kura di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/5/2022). DPR RI menganggarkan Rp 4,5 miliar untuk pengecatan, waterproofing, dan sejumlah komponen terkait dome Gedung Kura-Kura. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Organisasi profesi wartawan, pekerja kreatif, dan pers mahasiswa akan mengelar aksi demonstrasi damai di Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat pada Senin (27/5/2024) untuk menolak rencana parlemen melakukan revisi UU Penyiaran. Hal ini membuat polisi langsung mengerahkan para personelnya.

Kasi Humas Polres Metro Jakarta Pusat, Ipda Ruslan Basuki menerangkan, 296 personel dikerahkan untuk mengawal jalannya aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR.

"Kekuatan pengamanan di DPR/MPR 296 personil," kata Ruslan kepada wartawan, Senin (27/5/2024).

Ruslan mengatakan, kepolisian juga menyiapkan skenario pengalihan arus lalu lintas di sekitar lokasi. Namun sifatnya situasional tergantung jumlah massa yang hadir. Sejauh ini, dilaporkan ada 200 orang.

"Melihat skala jumlah pendemo di lapangan," ujar dia.

Terkait hal ini, Ruslan mengimbau kepada para pengunjuk untuk menyampaikan aspirasi dengan tertib dan tidak melanggar aturan hukum yang berlaku.

"Diimbau unjuk rasa dengan tertib, hormat penggunaan jalan lainnya yang akan melintas," ujar dia.

Dalam rilis tertulis, Aksi demonstrasi damai menolak pasal-pasal bermasalah dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran yang dapat membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Aksi ini merupakan upaya bersama untuk menyuarakan penolakan terhadap regulasi yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, serta untuk menuntut pembatalan pasal-pasal bermasalah dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran.

 


Menkominfo Akui Belum Terima Draf Resmi Revisi UU Penyiaran

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan, hingga saat ini pihaknya dan Sekretariat Negara belum menerima draf Revisi Undang-undang (UU) Penyiaran.

"Pertama UU penyiaran itu hingga saat ini draf resminya belum diterima pemerintah baik Kominfo maupun Sekretariat Negara," kata Budi, saat konferensi pers secara daring, Jumat (24/5/2024).

Sehingga, dia mengaku bingung jika diminta tanggapan perihal polemik revisi UU Penyiaran. Sebab, Budi pun belum menerima draf resmi dari DPR.

"Logikanya begini barang yang belum resmi kita komentari terus kita kasih arahan gimana coba? Barangnya belum resmi, enggak ada di meja kami secara resmi gitu loh drafnya," ujar dia.

"Yang kita dapat ya versi WA, bicara simpang siur belum ada draf resmi, kecuali sudah ada draf resmi baru pemerintah memutuskan sikap," sambungnya.

Namun, Budi menegaskan, bahwa prinsip pemerintah akan selalu mengedepankan kemerdekaan pers dan kebebasan bersuara.

"Prinsip untuk menjaga kemerdekaan pers dan kebebasan masyarakat untuk bersuara kita jamin pemerintah menjamin kemerdekaan pers dan kebebasan masyarakat untuk berbicara itu aja dulu dari kami," imbuh dia.

 


Rakernas V PDIP Tolak Hukum Jadi Alat Kekuasaan

Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Puan Maharani membacakan sejumlah poin hasil rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDIP. Di antaranya menyinggung soal Revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan UU Penyiaran yang diyakini berpotensi digunakan untuk alat kekuasaan.

“Rakernas V Partai menolak penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan (autocratic legalism) sebagaimana terjadi melalui perubahan UU MK, dan perubahan UU Penyiaran,” kata Puan saat berpidato di Rakernas V PDIP di Beach City International Stadium, Ancol, Jakarta Utara, Minggu, (26/5/2024).

Selain soal RUU MK dan RUU Penyiaran, Puan juga menyinggung soal perkara Nomor 90/PUU- XXI/2023 yang memasukkan materi muatan baru tentang syarat calon presiden dan wakil presiden. Menurut Puan, Rakernas V PDIP menilai bahwa hal tersebut telah melanggar batas.

“Putusan MK itu telah melanggar kewenangan dan mengambil alih kewenangan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang,” ucap Puan Maharani.

Diketahui, saat ini RUU MK dan RUU Penyiaran sedang berpolemik. RUU MK disebut dibahas diam-diam saat masa reses Parlemen dan tiba-tiba sudah akan dirapatkan di Paripurna.

Kemudian, RUU Penyiaran ditentang oleh publik sebab dinilai dapat menciderai demokrasi, salah satunya soal melarang mempublikasi reportase investigasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya