Linda Kesurupan Sosok Vina Cirebon Lagi, Apa Informasi yang Diungkap Bisa Jadi Petunjuk Pemecahan Kasus?

Linda kembali kerasukan sosok Vina dan menimbulkan tanya di tengah masyarakat. Apakah kesaksian dari orang yang kesurupan dapat menjadi petunjuk untuk memecahkan suatu kasus?

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 29 Mei 2024, 09:00 WIB
Polisi mulai melakukan pemeriksaan ulang terkait kasus pembunuhan Eky dan Vina Cirebon. Salah satu yang diperiksa adalah Linda sahabat almarhum Vina. (Liputan6.com/ Panji Prayitno).

Liputan6.com, Jakarta - Kasus pembunuhan Vina kembali jadi perbincangan usai film Vina: Sebelum 7 Hari rilis di layar lebar.

Sebetulnya, kasus pembunuhan gadis Cirebon ini terjadi pada 2016 atau delapan tahun silam. Namun, hingga kini kasus tersebut belum kunjung usai dan diwarnai berbagai cerita seperti salah tangkap hingga ketidakyakinan masyarakat soal penangkapan dalang pembunuhan yakni Egi.

Pada 2016, kasus Vina sempat viral lantaran temannya, Linda, disebut sempat kesurupan tak lama setelah Vina meninggal. Linda diduga kesurupan sosok Vina dan menceritakan kronologi kejadian. Belum lama ini, Linda kembali kerasukan sosok Vina dan menimbulkan tanya di tengah masyarakat.

Apakah kesaksian dari orang yang kesurupan dapat menjadi petunjuk untuk memecahkan suatu kasus?

Hal ini pun dijawab oleh kriminologi Haniva Hasna. Menurutnya, sejauh ini ketentuan menjadi saksi adalah orang yang bisa memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Kesaksian yang diberikan adalah tentang suatu perkara pidana dari hal yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri.

“Ada tiga golongan yang dinyatakan tidak bisa menjadi saksi. Salah satunya adalah orang yang sakit hilang ingatan, sakit jiwa (walaupun kadang ingatannya baik kembali), dalam hal ini berarti seseorang yang tidak bisa dipercaya kesadarannya,” kata kriminologi yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com, Selasa (28/5/2024).

“Lalu, apakah orang kesurupan memiliki kesadaran? Bila tidak, berarti keterangannya tidak bisa dijadikan petunjuk untuk memecahkan masalah,” jelas Iva.


Kesurupan dalam Ilmu Psikologi

Iva menambahkan, kesurupan dalam ilmu psikologi disebut juga dengan dissociative identity disorder yaitu gangguan identitas disosiatif.

“Gejala yang ditunjukkan adalah adanya perubahan atau kehilangan identitas pribadi dan kehilangan kesadaran akan lingkungannya. Biasanya disertai dengan perubahan perilaku, memori dan cara berpikir. Yang sering terjadi, pengidap DID ini merasakan pengalaman roh keluar dari tubuhnya, dan sebagainya,” jelas Iva.

“Kesurupan itu akibat stres, sedih yang terlalu dalam, kekecewaan, trauma atau masalah-masalah tertentu yang menumpuk dalam diri seseorang,” tambahnya.

Stres ini disimpan dan dipendam di alam bawah sadar otak manusia, lalu pada batas kesabaran tertentu akan terungkap dalam kondisi setengah sadar. Di mana segala tekanan tadi tidak pernah diungkapkan dalam kondisi sadar.


Setop Kambinghitamkan Setan

Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia, kesurupan kerap dikaitkan dengan hal-hal mistis atau gaib. Namun, jika dilihat dari sisi keilmuan, hal ini tak selalu dapat dikaitkan dengan mahluk halus, jin, atau setan.

“Secara keilmuan tidak ada kaitannya dengan hal mistis, murni karena tekanan emosional yang tidak bisa diungkapkan dalam kondisi sadar. STOP mengkambinghitamkan setan,” ucap Iva.


Mengapa Kasus Vina Berlarut-larut?

Bukan tanpa alasan pembunuhan Vina Cirebon menjadi salah satu kasus yang berlarut-larut atau sulit diungkap.

Iva berpendapat, hal ini terjadi karena terlalu banyak kecacatan dalam proses penyelesaian kasus pada sekian tahun lalu.

“Banyak case yang (sengaja) tidak dituntaskan sehingga kesulitan menutup kasus itu sendiri ketika sudah berlalu. Terlalu banyak teka-teki, padahal bila delapan tahun dilakukan sesuai dengan UU, maka saat ini tinggal membuka dengan gamblang ke masyarakat.”

Contohnya, penghapusan dua daftar pencarian orang (DPO) yang dilakukan secara tiba-tiba. Menurut Iva, hal ini bukan tugas kepolisian, karena tiga DPO sudah ditentukan oleh hakim delapan tahun lalu.

“Cuma hakim yang berkewenangan menentukan dan menghilangkan setelah mendapat bukti dan keterangan baru.”

Kasus ini menjadi tidak natural lagi penyelesaiannya karena aparat dipaksa menyelesaikan oleh masyarakat, bukan secara alami harus diselesaikan.

“No viral no justice menjadi sebuah ungkapan yang mengandung kebenaran ketika sebuah masalah hanya bisa diselesaikan karena kegaduhan masyarakat. Hal ini juga yang membuat posisi aparat menjadi serba salah, segera menyelesaikan dianggap hanya memenuhi tuntutan masyarakat.”

“Tidak segera menyelesaikan juga menjadi salah karena dianggap lambat dalam menyelesaikan masalah. Padahal yang diinginkan masyarakat, aparat melakukan slogan Presisi : Prediktif, Responsibility, Transparansi berkeadilan,” pungkas Iva.

Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya