Liputan6.com, Jakarta - Puncak Gunung Everest mengundang banyak pendaki dari seluruh dunia untuk menaklukannya. Di luar cerita-cerita inspiratif soal perjuangan, terdapat sisi gelap yang semakin mengkhawatirkan.
Sebuah konten menjadi viral di media sosial X yang menunjukkan bagaimana padatnya jalur pendakian di gunung tertinggi di dunia tersebut. Ratusan pendaki berbaris menanti giliran untuk naik dan turun. Banyak pula cuplikan gambar yang merekam para pendaki berteriak ketika menyaksikan mayat-mayat meluncur di dekat mereka.
Advertisement
Mengutip laman news.com.au, Senin (27/5/2024), lusinan klip yang beredar menunjukkan bagaimana pendakian menuju puncak dunia itu semakin berbahaya. Pada Selasa, 22 Mei 2024, dua pendaki, yakni Daniel Paterson (39) asal Inggris, dan pemandunya, Pas Tenji Sherpa asal Nepal, terseret ke sisi gunung setelah bongkahan salju mengeras yang menggantung di tepi tebing tiba-tiba longsor, lapor BBC.
Paterson dan Tenji merupakan bagian dari rombongan pendaki beranggotakan 15 orang yang telah mencapai puncak Gunung Everest. Tubuh keduanya masih belum ditemukan hingga Minggu, 26 Mei 2024. Masih pada pekan yang sama, pendaki Kenya Joshua Cheruiyot Kirui (40) ditemukan tewas, sementara pemandunya Nawang Sherpa (44) masih belum ditemukan setelah keduanya menghilang pada Rabu, 23 Mei 2024.
"Everest – tempat tertinggi, paling kotor dan paling kontroversial di Bumi," tulis The Northerner di X. "Manusia mengabaikan mayat, menyebabkan orang sekarat, mengabaikan teriakan bantuan, menjadikannya tempat paling kotor dengan polusi dan kotoran manusia; semua demi kejayaan mencapai puncak. Kapan itu akan berhenti?!"
Perjalanan Turun dari Puncak Dianggap Mimpi Buruk
Pendaki gunung India Rajan Dwivedi, yang berhasil mencapai puncak Everest pada 19 Mei 2024 pukul 6 pagi, menulis di Instagram bahwa "Gunung Everest bukanlah sebuah lelucon dan faktanya, pendakian tersebut cukup serius." Menurutnya, lebih dari 7.000 orang telah mencapai puncak sejak pendakian pertama pada Mei 1953. Namun, tak semua orang yang berusaha menggapainya selamat.
"Banyak yang berakhir dengan gigitan beku, kebutaan salju, dan berbagai jenis cedera yang tidak tercatat dalam database mana pun," tulisnya dalam unggahan yang menyertakan video tentang barisan pendaki yang tak ada habisnya dan berkelok-kelok naik dan turun saat mereka melewati salah satu jendela cuaca yang langka.
"Video yang diambil ini menunjukkan [sic] apa yang kami hadapi di satu tali dan menegosiasikan persimpangan selama lalu lintas untuk hulu dan hilir! Alasan utamanya adalah jendela cuaca untuk menghindari arus jet jelajah yang ganas yang bisa mencapai kecepatan 100-240mph (160-386kmh)! Bagi saya, turun adalah mimpi buruk dan melelahkan, sementara barisan besar pendaki datang untuk memaksimalkan jendela cuaca."
Ia juga merasa 'campur aduk' setelah pendakian. Utamanya melihat langsung bagaimana pendaki dan para sherpa mencoba bertahan hidup di tengah situasi berbahaya. "Mereka (pendaki) gemetar dan menangis sehingga menyebabkan kemacetan lalu lintas," ujarnya.
Advertisement
Popularitas Everest Tidak Menyurut
Kepadatan penduduk di Everest telah menjadi masalah selama bertahun-tahun, namun gunung terbesar di dunia ini semakin mengkhawatirkan para pejabat dalam beberapa tahun terakhir. Popularitas Everest tidak surut, meski sering terjadi kecelakaan dan kematian di gunung tersebut.
Saat ini, musim pendakian sedang mencapai puncaknya dengan ratusan pendaki berkerumun di sepanjang Hillary Step. Pemandu pendakian Vinayak Jaya Malla menyaksikan runtuhnya cornice (tepian salju) minggu lalu setelah berhasil mencapai puncak dan kemudian mulai turun kembali.
"Setelah mencapai puncak, kami melintasi Hillary Step, lalu lintas berjalan lambat lalu tiba-tiba sebuah cornice runtuh beberapa meter di depan kami. Ada juga cornice di bawah kami," tulis Malla.
"Saat cornice runtuh, empat pendaki hampir tewas namun terjepit di tali dan berhasil menyelamatkan diri. Sayangnya, dua pendaki masih hilang. Kami mencoba melintasi namun tidak mungkin karena lalu lintas di jalur macet. Banyak pendaki yang terjebak kemacetan dan oksigen pun menipis. (Untungnya) saya bisa mulai membuat rute baru agar lalu lintas yang menurun mulai bergerak perlahan sekali lagi," ia mengenang pengalaman berbahayanya.
Pendaki Wajib Pakai Chip
Menjelang musim pendakian Gunung Everest 2024, Nepal mewajibkan semua pendaki untuk menyewa dan menggunakan chip pelacak dalam perjalanan mereka.
"Perusahaan-perusahaan terkenal sudah menggunakannya tetapi sekarang sudah diwajibkan bagi semua pendaki," Rakesh Gurung, direktur departemen pariwisata Nepal, dikutip dari CNN, Minggu, 3 Maret 2024. "Ini akan mempersingkat waktu pencarian dan penyelamatan jika terjadi kecelakaan."
Dia menjelaskan bahwa pendaki akan membayar 10--15 dolar AS per chip yang akan dijahit ke dalam jaket mereka. Setelah pendaki kembali, chip tersebut akan diambil, diberikan kembali kepada pemerintah, dan disimpan untuk orang berikutnya.
Chip pelacak menggunakan sistem penentuan posisi global (GPS) untuk berbagi informasi dengan satelit. Gurung menambahkan bahwa chip tersebut diproduksi di Eropa tetapi tidak merinci di mana atau oleh perusahaan mana.
Mayoritas orang yang mencoba mendaki Gunung Everest setinggi 8.849 meter (29.032 kaki) melakukannya melalui Nepal, dengan membayar izin pendakian USD11.000, sekitar Rp173 juta, per orang. Ditambah dengan harga peralatan, makanan, oksigen tambahan, pemandu Sherpa, dan banyak lagi, biaya mendaki gunung bisa membengkak lebih dari 35 ribu dolar AS, sekitar Rp550 juta.
Diperlukan waktu hingga dua bulan untuk menyelesaikan pendakian Gunung Everest. Waktu yang paling ideal untuk mendaki gunung tersebut sangat singkat, biasanya pada pertengahan Mei, tergantung kondisi cuaca.
Advertisement