Akibat Hina Raja, Musisi dan Anggota Parlemen di Thailand Dijatuhi Hukuman Penjara

Undang-undang lese-majeste Thailand melindungi kritik terhadap monarki dan pelaku pelanggaran berpotensi mendapat hukuman penjara hingga 15 tahun.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 29 Mei 2024, 14:03 WIB
Turis berjalan di luar kompleks bangunan Istana Raja di Bangkok, 8 Maret 2020. Jumlah kedatangan turis ke Thailand tahun ini diperkirakan turun hingga 6 juta, terendah dalam empat tahun terakhir, menurut Otoritas Pariwisata Thailand (TAT) dalam konferensi pers baru-baru ini. (Xinhua/Zhang Keren)

Liputan6.com, Bangkok - Pengadilan Thailand menjatuhkan hukuman penjara pada Senin (27/5/2024), terhadap seorang aktivis musisi yang membakar potret raja dan seorang anggota parlemen oposisi karena menghina monarki.

Musisi dan anggota parlemen tersebut telah melanggar undang-undang lese-majeste Thailand, salah satu undang-undang yang paling ketat di dunia, yang melindungi monarki dari kritik dan membawa hukuman hingga 15 tahun penjara untuk setiap pelanggaran.

Dilansir CNA, Rabu (29/5/2024), Chonthicha Jangrew (31) seorang anggota parlemen dari Partai Move Forward, menerima masa jabatan dua tahun karena pidatonya yang dibuat pada tahun 2021 di sebuah protes anti-pemerintah. Dia membantah tuduhan tersebut dan diberi jaminan sambil menunggu banding. Hal ini diungkapkan oleh pengacaranya, Marisa Pidsaya kepada Reuters.

Sementara itu, hukuman empat tahun penjara dijatuhkan kepada musisi Chaiamorn Kaewwiboonpan (35) karena membakar potret Raja Maha Vajiralongkorn.

Chaiamorn, yang dinyatakan bersalah karena melakukan pembakaran foto raja, membantah tuduhan tersebut dan mengatakan dia melakukannya untuk melampiaskan rasa frustrasinya atas penahanan sesama aktivis atas tuduhan penghinaan terhadap kerajaan.

Kelompok bantuan hukum Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand mengatakan Chaiamorn juga diberikan jaminan dan bermaksud mengajukan banding.

Pengadilan belum mengeluarkan pernyataan mengenai hukuman tersebut. Namun, Istana biasanya tidak mengomentari undang-undang tersebut.

Menurut kelompok bantuan hukum Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand, lebih dari 272 orang telah didakwa berdasarkan undang-undang lese-majeste sejak tahun 2020, dan 17 orang ditahan sebelum persidangan.


Kematian Aktivis Thailand

Raja Maha Vajiralongkorn dan Ratu Suthida menyapa pendukungnya di Bangkok, Thailand, Minggu, 1 November 2020. (Foto AP / Wason Wanichakorn)

Sebelumnya, kematian aktivis pro-demokrasi Thailand Netiporn Sanesangkhom di penjara juga mencuatkan kekhawatiran soal praktik kriminalisasi sebagai instrumen untuk menghilangkan suara oposisi, atau kritik terhadap monarki.

Menurut catatan Departemen Kehakiman Thailand, Netiporn "Bung" Sanesangkhom meninggal dunia pada Selasa (21/5/2024) pagi, akibat serangan jantung.

Aktivis perempuan berusia 28 tahun itu tewas dalam tahanan praperadilan, tidak lama usai melakukan aksi mogok makan menuntut reformasi monarki. Oleh pengadilan, dia dipidana telah "menghina" keluarga kerajaan Thailand.

Bung sedang menunggu kelanjutan dua kasus serupa, antara lain karena melakukan survei terbuka di ruang publik pada 2022 tentang pendapat masyarakat mengenai monarki Thailand, menurut lembaga bantuan hukum, Thai Lawyers for Human Rights (TLHR). 

Selengkapnya di sini...


Kejadian Serupa

Putri Thailand Sirivannavari Nariratana (kiri) dan Bajrakitiyabha saat mengikuti prosesi kremasi almarhum Raja Bhumibol Adulyadej di Bangkok, Thailand (26/10). Mereka Berdua adalah putri dari Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn. (AFP Photo/Anthony Wallace)

Ancaman serupa dihadapi aktivis politik lain di Thailand. Februari silam, polisi menahan dua aktivis, Tantawan Tuatulanon and Nattanon Chaimahabutr, dengan tuduhan dugaan makar. Keduanya dilaporkan berusaha mengganggu jalannya iring-iringan kendaraan keluarga kerajaan.

Insiden tersebut kembali memanaskan perdebatan publik soal kekuasaan monarki, yang memicu bentrokan fisik antara kelompok loyalis kerajaan dan kaum reformis yang menyebabkan belasan orang terluka.

Mookdapa Yangyuenpradorn, seorang aktivis hak sipil di Fortify Rights, sebuah organisasi Hak Asasi Manusia Thailand, mengatakan para aktivis tidak melihat cara lain untuk menyita perhatian publik untuk perjuangan mereka.

"Kami melihat hal ini semakin sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Aksi mogok makan, adalah salah satu metode yang mereka gunakan untuk mengungkapkan betapa tidak adilnya sistem peradilan," katanya kepada DW.

Kudeta terjadi lagi di Thailand setelah status darurat diberlakukan. Ini bukan kali pertamanya militer menggulingkan pemerintahan sipil.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya