Liputan6.com, Jakarta - Baru saja Raja Charles III mendapatkan lukisan baru yang kontroversial, kini menantunya, Kate Middleton, juga memiliki potret baru yang juga memicu kemarahan publik.
Dilukis oleh seniman Hannah Uzor, penampilan baru sang Putri Wales bukanlah potret resmi. Potret ini ditampilkan pada majalah Tatler edisi Juli.
Advertisement
Potret itu memperlihatkan Kate Middleton yang berusia 42, dalam balutan gaun putih dengan selempang biru dan tiara.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tatler, yang menugaskan pembuatan lukisan tersebut untuk sampul bulan Juli, seniman Hannah Uzor mencatat bahwa ada puluhan ribu foto Putri Kate dalam arsip Getty Images.
Sebelum melukisnya, ia mengatakan kepada media tersebut bahwa ia menghabiskan banyak waktu mempelajari Kate.
"Saya menghabiskan banyak waktu untuk melihatnya, melihat foto-fotonya, menonton video-videonya, melihatnya bersama keluarganya, melihat kunjungan diplomatiknya, melihatnya saat ia mendayung atau mengunjungi anak-anak di rumah sakit," kata sang seniman, yang tidak memiliki akses ke sang putri selama proses tersebut.
Lukisannya bertujuan untuk menangkap "jiwa sang putri," kata Uzor. Namun, lukisan potret Kate Middleton, Putri Wales, di sampul majalah Tatler membuat banyak orang tak mengenalinya dan bertanya, “Siapa ini?”
Dilansir dari Washington Post pada Senin, 27 Mei 2024, para ahli mengatakan bahwa kemiripan bukanlah segalanya. Seniman di balik potret baru Catherine, Putri Wales, yang banyak diperdebatkan, mungkin tahu bahwa ia sedang mengarungi wilayah sensitif ketika menerima komisi untuk melukis salah satu orang yang paling banyak diawasi publik.
Keluarga Kerajaan Belum Berbicara Secara Terbuka Tentang Karya Tersebut
Keluarga kerajaan belum berkomentar secara terbuka tentang karya tersebut dan sang seniman pun tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Dengan adanya video dan fotografi digital, publik menjadi sangat akrab dengan penampilan tokoh publik. Karena itu, ketika potret orang terkenal seperti Kate Middleton dirilis, tak dimungkiri senimannya selalu mendapat sorotan.
Lukisan potret karya Uzor muncul hanya beberapa hari setelah potret Raja Charles III mendapat kritik. Ini mengingatkan pada kontroversi seputar lukisan Michelle Obama karya Amy Sherald pada tahun 2018, yang juga dianggap tidak mirip oleh banyak orang.
Namun, dengan banyaknya kritik yang berfokus pada kemiripan, patut dipertanyakan apakah kemiripan fisik adalah cara terbaik untuk menilai sebuah potret.
Dengan begitu banyak foto yang tersedia dari tokoh-tokoh publik seperti sang putri, beberapa orang berpendapat bahwa potret bisa (dan bahkan harus) memiliki tujuan yang lebih luas daripada sekadar kemiripan fisik.
Advertisement
Potret Bisa Bersifat Representasional Atau Abstrak
"Lukisan bisa bersifat representasional atau abstrak. Tidak ada batasan," kata Bree Pickering, direktur Galeri Potret Nasional Australia, dalam sebuah email.
Pickering juga mencatat bahwa potret wajah berbagi cerita dari sudut pandang seniman, yang berarti bahwa potret wajah memberi tahu pemirsa tentang subjeknya. Tetapi juga dapat mengungkapkan "konteks sosial yang lebih luas saat karya tersebut dibuat."
"Bentrokan antara niat artistik dan persepsi audiens menunjukkan adanya perbedaan antara apa itu lukisan potret dan apa yang dipikirkan oleh dunia pada umumnya tentang potret seorang putri," tulis Lisa Mansfield, seorang sejarawan seni yang mempelajari tentang lukisan potret di University of Adelaide.
Mansfield menambahkan bahwa pada era media sosial dan swafoto, "sangat mudah untuk mengabaikan bahwa potret pada dasarnya adalah karya fiksi yang berseni" dan "bukan faksimili wajah atau tubuh."
Uzor Mengatakan Potretnya Terdiri dari Berbagai Macam Kepribadian
Dalam wawancara Tatler, Uzor mengatakan bahwa potretnya "terdiri dari berbagai macam kepribadian, yang dibuat dari semua hal yang dapat saya temukan tentang mereka."
Cherine Fahd, seorang seniman dan profesor komunikasi visual di University of Technology Sydney, mengatakan bahwa, melihat potret Kate Middleton, lebih menarik untuk fokus pada bagaimana seorang wanita kulit berwarna, sebagai seniman, mengarahkan tatapannya pada seorang raja.
"Secara historis, orang kulit berwarna telah menjadi objek penelitian antropologi oleh subjek kolonial dan kekaisaran, tetapi di sini, perannya terbalik," katanya.
Potret kerajaan "adalah kiasan," tambahnya, tetapi "seniman ini tampaknya secara sadar menolak kiasan tersebut."
Advertisement