Liputan6.com, Jakarta - Pelaku pasar yang menanti data inflasi Amerika Serikat (AS) menjadi sentimen pergerakan rupiah pada perdagangan Rabu (29/5/2024).
Mengutip Antara, rupiah merosot 53 poin atau 0,33 persen menjadi 16.143 per dolar Amerika Serikat dari sebelumnya 16.090. "Rupiah kelihatannya masih melemah terhadap dolar AS menantikan data inflasi AS yang akan dirilis Jumat ini,” tutur Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra seperti dikutip dari Antara, Rabu pekan ini.
Advertisement
Ariston mengatakan, hasil notulen rapat kebijakan moneter AS yang memperlihatkan peluang kenaikan suku bunga AS lagi bila inflasi AS tidak kunjung turun, mendorong penguatan dolar AS.
Selain itu, data ekonomi AS semalam yaitu data indeks harga rumah AS dan tingkat keyakinan konsumen AS menunjukkan kenaikan yang berpeluang memicu kenaikan inflasi AS lagi sehingga mendorong penguatan dolar AS juga.
Ariston prediksi, potensi pelemahan rupiah hari ini ke posisi Rp16.130 per dolar AS dengan potensi support di sekitar Rp16.050 per dolar AS.
Jika The Fed Tak Pangkas Suku Bunga, Bagaimana Dampaknya ke Rupiah?
Sebelumnya, suku bunga The Federal Reserve (the Fed) atau Fed Funds Rate (FFR) diproyeksikan turun mulai pada kuartal III-2024. Namun, jika hal itu tidak terjadi akan mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, yang mana dapat mempengaruhi arus modal ke pasar negara berkembang, termasuk ke Indonesia.
Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, menilai apabila penurunan suku bunga The Fed tidak terjadi akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang akan semakin melemah.
"Mengenai penurunan suku bunga The Fed bagaimana jika tidak ada penurunan, ini bisa mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, di mana peningkatan volaitilitas imbal hasil US Treasury ini bisa mempengaruhi arus modal atau arus dana ke emerging market termasuk ke Indonesia dan mengurangi kestabilan nilai tukar," kata Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat, 24 Mei 2024.
Bank Indonesia Mesti Intervensi
Jika nilai tukar rupiah terganggu, Bank Indonesia harus melakukan intervensi di pasar valuta asing (Valas) lebih banyak, dan intervensi ini akan berdampak negatif pada likuiditas perbankan.
Terkecuali apabila Bank Indoensia melakukan sterilisasi dari intervensinya tersebut dengan cara menambah kembali likuiditas di perbankan, baik dengan cara intervensi di pasar obligasi.
"Yang dimana pembelian SBN di pasar sekunder akan menambah likuiditas maupun dengan perubahan tingkat GWM atau penurunan tingkat GWM dimana ini juga akan menambah supply rupiah di perbankan," tutur dia.
Di sisi lain, jika penurunan suku bungan The Fed benar terjadi, Helmi memproyeksikan suku bunga Bank Indonesia atau BI-Rate akan berjalan lebih lambat dibandingkan The Fed.
"Alasan mengapa kami berekspektasi bahwa penurunan suku bunga BI-Rate ini akan lebih lambat dari The Fed adalah karena kami mempertimbangkan diferensial suku bunga antara rupiah dan dolar yang saat ini berada cukup sempit, selisihnya cukup sempit," pungkasnya.
Advertisement
The Fed: Masih Butuh Beberapa Bulan Sebelum Pangkas Suku Bunga AS
Sebelumnya, Gubernur Federal Reserve (The Fed), Christopher Waller mulai memberi sinyal penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) sudah di depan mata.
Namun, ia masih perlu diyakinkan sebelum mendukung pemangkasan dilakukan dalam waktu dekat.
Dikutip dari CNBC International, Kamis (23/5/2024) Waller mengatakan ia tidak berpikir kenaikan suku bunga lebih lanjut akan diperlukan, melihat data inflasi AS yang menunjukkan kenaikkan harga telah mereda.
"Para bankir sentral tidak boleh mengatakan tidak, namun data menunjukkan bahwa inflasi tidak meningkat, dan saya percaya bahwa kenaikan lebih lanjut dalam suku bunga kebijakan mungkin tidak diperlukan," kata Waller, yang baru-baru ini bersikap hawkish.
Komentar tersebut disampaikan dalam pidato yang telah disiapkan untuk pidato di hadapan Peterson Institute for International Economics di Washington.
Waller merujuk pada serangkaian data baru-baru ini, mulai dari penjualan ritel AS yang mendatar hingga penurunan sektor manufaktur dan jasa, yang menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga The Fed telah membantu meringankan sebagian permintaan yang berkontribusi pada tingkat inflasi tertinggi dalam lebih dari 40 tahun.
Kenaikan Upah di AS
Meskipun kenaikan upah cukup solid, pasar tenaga kerja AS telah menaikkan upah hingga mencapai tingkat yang konsisten dengan sasaran inflasi 2% yang ditetapkan the Fed, telah menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Namun, Waller mengatakan dia belum siap untuk mendukung penurunan suku bunga.
"Perekonomian sekarang tampaknya berkembang mendekati apa yang diharapkan oleh Komite"” katanya.
"Namun demikian, dengan tidak adanya pelemahan yang signifikan di pasar tenaga kerja, saya perlu melihat data inflasi yang baik selama beberapa bulan lagi sebelum saya dapat mendukung pelonggaran kebijakan moneter," bebernya.
Advertisement